SEMANGAT DAN KEBERSAMAAN MEMBUAT KITA BELAJAR UNTUK MENGERTI DAN DIMENGERTI

Rabu, 21 Desember 2011

TUJUH TIPE MAKNA DALAM SEMANTIK
Nurhakim (117435436)


A.    Pengertian Makna
Menurut Djajasudarma (1993: 5), makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata), sedangkan menurut Palmer (1976: 30), makna hanya menyangkut unsur intrabahasa. Sementara, Lyons (1977: 204) menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata adalah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain. Dalam hal ini, menyangkut makna leksikal dari kata-kata itu sendiri yang cenderung terdapat di dalam kamus, sebagai leksem (dalam Djajasudarma,1993).
Dari beberapa pendapat diatas maka dapat ditarik satu kesimpulan bahwasanya makna adalah pertautan  diantara unsur bahasa yang menyangkut intra bahasa baik itu makna lesikal yang cenderung terdapat dalam kamus.
Beberapa pakar dalam pemahaman semantik agar mengikuti studi tentang makna dalam artian luas yaitu semua yang dikomunikasikan dengan bahasa. Selain itu sebagian besar pula penulis modern di dalam kerangka linguistik umum membatasi pada segi praktis mengenai studi tentang makna logis atau konseptual. Adapun yang dibicarakan dalam makna kata yang luas yaitu yang termasuk dalam tujuh unsur yang berbeda yaitu makna logis, makna konseptual, makna konotatif, makna stilistik, makna efektif, makna refleksi, makna kolokatif, serta makna tematik.

B.     Jenis Makna
1.      Makna Konseptual
Makna konseptual kadang disebut juga makna denotatif atau makna kognitif dalam pengertian luas dianggap faktor sentral dalam komunikasi bahasa. Hal ini dapat ditunjukkan sebagai sesuatu yang terpadu bagi fungsi esensial terhadap suatu bahasa, tidak seperti makna yang lain. Alasan utama untuk menempatkan sebagai prioritas pada makna konseptual adalah bahwa makna konseptual mempunyai susunan yang amat kompleks dan rumit. Khususnya pada dua prinsip struktural yaitu kontrasitif dan struktur konsitituen.
Ciri-ciri kontransitif mendasari klasifikasi bunyi dalam fonologi misalnya pada setiap penamaan kata menerapkan satu bunyi yang membatasi secara positif dengan bentuk yang dimilikinya, serta dengan implikasi secara negatif dengan bentuk yang tidak dimilkinya. Struktur konsituen atau pembentuk adalah prinsip dimana unit-unit bahasa terbentuk dari unit-unit yang lebih kecil atau ditinjau secara terbalik.

2.      Makna Konotatif
Makna konotatif merupakan nilai komunikatif dari satu ungkapan menurut apa yang telah diacu, melebihi diatas isinya yang murni konseptual. Sejauh itu pengertian acuan bertumpah tindih dengan makna konseptual. Contoh kata wanita apabila dibuat definisinya dalam konseptual maka sifat itu adalah manusia, dewasa, dan perempuan haruslah memberikan kriteria secara benar. Sifat sebaliknya kedalam dunia nyata menjadi atribut dari acuannya. Tetapi juga sejumlah sifat tambahan yang tidak masuk dalam kriteria itu, yang kita ketahui juga dapat jadi acuan kata woman tersebut. Acuan tersebut tidak hanya meliputi sifat psikis (berkaki dua, memiliki rahim) tetapi bersifat psikis dan sosial (suka berteman, memiliki naluri keibuan) dan dapat diperluas kearah-arah yang bersifat tipikal bukannya selalu ada dalam kewanitaan (pandai bicara, pandai masak, memakai rok, gaun). Masih dapat diteruskan lagi makna konotatifnya meliputi sifat putatif dari acuannya, disebabkan pandangan yang diterima oleh individu atau sekelompok atau seluruh anggota masyarakat seperti (lemah, gampang  menangis, penakut, emosional, tidak rasional, tidak konstan).
Membicarakan konotasi akan semakin jelas bila berbicara tentang dunia nyata yang diasosiakan dengan ungkapan ketika sesorang mendengarnya atau menggunakannya. Oleh karena  itu, batas antara makna konseptual dengan makna konotatif juga merupakan batas yang kabur tetapi penting untuk diketahui.
3.      Makna Stilistik
Berbicara tentang makna sitilistik berarti membicarakan dua aspek komunikasi yang berhubungan dengan situasi terjadinya ucapan. Makna stilistik adalah makna sebuah kata yang menunjukkan lingkungan sosial penggunaannya. Kita mengenali  beberapa kata  atau ucapan sebagai suatu dialek yaitu menunjukkan tentang asal-usul penutur menurut lingkungan geografis atau lingkungan sosialnya. Ciri lainya adalah bahasa  menunjukkan sesuatu tentang hubungan sosial antara penutur dengan pendengarnya, misalnya bahasa sehari-hari, kekeluargaan, bahasa slang.
4.      Makna Afektif
Makna afektif yaitu istilah yang diapakai untuk jenis makna stilistik, sering kali secara eksplisit diwujudkan dengan kandungan konseptual atau konotatif dari kata-kata yang di pergunakan. Misalnya seseorang yang ditegur dengan kata “Dasar anak bodoh”. Bagaimana perasaan sipenutur terhadapnya atau dengan cara tidak langsung seperti “Bukannya tidak pandai melainkan malas belajar”.
Faktor-faktor seperti intonasi dan gema suara dalam hal ini sangat penting. Kesan sopan pada kalimat 2 dapat berbalik kalau diapakai nada sarkastis yang tajam, kalimat 1 dapat diubah menjadi kalimat santai apabila intonasi suara dengan lembut.
5.      Makna Refleksi
Makna refleksi adalah makna yang timbul dalam hal makna konseptual ganda, jika sesuatu pengertian kata membentuk sebagian dari respons kita terhadap pengertian lain. 
6.      Makna Kolokatif
Makna kolokatif terdiri atas asosiasi-asosiasi yang diperoleh suatu kata, yang disebabkan oleh makna kata-kata yang cenderung muncul di dalam lingkungannya. Kata-kata prety dan handsome memiliki arti kata dasar yang sama dalam arti sedap dipandang namun kedua kata itu dapat dibedakan menurut beberapa kata benda lain yang menyertainya atau menjadi kata sandingnya.
Girl                                                                  Boy
Boy                                                                 Man
Woman                                                            Car
Flower                                                             Vessel
Prety          Garden                                                Handsome       Overcoat
Colour                                                             Arline
Vilage                                                              Typewriter

Melihat dari contoh kata diatas sudah barang tentu susunan kata benda itu dapat saja tertukar misalnya handsome woman dan prety woman. Kedua bentuk itu sama-sama bisa diterima meskipun kata-kata itu mengisyaratkan daya tarik yang berbeda yang disebabkan oleh asosiasi kolokatif dari kedua sifat diatas.
7.      Makna Asosiatif
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan suatu yang berada diluar bahasa.
Contoh:
Kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang disucikan atau kesucian.
Kata merah berasosiasi dengan berani.
Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiiripan dengan sifat, keadaan, atau  ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut.
8.      Makna Tematik (Thematic Meaning)
Makna tematik atau makna yang dikomunikasikan menurut cara penutur atau penulis menata pesannya, dalam arti menurut urutan, fokus dan penekanan. Nilai kounikatif itu juga dipengaruhi oleh penggunaan kalimat aktif dan kalimat pasif. Misalnya:  Apakah yang diajarkan dosen itu?
                           Oleh siapakah semantik diajarkan?
Kalimat yang pertama ingin mengetahui objeknya, sedangkan kalimat kedua lebih menekankan siapakah subjeknya.


C.    Maksud dan Interprestasi Makna
Pada bagian ini terdapat pembedaan maksud yaitu makna yang dimaksudkan pesannya, serta pembahasan berkenaan dengan interpretasi makna yaitu makna yang ditangkap seseorang pendengar atau pembaca ketika ia menerima pesan itu.

D.    Kesimpulan
Dari penjelasan sebelumnya dapat ditarik sebuah kesimpulan berkenaan dengan tujuh  tipe makna ke dalam bentuk tabel dibawah ini:
Tujuh Tipe Makna
1. Makna Konseptual

Isi yang logis, kohgnitif atau denotatif
2. Makna Konotatif
yang dikomunikasikan bahasa dengan apa yang diacu oleh bahasa
3. Makna Stilistik
Yang dikomunikasikan dari keadaan sosial mengenai penggunaan bahasa
Makna Asosiatif
4. Makna afektif
Yang terungkap dari perasaan dan tingkah laku pembicara/penulis
5. Makna Refleksi
Yang  disampaikan melalui asosiasi dengan kata yang cenderung terjadi pada lingkup yang lain

6. Makna Kolokoatif
Yang disampaikan melalui asosiasi dengan kata yang cenderung terjadi pada lingkup  kata yang lain
7. Makna Tematik

Yang dikomunikasikan dengan cara dimana pesannya disusun atas dasar urutan dan tekanan

Selasa, 20 Desember 2011

Makalah: PAHAM PEMEROLEHAN B1 DAN PEMBELAJARAN B2


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................
ABSTRAK............................................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................
BAB I    PENDAHULUAN...................................................................................
BAB II   PEMBAHASAN.....................................................................................
2.1  Pandangan dalam Pembelajaran Bahasa................................................ 
2.1.1     Pandangan Behaviorisme............................................................... 
2.1.2     Pandangan Nativisme...................................................................... 
2.1.3     Pandangan Interaksionisme........................................................... 
2.2  Pemerolehan Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2).............. 
2.2.1     Pemerolehan Bahasa Pertama.......................................................
2.2.2     Pemerolehan Bahasa Kedua..........................................................
2.2.3     Hubungan antara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Pemerolehan Bahasa Kedua           .............................................................................................
2.3  Aplikasi Pandangan-Pandangan Dalam Pembelajaran Bahasa.........  
2.3.1     Aplikasi Pandangan Behaviorisme................................................
2.3.2     Aplikasi Pandangan Nativisme....................................................
2.3.3     Aplikasi Pandangan Interaksionisme..........................................

BAB III   PENUTUP...........................................................................................
3.1       Kesimpulan 


BAB I    PENDAHULUAN

Bahasa selalu ada bersama dengan manusia. Ungkapan itu, bukan sekedarungkapan tanpa dasar. Dasar yang sering disebutkan ialah bahwa bahasa merupakan sarana komunikasi antar-manusia. Bahkan dapat pula dikatakan tanpa ada manusia lain pun seseorang dapat berbahasa. Manusia dapat berpikir dalam lamunannya dan dalam mimpinya sehingga dasar yang paling utama sebenarnya adalah bahasa merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Setiap anak manusia yang normal pertumbuhan pikirannya akan belajar bahasa pertama atau bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama dalam hidupnya, dan proses ini terjadi hingga kira-kira umur 5 tahun. Sesudah itu, pada masa pubertas atau kira-kira 12- 14 tahun hingga menginjak dewasa atau kira-kira umur 18- 20 tahun, anak itu akan tetap masih belajar bahasanya yang dinamakan bahasa pertama atau disingkat B1.
Pascapubertas, keterampilan berbahasa seorang anak tidak banyak kemajuannya, meskipun dalam beberapa hal, umpamanya dalam kosakata, ia belajar B1 terus-menerus selama hidupnya. Pemerolehan B1 dianggap bahasa yang utama bagi anak karena bahasa ini yang paling mantap pengetahuan dan penggunaannya. Pemerolehan B1 terjadi apabila anak yang belum pernah belajar bahasa apa pun mulai belajar bahasa untuk pertama kali. Selain pemerolehan bahasa pertama (B1) pemerolehan bahasa kedua pun yang disingkat B2 terjadi dengan bermacam-macam cara, pada usia berapa saja untuk tujuan bermacam-macam dan pada tingkat kebahasaan yang berlainan.
Oleh sebab itu, pemerolehan B2 dapat terjadi secara terpimpin, alamiah. Dalam konteks ini, dirujuk pada dua konsep yang dibedakan oleh para ahli psikolinguistik, khususnya Krashen & Terrell (1983) yang mengatakan bahwa, pada umumnya yang kelihatan ialah mengenai pemerolehan B1 yang disebut sebagai acquisition dan pelajaran B2 yang dinamakan learning.
Berangkat dari uraian di atas, dalam artikel ini akan diuraikan
berturut-turut: pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua; serta pandangan dalam bahasa.


BAB II   PEMBAHASAN

2.1 Pandangan dalam Pembelajaran Bahasa
Perkembangan teori pemerolehan bahasa pada abad ini telah dipenaruhi oleh perkembangan psikologi Omega (dalam Yulianto, 2007: 10-11). Dalam psikologi terdapat dua aliran yang prinsip dasarnya bertentangan, yakni behaviorisme dan kognitivisme. Kedua aliran tersebut ikut mempengaruhi para ahli pembelajaran bahasa dalam memandang bagaimana seorang anak manusia belajar bahasa.
Tentang bagaimana manusia memperoleh atau belajar bahasa, Ellis (dalam Yulianto, 2007:10-11) mengungkapkan adanya tiga kelompok pandangan, yaitu (1) pandangan behaviorisme, (2) pandangan nativisme, dan (3) pandangan interaksionisme. Lebih jelasnya uraian ketiga pandangan tersebut dapat dilihat berikut ini:

2.1.1 Pandangan Behaviorisme
Menurut pandangan ini kegiatan berbahasa dipengaruhi oleh aliran psikologi behaviorisme yang merupakan rangkaian rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Menurut behaviorisme, berbahasa dianggap sebagai bagian dari perilaku manusia, seperti perilaku yang lain. Oleh karena itu, pembelajaran harus dilakukan melalui rangsangan-rangsangan Brown (dalam Yulianto, 2007:11). Pebelajar dalam hal ini dianggap sebagai mesin yang memproduksi bahasa dengan lingkngan dianggap sebagai faktor penentunya, yakni sebagai rangsangan. Untuk itu, agar anak dapat mengucapkan kata-kata tertentu, kepadanya harus diberikan rangsangan berupa kata-kata. Menurut konsep ini anak tidak dapat mengucapkan kata-kata yang belum pernah didengarnya.
Baraja (1990:31) mengemukakan bahwa perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, yaitu dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila hasil suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan; dan sebaliknya, bila hasilnya tidak menguntungkan, perilaku tersebut akan ditinggalkan. Dengan kata lain, apabila ada restu reinforcement yang cocok, perilaku akan berubah. Inilah yang dikatakan belajar, sebab inti belajar adalah adanya perubahan perilaku.
Menurut Skinner, anak-anak mengakusisi bahasa melalui hubungan dengan lingkungan, dalam hal ini dengan cara meniru. Dalam hubungan dengan peniruan ini, faktor yang terpenting adalah frekuensi berulangnya suatu kata atau urutan kata. Ujaran-ujaran itu akan mendapat pengukuhan sehingga anak lebih berani menghasilkan kata dan urutan kata. Dengan cara ini lingkungan akan mendorong anak untuk menghasilkan tuturan yang gramatikal dan tidak memberi pengukuhan terhadap tuturan yang tidak gramatikal.

2.1.2 Pandangan Nativisme
Pandangan ini menekankan peranan aktif pembelajar. Peranan peniruan dan penguatan menjadi tidak berarti. Chomsky menyatakan bahwa pengetahuan seseorang tentang bahasa ibunya diturunkan dari universal grammar yang menentukan bentuk-bentuk dasar bahasa alamiah.
Universal Grammar telah ada pada setiap orang sebagai seperangkat prinsip linguistik bawaan yang terdiri atas keadaan awal yang berfungsi mengontrol bentuk kalimat suatu ujaran. Dengan demikian, universal grammar merupakan seperangkat prosedur penemuan untuk menghubungkan prinsip-prinsip umum itu pada data yang diberikan oleh pajanan bahasa alamiah.
Kaum mentalis berpendapat bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa. Potensi bahasa ini akan berkembang apabila saatnya tiba. (Brown, 1980: 21) beranggapan bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki apa yang mereka sebut LAD (Language Acquisition Device). Kelengkapan bahasa ini berisi sejumlah hipotesis bawaan. McNeill (Brown, 1980: 22) menyatakan bahwa LAD terdiri dari: (a) kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain, (b) kecakapan mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian, (c) pengetahuan tetang sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkin, dan (d) kecakapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik, dengan demikian dapat melahirkan sistem yang dirasakan mungkin di luar data linguistik yang ditemukan.
Senada dengan itu, Ellis (1986:44) menyimpulkan pandangan mentalis tentang pemerolehan B1 sebagai: (1) bahasa merupkan kemampuan khusus manusia; (2) keberadaannya tidak terikat oleh otak atau akal budi manusia, karena meskipun bahasa merupakan bagian alat-alat kognitif, bahasa terpisah dari mekanisme kognitif umum yang berkaitan dengan perkembangan intelektual; (3) faktor utama  pemerolehan B1 adalah piranti pemerolehan bahasa (LAD) yang secara genetis memengaruhi dan menyumbangkan seperangkat prinsip tata bahasa pada anak; (4) LAD berhenti perkembangannya karena usia dan; (5) proses pemerolehan bahasa terdiri atas pengujian hipotesis dengan cara menghubungkan tata bahasa B1 pebelajar dengan univeral grammar.
Pandangan kaum mentalis tentang pemerolehan B2, karena seorang pebelajar menguasai pengetahuan bahasa ibunya dengan jalan menguji hipotesis yang dibuatnya. Tugasnya adalah menghubungkan pengetahuan bawaan tentang gramatika dasar dengan struktur lahir kalimat-kalimat bahasa yang dipelajarinya.

2.1.3 Pandangan Interaksionisme
Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pebelajar dengan lingkungan bahasa (Ellis, 1986: 126). Interaksi antara keduanya adalah manifestasi dari interaksi verbal yang aktual antara pebelajar dengan orang lain.
Pendekatan interaksionisme oleh van Els (dalam Yulianto, 2007: 24) menyebut sebagai pendekatan prosedural, di mana dalam pendekatan ini interaksi antara faktor internal dengan faktor eksternal bersifat sentral. Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif anak dalam menemukan struktur bahasa di sekitarnya. Faktor internal, merupakan kemampuan mental anak sangat berpengaruh. Namun, faktor lingkungan juga berperanan menentukan macam pemerolehannya, terutama leksikon. Di samping itu, Yulianto (2001: 563) juga setuju kepada pandangan Dardjowidjojo (2000: 304) yang mengungkapkan bahwa faktor kodrati dan lingkungan berpengaruh dalam pemerolehan bahasa anak. Secara eksplisit pandangan ini sesuai dengan pandangan interaksionisme (Ellis, 1986:129).
Menurut pandangan interaksionisme, interaksi antara faktor internal dengan faktor eksternal bersifat sentral. Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif anak dalam menemukan struktur bahasa di sekitarnya. Baik pemahaman maupun produksi bahasa pada anak-anak dipandang sebagai sistem prosedur penemuan yang secara terus-menerus berkembang dan berubah.

2.2  Pemerolehan Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2)
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) (anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan itu dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Pemerolehan B1 sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif’ yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya.
Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (B2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (B1). Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupan untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia.
Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat.
Melalui bahasa, khusus B1 seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. B1 salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendirian, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang.
Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau gramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai B1. Agar seorang anak dapat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak.
Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit apabila ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna. Setelah itu, sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun terbentuk.
Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan.
Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua khususnya ibu dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian.
Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA).
Pada perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak yang lebih impulsif daripada anak yang lain, lebih refleksif dan berhati-hati, cenderung lebih jelas dan nyata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Di masa ini setiap bahasa anak akan mencerminkan kepribadiannya sendiri. Siswa taman kanak-kanak memiliki rasa bahasa, bagian-bagiannya, hubungannya, bagaimana cara kerjanya sehingga mereka mampu mengenal serta mengapresiasi bahasa yang dipakai dalam cara yang mengagumkan serta tidak lazim. Selama masa sekolah anak mengembangkan dan memakai bahasa secara unik dan universal. Pada saat itu anak menandai atau memberinya ciri sebagai pribadi yang ada dalam masyarakat itu.
Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Pemerolehan dan pembelajaran dapat dibedakan dalam beberapa hal:
1.     memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama, seorang anak penutur asli, sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal,
2.     secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja.
3.     mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapat pengetahuan secara eksplisit,
4.     pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaran menolong sekali.

2.2.1 Pemerolehan Bahasa Pertama
Ada beberapa cara pemerolehan bahasa pertama (B1). Cara pertama dalam pemerolehan bahasa dengan berpedoman pada: tirulah apa yang dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus, meskipun ia sudah dapat sempurna melafalkan bunyi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa strategi tiruan atau strategi imitasi ini akan menimbulkan masalah besar. Mungkin ada orang berkata bahwa imitasi adalah mengatakan sesuatu yang sama seperti yang dikatakan orang lain. Akan tetapi, ada banyak pertanyaan yang harus dijawab berkenaan dengan hal ini. Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi, yaitu imitasi spontan (spontaneous imitation), imitasi pemerolehan (elicited imitation), imitasi segera (immediate imitation), imitasi terlambat (delayed imitation) dan imitasi dengan perluasan (imitation with expansion).
Cara kedua dalam pemerolehan bahasa adalah strategi produktivitas. Produktivitas berarti keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang pada pedoman buatlah sebanyak mungkin dengan bekal yang telah Anda miliki atau Anda peroleh. Produktivitas adalah ciri utama bahasa. Dengan satu kata, seorang anak dapat “bercerita atau mengatakan” sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat mengandung berbagai makna bergantung pada situasi dan intonasi.
Cara ketiga berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksi ujaran dan responsi. Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaimana orang lain memberi responsi. Stategi produktif bersifat “sosial” dalam pengertian bahwa strategi tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dan sementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan umpan balik kepada pelajar mengenai ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga memberinya sampel yang lebih banyak, iaitu sampel bahasa untuk digarap atau dikerjakan.
Cara keempat adalah prinsip operasi. Dalam strategi ini anak dikenalkan dengan pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi” umum untuk memikirkan serta menetapkan bahasa. Selain perintah terhadap diri sendiri oleh anak, prinsip operasi ini juga menyarankan larangan yang dinyatakan dalam avoidance terms; misalnya: hindari kekecualian, hindari pengaturan kembali.

2.2.2 Pemerolehan Bahasa Kedua
Pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi.
Untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi ada hipotesis pemerolehan belajar yang menuntut bahwa orang-orang dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuan memungut bahasa tidaklah hilang pada masa puber. Orang-orang dewasa juga dapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat pada orang dewasa.
Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi dua cara, yaitu pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah.
Pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin berarti bahasa yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya.
Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan, guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciri penting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan sistematis yang sengaja.
Di dalam kelas yang dapat dianggap sangat penting dan mendasar dalam proses belajar bahasa, yaitu (1) belajar bahasa adalah orang, (2) belajar bahasa adalah orang-orang dalam interaksi dinamis, dan (3) belajar bahasa adalah orang-orang dalam responsi.
Pemerolehan bahasa bersamaan dengan proses yang digunakan oleh anak-anak dalam pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa menuntut interaksi yang berarti dalam bahasa sasaran yang merupakan wadah para pembicara memperhatikan bukan bentuk ucapan-ucapan mereka tetapi pesan-pesan yang mereka sampaikan dan mereka pahami. Perbaikan kesalahan dan pengajaran kaidah- kaidah eksplisit tidaklah relevan bagi pemerolehan bahasa, tetapi para guru dan para penutur asli dapat mengubah serta membatasi ucapan-ucapan mereka kepada pemeroleh agar menolong mereka memahaminya. Modifikasi-modifikasi ini merupakan pikiran untuk membantu proses pemerolehan tersebut.

2.2.3 Hubungan antara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Pemerolehan Bahasa Kedua
Istilah pemerolehan bahasa kedua atau second language aqcuisition adalah pemerolehan yang bermula pada atau sesudah usia 3 atau 4 tahun. Ada pemerolehan bahasa kedua anak-anak dan pemerolehan bahasa kedua orang dewasa.
Salah satu perbedaan antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ialah bahwa pemerolehan bahasa pertama merupakan komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosial seorang anak. Sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi sesudah perkembangan kognitif dan sosial seorang anak selesai.
Dalam pemerolehan bahasa pertama pemerolehan lafal dilakukan tanpa kesalahan, sedangkan dalam pemerolehan bahasa kedua itu jarang terjadi. Dalam pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ada kesamaan dalam urutan perolehan butir-butir tata bahasa, banyak variabel yang berbeda antara pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua. Suatu ciri yang khas antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua belum tentu ada meskipun ada persamaan perbedaan di antara kedua pemerolehan.
Ada tiga macam pengaruh proses belajar bahasa kedua, yaitu pengaruh pada urutan kata dan karena proses penerjemahan, pengaruh pada morfem terikat, dan pengaruh bahasa pertama.


2.3  Aplikasi Pandangan-Pandangan Dalam Pembelajaran Bahasa

2.3.1    Aplikasi Pandangan Behaviorisme
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi. Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada keterampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktivitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Teori belajar behavioristik dengan pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.
2.3.2 Aplikasi Pandangan Nativisme
Faktor pembawaan bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar dan pendidikan (Arthur Schaupenhauer (1788-1860)). Untuk mendukung teori tersebut di era sekarang banyak dibuka pelatihan dan kursus untuk pengembangan bakat sehingga bakat yang dibawa sejak lahir itu dilatih dan dikembangkan agar setiap individu manusia mampu mengolah potensi diri. Sehingga potensi yang ada dalam diri manusia tidak sia-sia kerena tidak dikembangkan, dilatih dan dimunculkan.
Tetapi pelatihan yang diselenggarakan itu didominasi oleh orang-orang yang memang mengetahui bakat yang dimiliki, sehingga pada pengenalan bakat dan minat pada usia dini sedikit mendapat paksaan dari orang tua dan hal itu menyebabkan bakat dan kemampuan anak cenderung tertutup bahkan hilang karena sikap otoriter orangtua yang tidak mempertimbangkan bakat, kemampuan dan minat anak.
Lembaga pelatihan ini dibuat agar menjadi suatu wadah untuk menampung suatu bakat agar kemampuan yang dimiliki oleh anak dapat tersalurkan dan berkembang denag baik sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal.
Tanpa disadari di lembaga pendidikan pun juga dibuka kegiatan-kegiatn yang bisa mengembangkan dan menyalurkan bakat anak diluar kegiatan akademik. Sehingga selain anak mendapat ilmu pengetahuan didalam kelas, tetapi juga bisa mengembangkan bakat yang dimilikinya.

2.2.3 Aplikasi Pandangan Interaksionisme
Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional. Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya.
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia.
Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia. Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Sebagai contoh aplikasi paham ini adalah kemampuan manusia menciptakan sebuah forum interaksi sosial; organisasi dan penciptaan karya seni verbal.
Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.



BAB III  PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari ketiga pandangan dalam bahasa iatu bihaviorisme, nativisme, dan interaksionisme dapat dikatakan ketiganya benar sesuai sudut mana mereka dipandang. Tidak dapat disangkal dan dapat dibenarkan dari pandangan kaum empiris bahwa pengetahuan dan keterampilan berbahasa anak diperoleh melalui pengalaman atau proses belajar. Pengalaman dan proses belajar yang akan membentuk akusisi bahasanya. Dalam arti bahasa dipandang sebagai sesuatu yang dipindahkan melalui pewarisan kebudayaan, sama halnya orang yang belajar mengendarai sepeda.
Lebih lanjut, pandangan bihavioristik mengemukakan bahwa tidak ada struktur linguistik yang dibawa anak sejak lahir. Anak yang lahir dianggap kosong dari bahasa, tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa. Sistem respon diperoleh manusia melalui sistem membiasakan atau pengulangan-pengulangan. Dengan demikian, anak harus diajarkan bahasa.
Sama halnya dengan pandangan nativisme atau mentalis, dapat dibenarkan dari sudut pandangnya bahwa anak lahir ke dunia telah membawa kapasitas atau potensi bahasa yang turut menentukan struktur bahasa yang akan mereka gunakan. Proses akusisi bahasa bukan karena hasil proses belajar, tetapi karena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa yang akan berkembang sesuai dengan proses kematangan intelektualnya.
Pandangan interaksionisme ini pun dianggap benar apabila diamati penjelasan dari penganutnya bahwa terjadinya penguasaan bahasa karena adanya hubungan atau adanya interaksi antara masukan yang dipajankan kepada pebelajar dan kemampuan internal yang dimilikinya. Hal ini terbukti dari pengamatan Yulianto (1994) bahwa faktor lingkungan bahasa juga terbukti sangat berpengaruh. Oleh karena itu, baik faktor internal maupun eksternal saling berinteraksi mempengaruhi pemerolehan bahasa indonesia pebelajar.
Dari ketiga pembuktian pandangan dalam bahasa, pembelajaran bahasa akan berhasil apabila dipadukan ketiganya. Karena masing-masing dianggap tidak menyimpang manakala guru dapat memaknai. Walaupun tidak dapat dipungkiri ketiganya memiliki kekurangan, yang dalam hal ini tidak perlu dipermasalahkan selama masih dapat digunakan dan bermanfaat dalam pembelajaran khusunya belajar bahasa Indonesia.
Guru memegang peranan yang penting dalam memberikan kemudahan menumbuhkan / memelihara / meningkatkan motivasi, mengorganisasikan siswa, memilih / menentukan bahan ajar mengelola/mengarahkan kegiatan belajar, memantau kemajuan, membantu siswa dalam kesulitan belajar.