Faktor Psikologis Terhadap Pembelajaran Bahasa
Oleh: Rizal Effendy Panga
A. Pendahuluan
Kehidupan bermasyarakat tak terlepas dari lingkungan sekitar. Masyarakat selalu dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural yang menjadi ketetapan di komunitasnya. Masyarakat sebagai lingkungan terbesar menjadi sistem yang saling berkaitan. Masyarakat menurunkan lingkungan yang lebih kecil, yaitu keluarga. Keluarga di dalam masyarakat tentu berbeda dengan keluarga yang lain. Setiap keluarga memiliki ciri khas yang unik, sehingga juga akan melahirkan individu yang unik.
Setiap orang berperan ganda dalam kehidupannya, yaitu sebagai makhluk sosial dan makhluk individual. Sebagai makhluk sosial, seseorang berinteraksi dengan individu-individu yang lain sehingga membentuk keutuhan di dalam masyarakat. Sebagai makhluk individu, seseorang juga mengalami interaksi namun berbeda dengan interaksi sosial. Seseorang memiliki kecenderungan lebih banyak berinteraksi dengan dirinya daripada berinteraksi dengan orang lain. interaksi ini mempengaruhi kondisi psikologis seseorang.
Dalam pembelajaran dan pemerolehan bahasa, seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berkenaan dengan kondisi psikologis, jasmani, dan usia seseorang, sedangkan faktor eksternal berkenaan dengan kondisi sosial, budaya, dan linguistik. selain itu, faktor eksternal juga dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat, keluarga, dan institusi belajar (sekolah). Faktor-faktor ini mempengaruhi proses pembelajaran dan pemerolehan bahasa seseorang.
Secara etimologis, psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyche yang berarti jiwa dan logia yang berarti ilmu. Jadi psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Psikologi juga bisa berarti ilmu yang mempelajari tentang gejala dan kegiatan jiwa. Psikologis berarti bersifat psikologi atau sifat yang berkaitan dengan proses mental, baik secara mental maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku. Faktor psikologis berpengaruh terhadap pembelajaran. Seseorang yang sehat secara psikologis dapat lebih tenang dan mampu belajar dengan baik. Berbeda dengan orang-orang yang secara psikologis terganggu, orang-orang ini akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam pembelajaran.
Untuk memahami proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa dan faktor-faktor yang memengaruhinya dalam pembelajaran bahasa dapat dikemukakan dalam bentuk skema seperti di bawah ini:
| |||
Gambar 1. Skema Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa
Dalam skema di atas dapat dijelaskan sebuah proses seseorang mempelajari bahasa beserta faktor-faktor yang memengaruhinya. Masyarakat sebagai komunitas terbesar berperan aktif dalam pembelajaran secara alamiah, baik disadari atau pun tidak disadari. Di dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok kecil yang disebut keluarga. Setiap keluarga memiliki ciri khas yang berbeda. Setiap keluarga bersifat unik. Keunikan ini juga akan memberikan warna berbeda terhadap hasil belajar seseorang. Di dalam keluarga tentunya terdapat individu-individu yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Individu yang satu saling memengaruhi satu dengan yang lainnya.
Dalam mengenal bahasa, individu mengalami dua kondisi yang berbeda, yaitu pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa. pemerolehan bahasa didapatkan secara alamiah, sedangkan pembelajaran bahasa didapatkan karena ada upaya dari individu untuk mempelajari bahasa tersebut. Sebagai individu tentu tak dapat terlepas dari kondisi lingkungan dan kondisi yang ada di dalam dirinya. Faktor usia, sosial budaya, psikologis, dan lingustik seseorang akan menempatkan seseorang pada dua buah kondisi sebagai makhluk individual dan sosial.
Interaksi dengan lingkungannya membawa pengaruh baik positif maupun negatif bergantung dari lingkungan dimana seseorang berada. Hal ini diperkuat dengan Teori Behaviorisme Klasik Pavlov yang mengatakan, “Proses pembelajaran terdiri atas pembentukan asosiasi-asosiasi antara stimulus dan respons reflektif.” (Brown, 2008: 104). Dalam pernyataan ini ada tiga kata kunci, yaitu asosiasi, stimulus dan respons reflektif. Asosiasi dapat diartikan sebagai hubungan pertalian antargagasan, ingatan, dan kegiatan pancaindera. Stimulus merupakan rangsangan yang diberikan untuk mengaktifkan sesuatu dan respons reflektif merupakan sebuah tanggapan atau jawaban secara spontanitas sebagai akibat pemberian stimulus.
Sebagai individu, seseorang juga mengalami kondisi internal yang juga berpengaruh dalam kehidupannya. Berbagai pengaruh ekternal juga turut memengaruhi kejiwaan seseorang. Orang bisa merasakan sedih, menangis, senang gembira juga merupakan hasil dari interaksi seseorang dengan dirinya. Ketika ada sebuah masalah, seseorang diberikan pilihan untuk menyelesaikannya atau justru tenggelam dalam masalahnya. Bagi orang yang memilih untuk memecahkan masalahnya, seseorang berpikir untuk menemukan solusi dari masalah yang dihadapinya, sedangkan orang yang memilih untuk tenggelam dalam masalahnya maka dia akan menjadi orang-orang yang mendapatkan tekanan, seolah-olah dialah orang yang paling tidak beruntung dalam kehidupan.
Faktor eksternal dan faktor internal yang dialami seseorang akan menimbulkan fenomena-fenomena psikologis. Fenomena ini memengaruhi seseorang dalam memeroleh atau mempelajari bahasa. fenomena adalah sesuatu yang bisa disaksikan pancaindera dan dapat diterangkan dan dinilai secara ilmiah. Fenomena Psikologis merupakan fenomena yang berkaitan dengan gejala kejiwaan. Sebagai contoh: seorang anak yang setiap melakukan sesuatu selalu dilarang. Dalam kurun waktu yang lama, maka anak tersebut akan memiliki perasaan bersalah setiap melakukan sesuatu. Ketika dewasa, dia memiliki kecenderungan menjadi orang-orang yang tidak berani mengambil keputusan karena takut melakukan kesalahan.
B. Belajar adalah Sebuah Peristiwa Psikologis
Belajar merupakan usaha untuk mendapatkan pengetahuan atau ilmu. Belajar bisa diartikan berlatih. Belajar juga bisa diterangkan sebagai bentuk perubahan tingkah laku sebagai tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Belajar adalah sebuah proses perubahan di dalam kepribadian manusia dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan kemampuan-kemampuan yang lain.
Belajar adalah sebuah peristiwa psikologis. Fenomena-fenomena yang dialami oleh pembelajar akan diproses dalam pikirannya yang secara tidak langsung akan memberikan pengaruh terhadap kerja pikiran mereka untuk menyelesaikan masalah. Proses berpikir inilah yang menjadikan belajar akan mendapatkan hasil sesuai tujuan yang diinginkan. Ketika seseorang dalam kondisi yang tenang, dan bahagia setiap masalah akan menjadi lebih ringan. Berbeda dengan halnya dengan orang yang berada di bawah tekanan. Orang yang stres dalam menyelesaikan masalahnya pasti akan berbeda hasilnya dengan orang yang dalam kondisi tenang. Setiap proses menuntut seseorang harus peka terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya. Untuk itu, belajar tak bisa lepas dari pengaruh kejiwaan yang ada dalam diri seseorang dalam menyelesaikan masalahnya. Untuk memahami konsep belajar sebagai sebuah peristiwa psikologis dapat dikemukan melalui skema di bawah ini:
Gambar 2: Skema Belajar
Dari skema di atas dapat dideskripsikan bahwa seorang pembelajar dalam mempelajari sesuatu, khususnya bahasa secara mutlak dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Di dalam skema ini, lebih digambarkan faktor internal, yaitu faktor psikologis yang memengaruhi proses belajar seseorang. Faktor psikologis akan memberikan dampak bagi hasil belajar mereka. Pembelajar dalam setiap prosesnya selalu melalui proses berpikir. Proses berpikir ini dipengaruhi oleh beberapa faktor kecerdasan, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan berpikir, kesiapan, dan cara belajar. H.H. Stern, dalam bukunya Fundamental Concepts of Language Teaching menyebutkan, faktor-faktor yang memengaruhi seseorang dalam belajar, yaitu: bakat bahasa, faktor kognitif, faktor sikap, dan kepribadian (1984:367). Faktor-faktor ini memberikan pengaruh dalam proses berpikir sehingga seorang pembelajar mampu bersikap dan menganalisis setiap fenomena yang terjadi dalam proses pembelajaran.
Proses berpikir ini juga memerlukan motivasi yang kuat agar pembelajar tetap konsisten untuk mencapai tujuannya. Untuk itu diperlukan konsentrasi agar setiap masalah yang ada dapat dianalisis secara rinci. Proses berpikir ini juga menimbulkan reaksi baik menerima atau menolak sesuatu. Reaksi pembelajar terhadap yang dipelajarinya akan menimbulkan rangkaian pemikiran-pemikiran yang logis sehingga sebuah konsep dapat diterima atau tidak. Pembelajar juga perlu mengorganisasi kerangka berpikirnya agar dapat memaparkan hasil proses berpikirnya secara runtut dan mudah dipahami. Pengorganisasian kerangka berpikir ini dapat memberikan pemahaman kepada seseorang terhadap apa yang dipelajarinya berdasarkan faktor-faktor yang memengaruhinya sehingga seorang pembelajar dapat mengambil simpulan dari proses berpikirnya. Simpulan ini tidak hanya dibiarkan saja menjadi sebuah konsep, namun perlu dilakukan pengulangan sehingga pemikiran-pemikiran itu semakin mengakar dalam ingatan pembelajar yang pada akhirnya melahirkan sebuah pengetahuan baru bagi pembelajar. Pengetahuan baru ini akan dikombinasikan dengan pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada untuk melakukan sebuah perubahan. Perubahan ini dapat dilakukan dari segi perubahan perilaku dan perubahan keilmuan. Seorang yang bertambah ilmunya diharapkan mampu mengubah kualitas dirinya dari segi perilaku dan kualitar dari segi keilmuan yang pada akhirnya setiap pembelajar bisa menjadi agen perubahan untuk membentuk sebuah tatanan yang lebih baik.
C. Perbedaan Pembelajaran Bahasa dan Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan dan pembelajaran bahasa merupakan cara untuk mendapatkan bahasa. Secara definisi, kedua istilah ini mengandung perbedaan. Pemerolehan bahasa adalah proses mendapatkan bahasa yang terjadi secara alamiah, memungut begitu saja dari lingkungannya dengan meniru, tidak terencana, dan memerlukan waktu yang lama dalam menguasainya. Pembelajaran bahasa adalah proses mendapatkan bahasa yang dilakukan dengan penuh kesadaran, biasanya dalam situasi formal ada yang mengajarkan yang bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan bahasa, baik bersifat pernyataan maupun prosedur bahasa.
Pemerolehan bahasa terjadi secara alamiah. Memahami kealamiahan pemerolehan bahasa tentu tidak terlepas dari aspek psikologis seseorang. Sebagai ilustrasi, anak yang baru lahir ke dunia selalu menangis. Itulah bahasa yang pertama kali dia ucapkan bukan dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa seperti lazimnya orang dewasa. Apa pun yang dikehendakinya selalu saja menangis. Anak belum mampu mengetahui bahasa secara verbal. Namun, lingkungan keluarga mulai mengajarkan bahasa verbal tersebut dengan mengulang-ulang setiap hari., sementara anak hanya bisa menyimak, tersenyum, dan menangis lagi. Pda fase ini, anak tidak dipaksakan untuk mengucapkan apa yang diucapkan oleh orang tuanya. Orang tua tidak menuntut anaknya paham atau tidak dengan ucapannya. Orang tua hanya mengulang dan mengulang secara terus menerus. Anak hanya menyimak menampung informasi bahasa verbal. Usia 3 bulan anak mulai bersuara yang tidak jelas, bukan hanya menangis. Seolah-olah ingin segera berkomunikasi dengan orang tuanya. Usia 6 bulan, anak akan mengeluarkan bahasa verbalnya, contoh: ma.. untuk mama, ba… untuk bapak. Contoh ini tidak mutlak karena bergantung lingkungan yang memengaruhinyadan cepat atau lambatnya respon dari anak tersebut. Kondisi ini terus berkembang hingga akhirnya anak mampu mengucapkan kata yang melambangkan sesuatu dalam memorinya. Melalui pancainderanya, seorang anak mulai mengenali lingkungannya dan memverbalkan melalui alat ucapnya. Anak-anak menirukan apa yang didengarnya kemudian menjadi pemahaman di dalam memorinya. Fenomena ini tidak terencana, mengalir begitu saja seperti air yang mengalir menuju ke laut. Ada muaranya, yaitu kelak seorang anak pasti berbicara dan mampu mengomunikasikan idenya. Kondisi ini memerlukan perjalanan waktu yang panjang.
Selain melalui pemerolehan, bahasa juga dapat dipelajari. Bahasa adalah ilmu. Bahasa memiliki aturan dan kaidah. Pembelajaran bahasa dilakukan sebagai upaya memeroleh pengetahuan berbahasa baik sebagai kebutuhan komunikasi atau sebagai alat untuk memahami disiplin ilmu yang lain. Pembelajaran bahasa adalah upaya sadar dari seseorang untuk memahami kaidah yang berlaku dalam bahasa tersebut. Pembelajaran bahasa biasanya dilakukan dengan sengaja waktu tertentu. Waktu ini disepakati oleh pembelajar dan pengajar. Pengajar memegang peranan dalam mentransfer pengetahuan bahasa kepada pembelajar. Dalam prosesnya pembelajaran terkesan bersifat secara alamiah, namun dalam pembelajaran ini sifat alamiah ini dikondisikan, diatur sehingga proses pembelajaran seolah-olah berada dalam situasi alamiah. Simulasi-simulasi ini dimaksudkan agar pembelajaran bahasa dapat dipahami dengan mudah. Semua ini bermuara pada tujuan akhirnya, yaitu pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Pengetahuan dan kemampuan berbahasa inilah yang digunakan pembelajar untuk memeroleh pengetahuan baru yang menggunakan bahasa pengantar dari bahasa yang dipelajarinya.
Secara psikologis kedua istilah ini pun berbeda. Pemerolehan bahasa melibatkan proses mental, terkadang abnormal. Seorang anak yang baru lahir tidak dapat begitu saja mengucapkan bahasa meskipun alat-alat untuk memproduksi bahasa lengkap. Sebagai ilustrasi, seorang anak yang buta, tuli, dan bisu. Anak yang mengalami keterbatasan ini akan sulit berkomunikasi secara verbal, bahkan tidak ada kemungkinan berkomunikasi jika menggunakan cara seperti kebanyakan orang. Alat produksi bahasanya tidak bisa digunakan karena anak ini tidak memiliki jalur untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Namun dengan cara berbeda, seseorang yang mengalami keterbatasan seperti ini dapat berkomunikasi dengan dunia luar, memahami keadaan sekitarnya. Ini terjadi pada Hellen Adams Keller seorang wanita berkebangsaan Amerika.
Helen Adams Keller (lahir di Tuscumbia, Alabama, 27 Juni 1880 – meninggal di Easton, Connecticut, 1 Juni 1968 pada umur 87 tahun) adalah seorang penulis, aktivis politik dan dosen di Amerika. Ia menjadi pemenang dari Honorary University Degrees Women's Hall of Fame, The Presidential Medal of Freedom, The Lions Humanitarian Award, bahkan kisah hidupnya meraih 2 piala Oscar. Ia menulis artikel serta buku-buku terkenal, diantaranya The World I Live In dan The Story of My Life (diketik dengan huruf biasa dan Braille), yang menjadi literatur klasik di Amerika dan diterjemahkan ke dalam 50 bahasa. Ia berkeliling ke 39 negara untuk berbicara dengan para presiden, mengumpulkan dana untuk orang-orang buta dan tuli. Ia mendirikan American Foundation for the Blind dan American Foundation for the Overseas Blind.
Ia lahir normal di Tuscumbia, Alabama pada 1880. Di usia 19 bulan, ia diserang penyakit yang menyebabkannya buta dan tuli. Ia jadi liar dan tidak dapat diajar. Pada usia 7 tahun,orang tuanya mempercayai Anne Sullivan menjadi guru pribadi dan mentor Hellen. Annie memegang tangan Helen di bawah air dan dengan bahasa isyarat, ia mengucapkan "A-I-R" pada tangan yang lain. Saat Helen memegang tanah, Annie mengucapkan "T-A-N-A-H" dan ini dilakukan sebanyak 30 kata per hari. Helen diajar membaca lewat huruf Braille sampai mengerti apa maksudnya. Helen menulis, "Saya ingat hari yang terpenting di dalam seluruh hidup saya adalah saat guru saya, Anne Mansfield Sullivan, datang pada saya." Dengan tekun, Annie mengajar Helen untuk berbicara lewat gerakan mulut, sehingga Helen berkata, "Hal terbaik dan terindah yang tidak dilihat atau disentuh oleh dunia adalah hal yang dirasakan di dalam hati.." Ia belajar bahasa Perancis, Jerman, Yunani dan Latin lewat Braille. Pada usia 20 tahun, ia kuliah di Radcliffe College, cabang Universitas Harvard khusus wanita. Annie menemani Hellen untuk membacakan buku pelajaran, huruf demi huruf lewat tangan Helen dalam huruf Braille. Hanya 4 tahun, Helen lulus dengan predikat magna cumlaude. (Wikipedia).
Pembelajaran bahasa pun mengalami proses psikologis. Ketika seseorang mempelajari bahasa dari seorang pengajar, faktor psikologi dari pembelajar dan pengajar akan saling memengaruhi. Jika suasana belajar bahasa kondusif, hati sedang senang, ada keseriusan di antara keduanya, maka pembelajaran bahasa dapat terlaksana dengan baik. Selain itu proses pembelajaran bahasa pun harus memperhatikan faktor motivasi. Motivasi inilah yang pada akhirnya menentukan keberhasilan seseorang dalam mempelajari bahasa. Kemampuan untuk bertahan dari rasa jenuh dalam mempelajari bahasa adalah salah satu pengaruh dari kuatnya motivasi dari seorang pembelajar.
D. Perbedaan Bakat dan Ajar
Berbicara tentang bakat, maka kita akan berpikir tentang sebuah kemampuan yang sudah melekat atau bawaan sejak seseorang dilahirkan. Bakat adalah dasar atau landasan. Bakat dapat mendukung seseorang untuk lebih cepat memahami apa yang dipelajarinya. “The concept of an aptitude for languages is derived from everyday experience that some language learners appear to have a gift for languages which others lack (Stern, 1984:367). Artinya, konsep bakat bahasa berasal dari pengalaman sehari-hari, bahwa beberapa pembelajar mendapatkan hadiah ‘kemampuan’ khusus untuk mempelajari bahasa, sementara pembelajar yang lain kekurangan atau tidak mendapatkan kemampuan tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ajar adalah petunjuk yang diberikan kepada orang lain untuk diketahui atau dituruti.
Bakat bahasa dapat diketahui secara empiris. Pengalaman-pengalaman seseorang yang memiliki kemampuan khusus dalam pemerolehan atau pembelajaran bahasa berdasarkan cepat atau lambatnya seseorang menguasai bahasa tersebut. Orang-orang yang mampu menguasai secara cepat dan diluar kemampuan normal tehadap bahasa yang dipelajari, cenderung dianggap oleh kebanyakan orang sebagai orang yang memiliki kemampuan khusus. Adakah kemampuan khusus itu? pertanyaan ini akan menggiring kita untuk melihat sekeliling kita berkenaan dengan penguasaaan bahasa seseorang.
Ada beberapa peneltian yang berusaha mengukur bakat bahasa seseorang. Tes Kecakapan Bahasa Modern atau Modern Language Aptitude Test oleh John Carrol. MLAT diperkenalkan abad kedua puluh. Tes ini meminta para pembelajar bahasa untuk mengerjakan tugas-tugas yang meliputi pembelajaran angka, membedakan bunyi, memahami tanda-tanda ejaan, dan pola-pola gramatikal. Ada juga Himpunan Tes Kecakapan Berbahasa Pimsleur atau Pimsleur Language Aptitude Battery (PLAB) dan Himpunan Tes Kecakapan Bahasa Pertahanan atau Defense Language Aptitude Battery (DLAB) yang digunakan untuk program pelatihan relawan Korps Perdamaian dan kursus-kursus komunikasi militer untuk memperkirakan pembelajar yang sukses (Brown, 2008:113).
Di Indonesia ada, Dermatology Multiple Intelegence, salah satu instrument untuk mengukur kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang melalui sidik jari. Kemampuan-kemampuan yang diukur dengan metode ini, adalah kemampuan logika matematika, kemampuan bahasa, kemampuan intrapersonal, kemampuan interpersonal, kemampuan visual-spasial, kemampuan kinestetik jasmani, kemampuan musical, dan kemampual naturalis. Sejalan dengan Tes DMI ini, Howard Gardner mengusung sebuah teori kontroversial tentang kecerdasan yang memorak-porandakan pemahaman tradisional kita tentang IQ. Gardner mengemukakan delapan kecerdasan berganda, yaitu: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik-tubuh, naturalis, antarpersonal, intrapersonal. Bahkan, Gardner bermain-main dengan kemungkinan kecerdasan yang lebih jauh, yaitu spiritual, eksistensial, dan moral. (Howard Gardner dalam Brown, 2008:116)
Kemampuan bahasa mengukur apakah seseorang memiliki bakat linguistik atau tidak. Kemampuan linguistik ini juga bekerjasama dengan kemampuan-kemampuan yang lain untuk membentuk kecerdasan seseorang. Dalam tes DMI, ada sebuah asumsi bahwa seorang anak yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi jika mempelajari suatu bahasa jauh lebih mudah daripada anak yang kemampuan linguistiknya rendah. Kemampuan bahasa ini juga berpengaruh dalam berkomunikasi dan menuangkan ide dalam bentuk verbal. Bakat dalam diri seseorang berbeda. Namun dalam mempelajari bahasa tidak hanya didasarkan pada bakat semata, namun lebih kepada latihan-latihan yang dilakukan oleh seseorang. Seseorang yang tekun dalam belajar meski kepekaan belajarnya lemah, tentu mampu menguasai apa yang dipelajari. Kemampuan berbahasa adalah kemampuan komunikatif, jadi cara yang terbaik adalah mengomunikasikan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman-pengalaman atau kesalahan-kesalahan yang dialami akan membuat pembelajar lebih ingat daripada secara teori. Pengajaran akan membantu seseorang yang memiliki bakat bahasa lebih cepat menguasai bahasa, dan bagi yang kemampuan bahasanya lemah pun dapat menguasai bahasa tersebut meski memerlukan waktu yang lebih lama.
E. Bakat Bahasa dalam Psikologi
Jika bakat bahasa dikaitkan dengan psikologi, maka bakat bahasa ini menjadi salah satu komponen dalam diri seseorang seperti tangan dalam anggota tubuh. Beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan bakat bahasa, yaitu: 1) Apakah bakat bahasa merupakan anugerah? 2) Apakah bakat bahasa itu bersifat bawaan atau dibentuk oleh lingkungan? 3) Apakah bakat bahasa itu merupakan kemampuan tersendiri ataukah bagian dari kemampuan kognitif? 4) Apakah bakat bahasa dipengaruhi oleh usia dan pembelajaran? 5) Dapatkah bakat bahasa diukur secara tepat? 6) Apakah bakat bahasa dapat menentukan keberhasilan dalam mempelajari bahasa asing? (Brown, 2008:112-113).
Pertanyaan-pertanyaan ini mengacu kepada sebuah keyakinan, apakah bakat bahasa seseorang sejalan dengan kemampuan berbahasa yang dimilikinya. Pertanyaan pertama, apakah bakat bahasa merupakan anugerah? Pertanyaan ini bersefat controversial. Sebagian orang mengatakan, bakat bahasa adalah sebuah anugerah. Seseorang yang memiliki bakat bahasa akan lebih mudah memelajari suatu bahasa yang diinginkannya. Sebagian mengatakan, kemampuan menguasai bahasa adalah hasil dari proses belajar yang dibarengi dengan ketekunan. Namun jika kita amati di sekeliling kita, ada orang-orang yang cepat memahami sebuah bahasa, namun ada juga yang lambat dalam memelajari sebuah bahasa. Kedua, apakah bakat bahasa bersifat bawaan atau dibentuk oleh lingkungan? Untuk memilih diantaranya, bakat bahasa adalah bawaan sejak seorang anak dilahirkan. Lingkungan merupakan asahan untuk memperkuat kepekaan dari bakat yang dimilikianya. Semakin banyak berlatih kepekaan seorang anak yang memiliki bakat bahasa akan semakin mudah dalam memelajari bahasa. Hal ini bisa dibuktikan dengan anak-anak yang tidak memiliki bakat bahasa, cenderung lebih lambat memelajari bahasa dibandingkan dengan mereka yang memiliki bakat bahasa. sebagai bahan perbandingan, kemampuan kinestetik jasmani seseorang, anak yang memiliki bakat dalam bidang olahraga akan berbeda hasilnya dengan anak yang tidak memiliki bakat olahraga. Latihan yang sama, waktu yang sama, pembimbing yang sama tidak dapat menghasilkan kemampuan yang sama dalam mengembangkan bakat seorang anak dalam bidang olaharaga. Sehingga bakat merupakah sesuatu yang bersifat internal dari seorang anak.
Ketiga, apakah bakat bahasa merupakan kemampuan tersendiri atau menjadi bagian dari kemampuan kognitif? Bakat bahasa adalah unsur tersendiri yang terlepas dari kemampuan kognitif. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kemampuan bahasa tinggi belum tentu berkorelasi dengan hasil tes ujian sekolah untuk mata pelajaran bahasa Indonesia. Namun, dalam keseharian seorang anak yang memiliki kemampuan berbahasa dapat memaksimalkan kemampuan berbahasanya. Dalam konteks afektif dan psikomotorik, kemampuan berbahasa akan menghadirkan sebuah perilaku yang berbeda daripada hanya sekedar kemampuan kognitif. Seorang anak dapat menggunakan bahasa, bagaimana bersikap, bahasa seperti apa yang harus digunakan, intonasi seperti apa yang digunakan, dan lain-lain. kemampuan-kemampuan seperti ini tidak hanya didasarkan pada kemampuan kognitif semata, namun memerlukan pemahaman afektif dan psikomotorik yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa.
Keempat, apakah bakat bahasa dapat berubah akibat pengaruh usia dan pembelajaran? Jika berbicara hilang atau tidaknya bakat bahasa, maka usia dan pembelajaran tidak memengaruhi bakat bahasa karena sifat bawaan yang melekat pada diri seseorang. Namun dalam pengembangan bakat bahasa, usia dan pembelajaran memberikan pengaruh yang signifikan. Usia yang semakin bertambah akan melatih kepekaan seseorang dalam mempelajari bahasa. selain itu, usia yang semakin bertambah akan seiring dengan perkembangan otaknya yang merupakan pusat berpikir. Semakin dilatih bakat bahasa semakin peka dan semakin memberikan ruang yang besar untuk mempelajari hal-hal baru. Bertambahnya usia, tidak terlepas dari pembelajaran. Pembelajaran baik secara alami atau dengan upaya sadar akan memberikan informasi yang lebih lengkap seiring bertambahnya usia. Pembelajaran akan membuat bakat bahasa seseorang terorganisasi dengan baik, sehingga dalam penerapan kemampuan berbahasa yang dimilikinya seseorang dapat maksimal.
Kelima, dapatkah bakat bahasa diukur secara tepat? Berbagai alat ukur untuk mengukur kecakapan berbahasa jika tepat untuk segalanya, maka hal ini tidak bisa tepat dalam pengukurannya. Sebagai contoh, dalam tes DMI, kemampuan seorang anak mendapatkan skor tertinggi dalam kemampuan dimilikinya, tidak berarti dalam kemampuan komunikasi dan kemampuan kognitifnya berjalan seimbang. Secara tradisional, seseorang yang memiliki kemampuan linguistik dan kemampuan logis-matematis yang tinggi merupakan penentu keberhasilan seseorang. Namun, untuk saat ini ukuran keberhasilan bergeser, tidak hanya didasarkan pada IQ namun juga melihat Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ). Bakat bahasa secara data dapat terukur dalam hal dominan atau tidak dalam kesehariannya, namun tidak dapat diukur bagaimana hasil penerapannya dalam keseharian. Secara teori, kemampuan bahasa yang tinggi akan sejalan dengan kemampuan bahasa seseorang dalam keseharian, namun dalam perkembangannya lingkungan juga memiliki peranan yang penting.
Keenam, apakah bakat bahasa dapat menentukan keberhasilan seseorang dalam mempelajari bahasa asing? Dalam mempelajari bahasa asing, bakat bahasa juga memiliki peranan. Seseorang yang memiliki kemampuan bahasa secara teori akan lebih mudah menguasai bahasa asing. Tingkat keberhasilan seseorang juga didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran, serta pola-pola latihan yang sesuai dengan gaya seseorang belajar. Cara belajar yang sesuai dapat memberikan kenyamanan bagi pembelajar agar lebih cepat menguasai bahasa asing yang dipelajarinya.
F. Simpulan
Faktor psikolgis dalam pembelajaran bahasa memiliki peranan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kejiwaan seseorang dalam mempelajari bahasa, baik dengan cara pemerolehan maupun dengan cara pembelajaran. Faktor psikologis akan memberikan penerangan kepada seseorang untuk mengetahui dirinya dan dunia yang ada di luar dirinya untuk saling berkomunikasi. Seseorang yang memiliki keterbatasan pun tentunya mengharapkan interaksi dengan dunia luar karena ketergantungan alamiah yang di berada dalam tataran rasa. Seorang yang belajar bahasa tentu mengalami kondisi-kondisi internal yang memengaruhi proses berpikir seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan cara menerapkan pengetahuan yang didapatkannya untuk menjadikan dirinya menjadi lebih baik secara perilaku dan keilmuannya.
Bakat merupakan dasar atau landasan. Seseorang yang memiliki bakat bahasa yang dimiliki seseorang akan menunjang proses pembelajaran atau pemerolehan bahasa dalam waktu yang lebih cepat. Seseorang yang memiliki bakat bahasa cenderung lebih cepat memahami sebuah bahasa, jika dibandingkan dengan orang yang bakat bahasanya lemah. Penguasaan suatu bahasa juga dipengaruhi oleh lingkungan belajarnya. Semakin kondusif lingkungan belajar dan sesuai dengan kondisi nyata, maka semakin mendukung suksesnya seseorang dalam memelajari bahasa.
Secara psikologis, pembelajaran dan pemerolehan bahasa merupakan upaya untun mendapatkan hubungan komunikasi antara jiwa dan dunia luarnya. Pemerolehan bahasa alamiah melibatkan aspek psikologis dari proses meniru lingkungan sekitarnya. Hubungan emosional antara orang tua dan anak, tentu melibatkan proses mental untuk terus berkomunikasi dari hanya sekadar menangis hingga mencapai kemampuan verbal.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, H.Douglas. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Stern, H.H. 1984. Fundamental Concepts of Language Teaching. London: Oxpord University Press.
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php (Kamus Besar Bahasa Indonesia Online).
http://wawan-junaidi.blogspot.com/2012/01/faktor-faktor-psikologis-dalam-belajar.html diakses tanggal 29 Januari 2012, pukul 02.00 WIB.
http://id.wikipedia.org/wiki/Helen_Keller diakses tanggal 31 Januari 2012, pukul 10.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar