SEMANGAT DAN KEBERSAMAAN MEMBUAT KITA BELAJAR UNTUK MENGERTI DAN DIMENGERTI

Selasa, 13 Desember 2011

FILSAFAT: DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA Oleh Mustaming

A.     PENDAHULUAN
Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah  masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan yang telah disebutkan di atas.

Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.

Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat.


B.    PEMBAHASAN
1.    PENGERTIAN DESENTRALISASI
Dalam pengertiannya yang paling sederhana, ‘desentralisasi’ merupakan seperangkat proses yang bertujuan untuk menyerahkan tanggung jawab dan wewenang pengambilan keputusan terhadap beberapa fungsi spesifik, dari level tertinggi hingga level terendah, baik dalam konteks pemerintahan maupun organisasi lain (Paqueo and Lammert, 2000). Dalam dimensi pendidikan, desentralisasi bermakna sebagai seperangkat proses, yang bersifat kompleks, berhubungan dengan perubahan dalam sistem pengambilan keputusan di level satuan pendidikan, pendapatan dan pengeluaran biaya pendidikan, pengembangan kapasitas guru, rancangan kurikulum, hingga pengelolaan sekolah (Fiske, 1996).

2.    PERANAN PENDIDIKAN : MITOS ATAU REALITAS?

Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.

John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.

Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.

3.  KONSEP DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Konsep desentralisasi merujuk kepada pengalihan–kalau tidak dikatakan pembagian–wewenang pengambilan keputusan dan tanggung jawab pelaksanaan tugas. Secara spesifik, yakni adanya proses pengalihan wewenang (transfer of authority) dalam organisasi pendidikan dari satu tingkatan yang lebih tinggi kepada tingkatan lain yang lebih rendah. Tingkatan pemegang wewenang dalam dunia pendidikan sendiri pada dasarnya terletak pada empat level: pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, distrik, atau pemerintah daerah kabupaten/kota, dan sekolah atau satuan pendidikan (Welsh dan McGinn dalam Fundamentals of Educational Planning Vol 64; 1999). Dalam dimensi apa wewenang tersebut dapat dimaknai secara saksama?
Fiske menegaskan bahwa modus-vivendi pengalihan wewenang dalam desentralisasi pendidikan berada pada dua level. Pertama, desentralisasi yang bersifat politis, yaitu proses pelibatan seluruh warga atau perwakilan mereka maupun anggota masyarakat lain di luar sistem pemerintahan dalam otoritas pengambilan keputusan. Desentralisasi politis pun kemudian diandaikan untuk lebih banyak terlibat dalam konsultasi serta untuk mendapatkan persetujuan dari partai politik yang terlibat. Kedua, desentralisasi yang bersifat administratif, yaitu kekuasaan tetap berada di level pemerintah pusat, sedangkan pengalihan tanggung jawab serta wewenang dalam perencanaan pendidikan, manajemen pendidikan, pembiayaan pendidikan, dan aktivitas lainnya kepada level yang lebih rendah, seperti pemerintah daerah atau badan semiotonom yang dibentuk oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, desentralisasi yang bersifat administratif pada akhirnya tidak akan banyak melibatkan pihak lain di luar struktur pemerintahan.
Dari perspektif manajemen, desentralisasi pendidikan yang bersifat administratif dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, jika dalam sistem sentralisasi mekanisme implementasi kebijakan dilakukan di pusat dengan melibatkan unsur birokrasi yang lamban dan gemuk, dalam sistem desentralisasi, pelaksanaan kebijakan menjadi efisien karena dilakukan dengan cepat oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Pada saat yang sama, motivasi untuk meningkatkan produktivitas akan lebih dirasakan oleh para pengelola pendidikan di daerah, karena desentralisasi pendidikan ikut merangsang prakarsa proaktif pengelola pendidikan dalam menjalankan pendidikan di daerahnya. Namun juga harus digarisbawahi bahwa desentralisasi pendidikan mungkin saja dapat menghasilkan dampak negatif yang tidak diharapkan.
Pada beberapa kasus dalam kebijakan desentralisasi, wewenang pemerintah daerah terhadap pengelolaan keuangan daerah dirasa begitu besar. Implikasinya, pembangunan dan investasi bidang pendidikan di daerah sangatlah tergantung pada visi besar pembangunan pemerintah daerah itu sendiri. Maka menjadi kerugian jika pemerintah di daerah lebih mengutamakan keuntungan pembangunan jangka pendek seperti infrastruktur jalan dan irigasi, ketimbang investasi jangka panjang seperti pendidikan (Paqueo & Lammert, 2000).
Penting juga untuk diketahui bahwa desentralisasi pendidikan biasanya dilandasi beberapa faktor seperti pembiayaan pendidikan, peningkatan efisiensi dan efektivitas, redistribusi kekuasaan, peningkatan mutu pendidikan, dan peningkatan inovasi (Winkler, 1999). Pengalihan wewenang dalam desentralisasi pendidikan juga dapat diartikan berada dalam empat pendekatan, yakni dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan privatisasi (Rondinelli, 1984). Dalam bingkai manajemen, desentralisasi pendidikan sekolah mampu memotong jarak pengelolaan pendidikan, baik dari spektrum perencanaan maupun pembiayaan, sehingga diharapkan mampu menghasilkan penyediaan layanan pendidikan yang efisien dan dapat dinikmati oleh semua warga negara (Winkler & Yeo, 2007).
Kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia mengalami lompatan pendekatan setelah adanya reformasi. Setelah lama menjalankan pola sentralisasi pembangunan dengan menggunakan pendekatan dekonsentrasi, maka setelah diundangkannya peraturan mengenai wewenang pemerintah daerah (UU No 22 dan UU No 25 Tahun 1999), kebijakan desentralisasi pendidikan mulai dikembangkan dengan menggunakan pendekatan devolusi (SMERU, 2001).
4.      Desentralisasi Pendidikan Di Kabupaten Nunukan Kal-Tim

C.     PENUTUP
1.    KESIMPULAN
Desentralisasi merupakan seperangkat proses yang bertujuan untuk menyerahkan tanggung jawab dan wewenang pengambilan keputusan terhadap beberapa fungsi  spesifik, dari level tertinggi hingga level terendah, baik dalam konteks pemerintahan maupun organisasi lain (Paqueo and Lammert, 2000).
Konsep desentralisasi merujuk kepada pengalihan–kalau tidak dikatakan pembagian–wewenang pengambilan keputusan dan tanggung jawab pelaksanaan tugas. Secara spesifik, yakni adanya proses pengalihan wewenang (transfer of authority) dalam organisasi pendidikan dari satu tingkatan yang lebih tinggi kepada tingkatan lain yang lebih rendah
2.    KRITIK
Desentralisasi itu hanya dinyatakan sebagai suatu kekuatan dan kepercayaan yang diberikan kepada daerah, tetapi kemudian tidak jelas karena tidak dirinci siapa yang mengerjakan sesuatu, serta untuk apa dan siapa sesuatu itu dikerjakan.

Desentralisasi itu hanya dinyatakan sebagai suatu kekuatan dan kepercayaan yang diberikan kepada daerah, tetapi kemudian tidak jelas karena tidak dirinci siapa yang mengerjakan sesuatu, serta untuk apa dan siapa sesuatu itu dikerjakan
Dalam falsafah pendidikan, kata dia, semua yang tidak pasti bisa dimanipulasi, baik oleh pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat. Jika sudah dimanipulasi, ia mengkhawatirkan bahwa hanya mereka yang memiliki agenda pribadilah yang menikmati "manisnya" kebijakan tersebut.

Desentralisasi adalah salah satu isu utama yang terdapat dalam perjuangan reformasi. Jadi, menurutnya, meski banyak kekurangan, tidak lantas secara otomatis harus mengubah desentralisasi kembali menjadi sentralisasi. Pemerintah pusat,
3.    SARAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar