SEMANGAT DAN KEBERSAMAAN MEMBUAT KITA BELAJAR UNTUK MENGERTI DAN DIMENGERTI

Rabu, 18 Januari 2012

ILMU SASTRA UMUM


TEORI STRUKTURALISME DAN APLIKASINYA DALAM KAJIAN SASTRA
(masrani nim:117835440)


A.    PENDAHULUAN
Pada abad 20 di Barat terjadi perubahan haluan yang berangsur-angsur dalam ilmu sastra. Pergeseran yang umum dapat dilihat di bidang ilmu-ilmu kemanusiaan ialah pergeseran dari pendekatan historik atau diakronik ke pendekatan sinkronik –bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi di suatu masa yang terbatas dengan mengabaikan perkembangannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi II : 946)- dan sekaligus dapat disaksikan secara khas pergeseran dari pendekatan sastra sebagai sarana untuk pengetahuan lain ke arah sastra sebagai bidang kebudayaan yang otonom.
Dibidang ilmu bahasa, telah disebut nama Ferdinand de Saussure, yang membawa perputaran perspektif yang cukup radikal dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Penelitian bahasa menurut pendapat ini harus mendahulukan bahasa sebagai system yang sinkronik, makna dan fungsi unsur-unsurnya hanya dapat dipahami dalam keterkaitan dengan unsur-unsur lain. Sifat utama bahasa sebagai system tanda ialah sifat relasionalnya yang berarti keseluruhan relasi atau oposisi antara unsur-unsur dan aspek-aspeknya harus diteliti dan dipahami lebih dahulu baru kemudian secara efektif dapat ditelusuri perubahannya dalam sejarah. Konsepsi yang demikianlah merupakan awal mula aliran ilmu bahasa yang disebut strukturalis yang kemudian berpuluh-puluh tahun lamanya menjadi dominan dalam ilmu bahasa, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat.
B.     TOKOH-TOKOH STRUKTURALISISME

Ferdinand de Saussure

Ferdinand de Saussure meletakkan dasar bagi linguistik modern melalui mazhab yang didirikannya, yaitu mazhab Jenewa. Menurut Saussure prinsip dasar linguistik adalah adanya perbedaan yang jelas antara signifiant (bentuk, tanda, lambang) dan signifie (yangditandakan), antara parole (tuturan) dan langue (bahasa), dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas dan jelas ini ilmu bahasa dimungkinkanb erkembang menjadi ilmu yang otonom, di mana fenomena bahasa dapat dijelaskan dan dianalisis tanpa mendasarkan diri atas apa pun yang letaknya di luar bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang radikal dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Sistem dan metode linguistik mulai berkembang secara ilmiah danmenghasilkan teori-teori yang segera dapat diterima secara luas. Keberhasilan studilinguistik kemudian diikuti oleh berbagai cabang ilmu lain seperti antropologi, filsafat,psikoanalisis, puisi, dan analisis cerita.

           Jan Mukarovsky
Jan Mukarovsky memperkenalkan konsep kembar artefakta-objek-estetik. Sastradianggap sebagai sebuah fakta semiotik yang tetap. Teks-teks sastra dianggap sebagaisuatu tanda majemuk dalam konteks luas yang meliputi sistem-sistem sastra dan sosial
            Sklovsky
            Sklovsky mengembangkan konsep otomatisasi dan deotomatisasi, yang serupa dengankonsep Roman Jakobson tentang familiarisasi dan defamiliarisasi. Dasar anggapanmereka adalah bahwa bahasa sastra sering kali memunculkan gaya yang berbeda darigaya bahasa sehari-hari maupun gaya bahasa ilmiah. Struktur bahasa ini pun sering kalimenghadirkan berbagai pola yang menyimpang dan tidak biasa.-

Roland Barthes danJulia Kristeva
Roland Barthes danJulia Kristeva(Strukturalisme Perancis) mengambangkan senipenafsiran struktural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu,diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan bahwasebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan sastraumumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastraterletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik.Aspek-aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan agamatidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentumelalui sarana bahasa puitik.Teori strukturalisme sastra, sesuai dengan penjelasan di atas, dapat dipandang sebagai teori yangilmiah mengingat terpenuhinya tiga ciri ilmiah.Ketiga ciri itu adalah:1.Sebagai aktivitas yang bersifat intelektual, teori strukturalisme sastra mengarah pada tujuanyang jelas yakni eksplikasi tekstual,2. Sebagai metode ilmiah, teori ini memiliki cara kerja teknis dan rangkaian langkah-langkahyang tertib untuk mencapai simpulan yang valid, yakni melalui pengkajian ergosentrik,3. Sebagai pengetahuan, teori strukturalisme sastra dapat dipelajari dan dipahami secara umumdan luas serta dapat dibuktikan kebenaran cara kerjanya secara cermat

C.    KONSEP-KONSEP PEMIKIRAN
Pada prinsipnya, analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, serinci dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan karya menyeluruh. Analisis structural bukanlah penjumlahan anasir-anasir itu, misalnya tidak cukup didaftarkan semua kasus aliterasi, asonansi, rima akhir, rima dalam, inverse sintaksis, metaphor dan metonimi dengan segala macam peristilahan yang muluk-muluk, dengan apa saja yang secara formaldapat diperhatikan pada sebuah sajak, atau dalam hal roman pun tidak cukup semacam enumerasi gejala-gejala yang berhubungan dengan aspek waktu, ruang, perwatakan, point of view, sorot balik dan apa saja. Yang penting justru sumbangan yang diberikan oleh semua gejala semacam ini pada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya, juga dan justru antara berbagai tataran (fonik, morfologis, sintaksis, semantic)..

ANALISIS STRUKTURAL UNTUK KARYA SASTRA DI INDONESIA
Di Indonesia juga sudah banyak analisis struktur yang dihasilkan baik sebagai sebuah skripsi sarjana, atau dalam proyek (Pusat Bahasa, Fakultas Sastra dll), ataupun dalam ruangan Sorotan yang dimulai oleh Jassin, kemudian terdapat dalam banyak suratkabar dan majalah lain. Tetapi sering analisis semacam itu kurang mendalam dan terpadu. Yang baik, misalnya, beberapa tulisan Umar Junus sejak tahun 1970, dan sejumlah studi Subagio Sastrowardoyo. Di bidang sastra Melayu klasik dapat disebut desertasi Achadiati Ikram mengenai Hikayat Sri Rama (1980) dan desertasi Sulastin Sutrisno mengenai Hikayat Hang Tuah (1978). Berbagai contoh analisis struktural terhadap karya sastra Indonesia, dapat dibaca lebih lanjut dalam buku Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya karya Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo.
D.    TEORI  STRUKTURALISISME DAN APLIKASINYA DALAM KEGIATAN SASTRA
Telaah sastra merupakan tahap awal dalam penelitian karya sastra yang harus dilakukan untuk mengetahui karya satra itu berkualitas apa tidak, tetapi untuk mengetahui hal tersebut tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja melainkan harus dari semua elemen secara keseluruhan. Analisis struktural merupakan salah satu cara untuk mengetahui kualitas sastra, dan merupakan jembatan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam karya sastra. Oleh karena itu, peneliti hendaknya tidak terjebak dalam analisis struktural sebab tujuan utama dalam penelitian adalah mengkaji makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Fananie (2000: 76) penilaian karya sastra yang baik tidak hanya dinilai berdasarkan pada salah satu elemennya melainkan harus dilihat secara keseluruhan. Oleh karena itu, karya sastra yang hanya bagus dalam salah satu aspeknya, belum dapat dikatakan sebagai sastra yang berkualitas atau sastra yang baik, begitu juga sebaliknya. Analisis struktural sastra disebut juga pendekatan objektif dan menganalisis unsur intrinsiknya, Fananie (2000: 112) mengemukakan bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan. Pendekatan yang dinilai dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi tersebut misalnya, aspek-aspek instrinsik sastra yang meliputi kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot (setting), karakter. Yang jelas, penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut berdasarkan keharmonisan semua unsur pembentuknya. Pada aspek ini semua karya sastra baru bisa disebut bernilai apabila tiap-tiap unsur pembentuknya (unsur intrinsiknya) tercermin dalam strukturnya, seperti tema, karakter, plot (setting).
Bahasa merupakan satu kesatuan yang utuh. Kesatuan yang mencerminkan satu harmonisasi sebagaimana yang dituntut dalam kriteria estetik. Sebuah struktur mempunyai tiga sifat yaitu totalitas, trasformasi, dan pengaturan diri. Transformasi yang dimaksud bahwa struktur terbentuk dari serangkaian unsur, tetapi unsur-unsur itu tunduk kepada kaidah-kaidah yang mencirikan sistem itu sebagai sistem. Dengan kata lain, susunannya sebagai kesatuan akan menjadi konsep lengkap dalam dirinya. Transformasi dimaksudkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur dan mengakibatkan hubungan antarstruktur menjadi berubah pula. Pengaturan diri dimaksudkan bahwa sruktur itu dibentuk oleh kaidah-kaidah instrinsik dari hubungan antarunsur yang akan mengatur sendiri bila ada unsur yang berubah atau hilang (Peaget dalam Sangidu, 2004: 16). Transformasi yang terjadi pada sebuah struktur karya sastra bergerak dan melayang-layang dalam teksnya serta tidak menjalar keluar teksnya. Karya sastra sebagai sebuah struktur merupakan sebuah bangunan yang terdiri atas berbagai unsur, yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Karena itu, setiap perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah. Perubahan hubungan antar unsur pada posisinya itu secara otomatis akan mengatur diri (otoregulasi) pada posisinya semula (Peaget dalam Sangidu, 2004: 16). Struktur bukanlah suatu yang statis, tetapi merupakan suatu yang dinamis karena didalamnya memiliki sifat transformasi. Karena itu, pengertian struktur tidak hanya terbatas pada struktur (structure), tetapi sekaligus mencakup pengertian proses menstruktur (structurant) (Peaget dalam Sangidu, 2004: 16). Dengan demikian, teori struktural adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Stanton (2007:20) membagi unsur-unsur instrinsik yang dipakai dalam menganalisis struktural karya sastra diantaranya, alur, karakter, latar, tema, sarana sarana sastra, judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi.
Alur : Stanton, (2007: 26) mengemukakan bahwa alur adalah rangkaian-rangkaian dalam sebuah cerita.
Karakter (penokohan) : Stanton (2007: 33) mengemukakan bahwa karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita seperti ketika ada orang yang bertanya; "Berapa karakter yang ada dalam cerita itu?". Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu.
Latar : Stanton (2007: 35) mengemukakan bahwa latar (setting) adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
Tema : Stanton (2007: 36) mengemukakan bahwa tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan "makna" dalam pengalaman manusia; suatu yang menjadikan suatu pengalaman yang iangkat.
Sarana-Sarana Sastra : Stanton (2007: 46) mengemukakan bahwa sarana sastra dapat diartikan sebagai metode pengarang memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai polapola yang bermakna. Metode ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi.
Judul : Stanton (2007: 51) mengemukakan bahwa judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul menuju pada sang karakter utama atau satu latar.
Sudut pandang : Stanton (2007: 53) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah posisi tokoh dalam cerita.
Gaya dan Tone : Stanton (2007: 61) mengemukakan bahwa gaya atau tone dalam sastra adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa.
Simbolisme : Stanton (2007: 64) mengemukakan bahwa simbol adalah tanda-tanda yang digunakan untuk melukiskan atau mengungkapkan sesuatu dalam cerita.
Ironi : Stanton (2007: 71) mengemukakan bahwa secara umum ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya.

E.     PENUTUP

Strukturalisme dan tokoh-tokoh pencetusnya teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastrayang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdirisendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di dalam relasi, baik relasiasosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks(kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parodi (Hartoko, 1986: 135-136).Istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yangmendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. tetapi umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang menerapkan metode dan istilah-istilahanalisis yang dikembangkan oleh Ferdinan de Saussure (Abrams, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik, yang berpandangan bahwa karya sastra adalah ( tiruan kenyataan),teori ekspresif, yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang, dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup panjang danberkembang secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah yangberbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya, strukturalisme di Perancis tidak memilikikaitan erat dengan strukturalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semuapemikiran strukturalisme dapat dipersatukan dengan adanya pembaruan dalamilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Jadi walaupun terdapat banyak perbedaanantara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa mereka semua memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Saussure (Bertens, 1985: 379-381).
































CONTOH :

UNSUR INSTRINSIK
A. TEMA CERITA
Roman ini bertemakan kehidupan, social kemasyarakatan, diman diceritakan kisah hidup seseorang yang tidak mau dicap “gombal”, berisi perjalanan hidupnya dari PNS rendahan menjadi orang sukses
B. SETTING
A. SETTING TEMPAT : JOgjakarta, sumedang, bali. Pekalongan, dan Jakarta
B. SETTING WAKTU : antara tahun 1960-1985
C. PENOKOHAN (TOKOH DA SIFAT) :
  1. Masri : Tokoh utama dalam novel ini, umur 49 tahun, perokok, idealis, suka memancing.
  2. Marsina : Wanita Makassar, pacar pertama Masri, anggun dan ramah.
  3. Siti masnun : Umur 20 tahunan, anak Marsina, urakan.
  4. Retno : Umur 17 tahunan, anak Masri, akan melanjukan ke universitas.
  5. Rahimah : Perempuan desa, istri Masri.
  6. Pak kus : Mantan kepala kantor tempat Masri menjadi pegawai negeri.
  7. Tumi : Gadis ayu, wanita tuna susila, bapaknya kiyai, asal Trenggalek.
  8. Bayu : Anak Masri.
  9. Karno : Anak Masri.
  10. Pak Nurdin : Pegawai administrasi di salah satu penerbitan buku
  11. Darso : Sutradara, Pendek kekar.
  12. Harjo : Manager, perawakan jangkung, rapi.
  13. Maskun : Laki-laki tua yang tidak ingin kehilangan peran.
  14. Min : Kemenakan Darso, drop out dari SMP.
  15. Pak Rambi : Produser yang ambisius.
  16. Satiyo : Perantau dari Jogja yang sukses di Jakarta.
  17. Siti subandiah : Istri Satiyo.
  18. Amrus : Pematung.
  19. Raidin : Sahabat Masri yang juga telah sukses di Jakarta.
  20. Wakijan : sahabat Masri di Jakarta
  21. Mira : Pendatang baru yang rela menyerahkan keperawanan demi mendapat peran utama di film.
  22. Inem : Asli Jogjakarta, jadi pembantu di rumah Satiyo
D. GAYA BAHASA
Roman ini menggunakan gaya bahasa

E. ALUR
Alur yang digunakan dalam roman ini adalah alur Maju
F. AMANAT
Amanat yang ingin disampaiakan oleh penulis roman ini adalah dalam hidup kita seharusnya lebih arif dalam menyikapi semua hal, tidak hanya melihat sebuah kenistaan dari satu sudut pamdang saja, juga kita diharuskan untuk bejuang untuk meraih apa yang kita citakan, tentunya dengan jalan yang benar, tanpa harus KKN.
3. UNSUR EKSTRINSIK
  1. LATAR BELAKANG PENGARANG
NASJAH DJAMIN, lahir 24 september 1924 di Perbaungan, sumatera utara. Dia dapat dikatakan seorang yang serba bisa. Dia berkecimpung dalam dunia seni lukis, sastra, drama dan film. Pada umurnya yang hampir enam puluh tahun (1985) dia masih aktif terus menulis. Suatu prestasi yang sukar dicapai oleh pengarang Indonesia terutama yang telah mencapai umur di atas setengah abad
Buku-bukunya yang sudah terbit antara lain : Hilanglah Si Anak Hilang (novel), Gairah Untuk Hidup Dan Untuk Mati (novel), Malam Kuala Lumpur (novel), dan Senja Pun Turun (novel), Bukit Harapan (novel), Sekelimut Nyanyian Sunda (drama), Titik-Titik Hitam (drama), Perkawinan (kumpulan cerpen), dan beberapa cerita bergambar dan cerita anak-anak
Nasjah djamin pernah memperdalam pengetahuannya di bidang teater (kabuki), film dan TV di tokyo, jepang pada tahun 1961-1964. di bidang perfilman dia pernah menjadi art director, asisten sutradara, make up-man dalam berbagai produksi film
Drama Sekelimut Nyanyian Sunda mendapat hadiah BKMN tahun 1958, tahun 1970 Nasjah mendapat anugerah seni dari pemerintah RI untuk novelnya Gairah Untuk Hidup Dan Untuk Mati. Tahun 1980 novel Harapan Undian Harapan yang kemudian berjudul Bukit Harapan mendapat hadiah utama penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta. Novelnya Hilanglah Si Anak Hilang telah diterjemahkan ke dalam bahasa prancis
Di bidang seni lukis Nasjah djamin telah mengadakan pameran lukisan baik secara nasional maupun internasional. Likisan-lukisannya menjadi koleksi beberapa pejabat penting Indonesia dan Malaysia
  1. SOSIAL CULTURE
Kehidupan nyata Nasjah djamin sangat mempengaruhi cerita dalam roman ini, Nasjah djamin yang notabene memang seorang penulis, pelukis, kru film berhasil “diperankan” Masri, tokoh utama cerita ini.


1. RINGKASAN CERITA
Diawali dengan cerita dimana Masri sedang memuaskan hobynya, yaitu memancing. Suatu ketika pada saat memancing, Masri bertemu dengan Siti masnun atau biasa dipanggil “Nun”, seorang gadis yang hiperaktif, manis, trendy, jadi mengingatkan Masri kepada Marsina, cinta pertamanya yang harus dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tua Marsina, tapi cinta Marsina tetap pada Masri, “aku adalah miliku, lahir dan bathin. Tubuhku dan hatiku. Bilapun besok lusa aku sudah jadi milik oramg lain disahkan dengan surat nikah, tapi aku tetap milikmu. Aku istrimu, sahabatmu, segalamu. Keadaan yang kaku teganglah yang tidak “meresmikan” kita. Aku akan kembali padamu, mas, biarpun aku menjadi istri orang lain. Kukorbankan segalanya, untukmu dan untuk anak-anakku. Kujal tubuhkau sebagai yang dikehendaki mereka! Tapi hatiku tidak kujual, sudah kuberikan padamu ! “, kata Marsina waktu itu pada Masri. Sehingga mereka memutuskan hilang dari Jogja dan berbulan madu secara sembunyi-sembunyi di Bali meskipun sebulan kemudian ia harus menikah dengan “jodohnya”. Pada saat memancing pula, Masri bertemu dengan Pak Kus, mantan atasannya sewaktu menjadi pegawai negeri yang benar-benar jujur meskipun korupsi sudah ada di depannya. “bapak gombal”, ialah perkataan Retno, anak Masri yang menjadi pelecut semangat Masri untuk segera merubah kehidupan. Jakarta, adalah tujuan Masri waktu itu. Kebetulan, waktu itu ada surat berisi segepok uang dari Pak Darso sebagai biaya perjalanan Masri menuju Jakarta, dia diminta menjadi asisten sutradara untuk sebuah penggarapan film, Masri sendiri mempunyai idealisme yang tidak mahu korupsi dan tidak mahu membuat film “rongsokan”, “aku tidak ingin bikin film rongsokan. Bila aku menggarapnya, aku mahu itu hasil ukuran yang baik senagai nilai film. Kasarnya, aku tidak mau “melacur”… “, kata Masri waktu itu. Ketika sudah ada di Jogja, Masri bingung, kemudian bertemu dengan Tumi, seorang WTS yang benar-benar cinta kepada Masri. Sehingga pernah suatu saat Tumi mengajak Masri untuk berpura-pura menjadi suaminya selama satu hari hanya untuk membahagiakan orang tuanya di Trenggalek.
Dalam perjalanan Jogjakarta-Jakarta, Masri bertemu dengan Nun, gadis yang pernah bertemu dengannya waktu mancing tempo dulu. Dalam perjalanan ke Jakarta, gadis itu manja sekali kepada Masri. Kembali Masri teringat Marsina ketika akan menyeberang selat bali dalam perjalanan nekad sebelum mereka berpisah, “aku kepingin “nyeni” seperti kau, mas. Aku ingin mengiringi kemanapun engkau pergi. “. Begitulah, bayang Marsina yang selalu hadir dalam setiap detik kehidupan Masri. Sesampai di Pekalongan, Nun membelikan rokok kretek kepada Masri dan juga mentraktirnya makan di restoran Padang, bus terlambat tujuh jam sampai di Terminal Pulogadung. Karena tidak mempunyai tujuan pasti, Masri menginap di rumah Nun, disana Masri tahu “kebejatan” Nun, ternyata Nun yang begitu manis adalah seorang sosok penganut freesex, suka memakai narkoba. Akhirnya Masri bosan dengan “rutinitas” seperti itu, ketika Nun masih pulas dalam tidirnya, Masripun keluar dari rumah itudeengan meninggalkan tulisan dengan memakai lipstik di kaca rias Nun yang bertuliskan, “Trims atas keramahanmu, Nun..”
Sepeninggal dari rumah Nun, Masri bertemu dengan Pak Nurdin, pegawai yang agak lumayan di bagian administrasi penerbitan buku. Pak Nurdin mengatakan bahwa buku anak-anak pesanan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang pernah ditulis Masri dipesan dan dicetak sebanyak seratus lima puluh ribu eksemplar, buku itu terbit pada tahun 1952 yang lalu, puluhan tahun. Mengalami cetak ulang sekali, setelah berlalu masa sepuluh tahun. Dan Masripun mendapat honorarium sebesar dua setengah juta rupiah. Dan oleh Masri wang itu langsuns saja dikirimkannya ke Jogjakarta untuk memenuhi keinginan anaknya, etno yang menginginkan sepeda motor, Masri hanya menyisakan wang dua puluh lima ribu rupiah untuk “berahan hidup” di Jakarta. Uang itu digunakan untuk pergi k tempat Darso, seorang teman yang “membutuhkannya” untuk produksi film, sesampainya di rumah Darso mereka langsung mengadakan pesta bir. Setelah itu Masri menerima gaji sebesar satu juta rupiah untuk pekerjaan sebagai art director, tapi pekerjaan Masri terpaksa ditunda dulu karena masih menunggu adanya cukong yang mau membiayai sepenuhnya film ini. Dalam fase “menunggu” ini, Masri bertemu seorang kawan yang pernah membaca buku anak karya Masri, ia pun ingin Masri menulis untuk cerita anak lagi, Masripun setuju dengan tawaran itu dengan kompensasi honor 20% dan rabat 35%. Sepeninggal dari penebit, Masri mengalami “betisan” di jalan seberang kantor penerbit, tak diduga ada sebuah mobil yang waktu itu berhenti epat di depan Masri. Marsina..!!, ya, Marsina. Pertemuan yang tak pernah diimpikan dan tak pernah diharapkannya. Satu kebetulan. Masripun memutuskan untuk ke rumah Marsina, Masri mendapat order melukis sebanyak 50 buah lukisan, dengan harga perlukisan adalah dua ratus ribu rupiah, yang menjadi model dari lukisan Masri adalah Marsina sendiri. Jika Marsina harus berangkat bekerja pada pagi harinya, maka Masripn meneruskan naskah buku inpres pesanan dari temannya. Ketika sudah mencapai titik jenuh, Masri pernah meminta Marsina untuk bersedia untuk dilukis denga gaya “nude’ atau telanjang. Pagi hari pada hari keempat Masri ada di rumah Marsina, dering telepon memecah kesunyian pagi itu, ternyata telepon dari atasan Marsina yang meminta Marsina untuk ikut atasannya berangkat ke Hongkong, tapi sebelum berangkat, Marsina masih sempat berbicara kepada Masri, “aku adalah milikmu, aku istrimu, sahabat, dan segalamu, lahor bathin. Aku akan kembali padamu, mas, biarpun aku jadi istri orang lain, hatiku sudah kuberikan padamu !!”, sepeninggal Marsina ke Hongkong, akhirnya Nun memberitahukan kepada Masri tentang siapa sebenarnya dirinya dan juga Marsina, ternyata Nun dan Marsina adalah Ibu dan anak yang sama-sama telah menjadi pelacur !!
Masripun meninggalkan rumah itu, dia kemudian pergi ke rumah Satiyo, tak disangka di sana ia bertemu dengan Inem, perempuan yang juga asli Jogjakarta yang sekarang jadi pembantunya keluarga Satiyo, di rumah Satiyo pula Masri tahu bahwa Mira, calon artisyang rela keperawanannya direnggut hanya demi sebuahperan di film sebenarnya adalah keponakan Satiyo. Mira, ya, Mira, calon artis yang pernah hampir “diperkosa” oleh Masri di Taman Mini, alasan Masri waktu iu adalah ingin mengetahui seberapa bagus kemampuan berakting Mira, meskipun pada waktu itu Mira sempat shock juga, Masripun mengagumi kemampuan berakting Mira.
Setelah dari rumah Satiyo, pergilah Masri ke terminal, di sana ia bertemu dengan Tumi, akhirnya Masri memutuskan untuk bermalam di rumah Tumi. Ketika sedang ada di rumah Tumi, Masri digerebek oleh petugas RT dan RW, karena Tumi maupun Masri belum melapor kepada ketua RT maupun RW jika akan bermalam di rumah Tumi, dan Masripun mengaku sebagai suami Tumi, karena mereka berdua memang pernah melakukan pernikahan di Trenggalek dan mendapatkan sura nikah, untung saja surat nikahnya masih disimpan oleh Tumi, sehingga mereka urung terkena sanksi oleh petugas RT dan RW. Pada dinihari sebelum Masri memutuskan untuk meninggalkan Tumi, Tumi melakukan semacam upacara untuk “perceraian” mereka. Tumi bersimpuh di lantai, Masri bersila di hadapannya. Diantara mereka terdapat dua buah kotak, kotak pertama, berisi surat nikah, dan kotak kedua lebih besar dari kotak pertama, lalu sebuah talan lebardari perak; sebatang lilin memancang di situ dan sebuah korek api.
“Aku Tumi, pernah dinikahi oleh Mas, saat ini memohon cerai, dengan hati tulus dan rela”
“Bersediakah mas mengabulkan permintaan cerai ini?”
“Ya, “ kata Masri, “Saya bersedia”
“Dengan hati bersih, tulus, dan rela?”
“Dengan hati bersih tulus dan rela”
“Tidak ada sesal di kemudian hari?”
“Tidak ada sesal di kemudian hari”
Setelah melaksanakan “upacara” perceraian itu, Tumipun membakar surat nikah
“Selesai mas, sekarang yang ada antara kita, persahabatandan persaudaraan”
Setelah itu, Tumi memberikan tanda persahabatan kepada Masri berupa emas, Masripun baru mahu menerima jika tidak dari tanga Tumi, Masri harus mengambil sendiri. Setelah dari rumah Tumi, Masripun pergi ke restoran Satiyo dan Masri diangkat menjadi asisten bagi Mira untuk pembuatan film nanti.
Kembali ke Jogja, dapat tiga minggu, Masri mendapat uang empat juta rupiah dari Rambi sebagai “uang komisi” karena berhasil menjerat si cukong, Satiyo. Satiyopun juga tidak ketinggalan, dia memberi Masri setengah juta rupiah karena Masri bersedia membantunya dalam persoalan rumit dengan Mira. Telegram dari Marsinapun sampai di Jogja, sesampainya di rumah, terjadi pertengkaran hebat antara Marsina dengan Nun
Masri mendapat gaji sembilan juta enam ratus ribu rupiah dari hasil jual lukisan kepada bossnya Marsina, dengan perhitungan satu lukisan seharga dua ratus ribu rupiah dikali empat puluh delapan lukisan yang berhasil diselesaikan Masri, tapi kemudian setengah dari itu diberikan kepada Marsina, sebagai “upah” menjadi modelnya
Masri mendapat telegram dari Mira, “Oom! Kami segera start. Datanglah ke Jakarta, Dampingi Mira, Bantulah hari depan Mira”. Masripun kembali ke Jakarta, meninggalkan budaya “tiga puntung rokok”. Ya, tiga puntung rokok, jangan terulang.





















DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas.2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hartoko, Dick. 1986. Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan). Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar