SEMANGAT DAN KEBERSAMAAN MEMBUAT KITA BELAJAR UNTUK MENGERTI DAN DIMENGERTI

Minggu, 26 Februari 2012

Gradasi, isi, dan Strategi Pembelajaran


GRADASI, ISI DAN STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA 
PADA PEMBELAJARAN MENULIS
Oleh: Rizal Effendy Panga


A.   Pendahuluan
      Pembelajaran bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia yang diajarkan di sekolah saat ini kurang diminati oleh siswa. Ada berbagai fenomena yang menyebabkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak diminati. Fenomnena pertama, adanya praanggapan bahwa bahasa Indonesia itu mudah. Masyarakat Indonesia sudah bisa berbahasa Indonesia, jadi tidak perlu mempelajari bahasa Indonesia secara mendalam. Fenomena kedua, guru mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia tidak memberikan pembelajaran yang sederhana, menarik, dan menyenangkan, sehingga siswa selalu mengatakan bahwa belajar bahasa Indonesia itu rumit, terlalu banyak wacana, jawabannya sama semua dan masih banyak lagi. Faktor psikologis guru juga menentukan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Guru yang pemarah dan hanya menekankan pembelajaran sesuai keinginan mereka membuat siswa semakin tidak menyukai pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
      Fenomena ketiga, nilai bahasa Indonesia di UN merupakan nilai yang menyebabkan siswa tidak lulus lebih banyak jika dibandingkan dengan pelajaran yang lain. UN selalu jadi momok, apalagi jawaban pada bahasa Indonesia selalu menimbulkan kesan ambigu yang sulit dipahami siswa baik materi yang berhubungan dengan bahasa maupun yang berhubungan dengan sastra. Fenomena keempat, adanya praanggapan mata pelajaran bahasa Indonesia memiliki kelas sosial yang rendah di antara mata pelajaran yang lain, khususnya yang berhubungan dengan sains. Siswa lebih mengutamakan belajar matematika daripada belajar bahasa Indonesia karena jika mendapatkan nilai matematika tinggi, sudah bisa dipastikan siswa tersebut akan mendapatkan predikat siswa pintar. Kultur seperti ini semakin melemahkan posisi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia untuk dianggap sama dengan mata pelajaran yang lain. Fenomena-fenomena di atas, menyadarkan saya bahwa tidak ada yang perlu dipersalahkan, mengapa banyak siswa yang tidak menyukai bahasa Indonesia. Permasalahan ini muncul karena kecintaan siswa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia masih lemah.
      Pembahasan dalam makalah ini dikhususkan dalam pembelajaran menulis. Berbagai teori menulis sudah bermunculan di buku-buku. Namun, tulisan bisa lahir karena seseorang memiliki motivasi untuk menulis. Secara sederhana, agar bisa menulis, seseorang hanya tinggal menuliskan apa saja yang ada di pikirannya. Pembelajaran menulis seharusnya sudah beriringan dengan saat kita pertama kali membaca. Namun, banyak orang yang belajar menulis, tetapi kesulitan dalam menuangkan idenya. Menulis merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat produktif. Kompetensi menulis merupakan kemampuan untuk menghasilkan produk dari hasil kerja pikiran yang dituangkan ke dalam bentuk tertulis.
      Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah-masalah dalam pembelajaran bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya pembelajara menulis, sebagai berikut: 1) Bagaimana gradasi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diterapkan dalam pembelajaran menulis? 2) Apakah isi pembelajaran sudah mencerminkan tujuan dari belajar bahasa dan sastra Indonesia, khususnya pembelajaran menulis 3) Strategi apa yang digunakan dalam pembelajaran menulis?
      Adapun tujuan dari makalah ini adalah memberikan gambaran gradasi pembelajaran menulis berdasarkan tingkat kealamiahan seseorang dalam mempelajari bahasa, memilih isi atau materi menulis sesuai dengan tingkatan usia maupun gradasi dalam pembelajaran menulis, dan memberikan gambaran strategi pembelajaran bahasa dan sastra, khususnya dalam pembelajaran menulis.

B.   Kajian Pustaka
      Pembelajaran menulis tak dapat terlepas dari pengaruh guru dalam mengajarkannya. Hal ini seperti disebutkan di dalam kutipan, sebagai berikut:
Menurut Raimes, ada sepuluh langkah dalam rencana pembelajaran menulis dan pelatihan guru tentan menulis adalah sebagai berikut: memastikan tujuan dan kendala kelembagaan, menentukan prinsip-prinsip teori, merencanakan isi, mempertimbangkan berbagai unsur, menyusun silabus, memilih bahan, mempersiapkan kegiatan dan peran, memilih jenis dan metode umpan balik, mengevaluasi hasil latihan, dan merefleksikan pengalaman guru (Richards, 2002: 306-314).
      Guru sebelum melaksanakan pembelajaran harus mempersiapkan metode yang tepat dalam pembelajaran menulis. Pembelajaran menulis, yang tercakup di dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia merupakan pembelajaran yang hanya mengedepankan pengetahuan, namun melupakan aspek produktivitas dari pembelajaran menulis. Pembelajaran menulis seharusnya bersifat alamiah. Kealamiahan ini dapat ditunjukkan dapat ditinjau dari pemerolehan bahasa. Menurut Anthony Seow, “proses menulis sebagai sebuah kegiatan kelas menggabungkan empat tahap dasar menulis, yaitu: perencanaan, penyusunan, revisi, dan pengeditan serta tiga tahap eksternal yang diberikan guru kepada siswa, yaitu: menanggapi, mengevaluasi, dan pascamenulis” (Richards, 2002: 316).
      Pembelajaran bahasa sebagai komunikasi baik lisan maupun tertulis dapat ditinjau dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Hal ini tergambar dari kutipan berikut ini:
Dalam komunikasi antarindividu, setiap kalimat yang diucapkan mempunyai fungsi yang khusus, kadang-kadang fungsinya ialah memberitahukan, menanyakan,atau memperingatkan tentang suatu fakta. Dala hal ini pembicara mengharapkan bahwa lawan bicaranya dapat menangkap atau mengerti fungsi dari kalimat yang diucapkan pembicara tersebut (Mar’at, 2010: 31).
      Pembelajaran bahasa juga melibat beberapa aspek: aspek usia, aspek linguistik, aspek sosiokultural, dan aspek psikologis. “Bahasa adalah bagian fundamental dari keseluruhan perilaku manusia” (Brown, 2008: 28). Pembelajaran menulis merupakan perilaku manusia dalam mengekspresikan idenya melalui bahasa yang produktif dalam sebuah bentuk tulisan.
      Pembelajaran menulis tak terlepas dari gaya belajar seseorang. Pendekatan Skinner untuk belajar terprogram mengandung ciri-ciri yang berasal dari teori belajarnya, yaitu: langkah-langkah kecil, respons yang jelas, umpan balik segera, dan self-pacing (Hergenhahn, 2009: 130). Dalam pembelajaran menulis, langkah-langkah kecil ini dapat digambarkan ketika siswa memperoleh informasi satu ke informasi yang lain melalui pengamatannya. Dari hasil pengamatannya, siswa harus memberikan respons yang jelas dalam bentuk tertulis dan jika mengalami kesalahan dapat dikoreksi untuk diperbaiki lagi. Koreksi ini merupakan umpan balik dari seorang guru untuk menentukan kesesuaian dalam tulisannya. Proses ini akan memberikan self-pacing atau belajar secara terprogram sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya sendiri.

C.   Gradasi Pembelajaran Menulis
      Gradasi adalah susunan derajat atau tingkatan yang merupakan peralihan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain. Dalam pembelajaran menulis harus dilakukan secara alamiah. Menulis sebagai kompetensi yang bersifat lateral produktif tentunya akan menghasilkan karya-karya berupa tulisan. Namun, sebelum memulai proses menulis perlu direnungi bahwa tulisan itu mengalami perkembangan layaknya manusia yang bertumbuh. Seiring usia bertambah, bentuk tulisan akan semakin berkembang.  Pembelajaran menulis juga harus disusun berdasarkan urutan perkembangan siswa.
      Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana seharusnya pembelajaran menulis diterapkan kepada siswa. Dalam pembelajaran menulis dapat dibuat gradasi berdasarkan perkembangan bahasa pada manusia secara alamiah, sebagai berikut:
a.    Menulis huruf-huruf atau lambang bunyi bahasa
b.    Menulis suku kata
c.    Menulis kata
d.    Menulis rangkaian kata sederhana
e.    Menulis kalimat sederhana
f.     Menulis kalimat sederhana dengan struktur yang lengkap
g.    Menulis rangkaian kalimat sederhana
h.    Menulis dengan menggabungkan dua kalimat sederhana dengan mengenalkan kata-kata penghubung.
i.      Menulis rangkaian kalimat sederhana berdasarkan satu ide atau gagasan
j.      Menulis kalimat kompleks
k.    Menulis dengan menggabungkan dua kalimat kompleks
l.      Menulis rangkaian kalimat kompleks berdasarkan satu ide atau gagasan
m.   Menulis dengan menggunakan variasi kalimat sederhana dan kalimat kompleks berdasarkan satu ide atau gagasan
n.    Menulis teks berdasarkan  dua ide yang memiliki hubungan keterkaitan
o.    Menulis teks berdasarkan ide-ide yang kompleks.
p.    Menulis teks dengan menggunakan pilihan kata yang tepat
q.    Menulis teks dengan menggunakan perumpamaan, dan gaya bahasa
r.     Menulis teks dengan pilihan kata, perumpamaan, dan gaya bahasa berdasarkan satu ide atau gagasan
s.    Menulis teks dengan pilihan kata, perumpamaan, dan gaya bahasa berdasarkan dua ide yang memiliki hubungan keterkaitan
t.      Menulis teks dengan pilihan kata, perumpamaan, dan gaya bahasa berdasarkan ide-ide yang lebih kompleks.
u.    Menulis teks dengan memperhatikan keruntutan dan koherensi dalam menuangkan ide atau gagasan

      Gradasi di atas dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap meniru, tahap pemaknaan, dan tahap ide. Pada tahap meniru siswa hanya menirukan bentuk atau lambang bunyi bahasa yang dicontohkan. Pada tahap ini siswa hanya menggambar tanpa mengetahui makna. Siswa akan dikenalkan dengan bunyi bahasa yang berupa bunyi vokal dan konsonan dalam lambang bahasa yang diajarkan. Setelah mahir dalam menggambar huruf satu persatu, maka langkah selanjutnya adalah merangkai gambar-gambar huruf yang memiliki bunyi vokal dengan gambar-gambar huruf yang mewakili bunyi konsonan yang membentuk suku kata. Tahapan ini dilanjutkan dengan merangkaikan suku-suku kata menjadi sebuah kata. Kata-kata yang terbentuk kemudian dirangkaikan kembali dengan tidak memperhatikan fungsi kata tersebut, namun kata-kata tadi dirangkai sehingga membentuk frasa. Rangkaian frasa ini akan membentuk sebuah struktur kalimat sederhana.
      Tahap kedua adalah tahap pemaknaan. Siswa dapat menuliskan kata-kata sekaligus memahami makna yang dilambangkan oleh tulisan tersebut. Jika seseorang menulis kata ‘jalan’, maka siswa harus menghubungkan dengan perbuatan jalan tersebut. Setelah melalui tahapan ini siswa mulai dilatih untuk dikenalkan pada gabungan kata yang mencerminkan kalimat sederhana. Mula-mula siswa tidak harus mengetahui perbedaan fungsi dari kata-kata tersebut, namun secara perlahan siswa dikenalkan dengan fungsi subjek dan fungsi predikat yang bertujuan untuk mengenalkan struktur kalimat sederhana pada siswa. Setelah memahami, konsep kalimat sederhana siswa diarahkan untuk mencoba mengenali konsep kalimat lengkap. Siswa diajak untuk memahami fungsi dan peran dari sebuah kalimat lengkap yang terdiri dari unsur-unsur subjek, predikat, objek, dan keterangan.  Setelah siswa memahami struktur fungsi dan peran dari sebuah kalimat sederhana yang lengkap, siswa diarahkan untuk menggabungkan dua kalimat sederhana dengan mengenalkan kata-kata penghubung serta makna yang ditimbulkannya.  Gabungan-gabungan kalimat sederhana ini akan menjadi kalimat yang lebih kompleks. Siswa dapat memvariasikan penggunaan kata penghubung sehingga menimbulkan variasi makna dalam tulisan tersebut.
      Tahap ketiga adalah tahap ide. Dalam tahap ini siswa tidak hanya menirukan atau memahami makna dari tulisan yang ia buat, namun siswa sudah mulai menuangkan pikiran-pikiran yang berupa ide atau gagasan yang ada dalam memori mereka. Ide ini merupakan respons dari sebuah hasil pemikiran dari stimulus yang diberikan oleh lingkungannya. Siswa dapat menuliskan hal-hal sederhana di sekitar lingkungannya dengan kalimat-kalimat sederhana. Setelah ia mampu menuliskan dengan menggunakan kalimat sederhana, siswa dapat melanjutkan ke tahapan yang lebih tinggi dengan menggunakan kalimat-kalimat yang lebih kompleks. Proses penuangan ide ini tidak terlepas dari kuruntutan dan koherensi antarkalimat. tulisan yang runtut dan saling berkaitan akan memudahkan orang yang membaca mampu memahami dengan cepat kerangka berpikir penulisnya.

D.   Isi pembelajaran Menulis
      Pembelajaran menulis merupakan pembelajaran yang memanfaatkan kemampuan yang bersifat produktif. Ada produk yang dihasilkan berupa tulisan. Tulisan itu memuat ide dari seseorang yang dikemukakan secara sistematis dan memiliki hubungan keterkaitan dalam penyampaian idenya. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah, pembelajaran menulis hanya bersifat kognisi tanpa pernah menghasilkan sebuah produk. Pembelajaran di sekolah hanya menekankan siswa pada pengetahuan tetapi tidak melihat esensi dari pembelajaran menulis yang harus menghasilkan sebuah produk berupa tulisan dari siswa. Kompetensi menulis mengalami banyak problematika. Banyak siswa tidak mampu menuangkan ide-ide kreatifnya dalam bentuk tulisan. Ini adalah gejala yang wajar karena pembelajaran bahasa tidak pernah diarahkan untuk menghasilkan sebuah produk, berupa tulisan sebagai refleksi dari ide-ide kreatif yang ada di pikiran siswa.
      Bagian ini akan membicarakan bagaimana isi pembelajaran menulis berdasarkan konsep kealamiahan, bahwa menulis adalah sebuah proses kreatif untuk menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan untuk menghasilkan sebuah karya. Untuk menghasilkan sebuah karya tulisan yang baik, tidak mungkin secara instan. Ada proses alamiah yang harus dilakukan, seperti layaknya pemerolehan bahasa pada manusia sejak dilahirkan hingga dewasa. Kemampuan untuk menuangkan ide ke dalam bentuk tertulis tidak dapat terlepas dari kemampuan membacanya. Semakin banyak membaca, semakin banyak referensi-referensi untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang kemudian dapat dituangkan ke dalam bentuk tertulis.
      Isi pembelajaran menulis juga menyesuaikan dengan gradasi pembelajaran menulis. Siswa kelas satu sekolah dasar tentu tidak akan bisa menuliskan ide-ide kreatifnya karena pada saat itu ia masih menirukan tulisan gurunya atau apa pun yang dilihatnya. Isi pembelajaran menulis bisa diberikan kepada siswa, jika siswa telah mencapai tahap ide. Sebelum tahap ide, siswa hanya mewujudkan pengalaman pancaindra untuk mengenali bentuk-bentuk atau lambang dari bunyi-bunyi dan memahami maknanya serta merangkainya dalam kalimat sederhana dan memahami struktur fungsi dan peran dari setiap kata yang dia lihat.
      Secara isi, pembelajaran menulis bisa dibuat beberapa tahapan. Adapun tahapan isi pembelajaran menulis adalah sebagai berikut:
a.    Menulis apa saja yang ada di pikiran
b.    Menulis tema-tema keseharian
c.    Menulis tema-tema yang ditentukan
d.    Menulis kritis
e.    Menulis pemahaman mendalam
      Apapun bisa menjadi objek yang bisa ditulis. Mulai dari objek keseharian hingga sesuatu yang hanya berada di pikiran dari hasil refleksi terhadap kejadian yang terjadi di sekitar atau segala dialog hati individu masing-masing. Menulis adalah sebuah proses kreatif. Proses ini berlangsung terus menerus. Secara alamiah, berbahasa dilakukan oleh setiap orang kapan saja, di mana saja, dengan objek apa pun. Sehingga secara, tidak langsung ini mengisyaratkan bahwa setiap kegiatan berbahasa kita bisa dituliskan. Namun, banyak sekali orang mengatakan susah sekali menulis. Mengapa menulis susah? Kompetensi menulis susah diaplikasikan karena seseorang memandang menulis sebagai sebuah istana ide.  Sebuah ilustrasi, orang yang memakai baju. Pada awalnya tidak ada seorang pun bisa memakai baju sendiri. Namun, orang tuanya memakaikan pakaian dan dia merasakan kehangatan dari pakaian tersebut. Pada saat, tidak berpakaian dia pun merasakan perbedaan antara berpakaian dan tidak berpakaian. Secara alamiah, dia akan berusaha memakai pakaiannya sendiri. Apa yang terjadi? Kesalahan yang diperbuatnya. Namun, apakah dia berhenti untuk berpakaian. Tidak. Dia akan tetap berpakaian, jika salah orang tuanya membenarkan hingga akhirnya dia dapat berpakaian sendiri.
      Begitu juga dengan menulis. Seseorang yang menulis tidak mungkin langsung baik. Perlu proses yang panjang untuk menghasilkan tulisan yang baik. Ketika seseorang menuliskan satu kata, maka sesungguhnya dia telah menulis. Selama proses tersebut tidak berhenti maka tulisannya akan semakin panjang dan terangkai dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Proses berpikir seseorang juga ditunjang dari pengalaman kehidupannya, bacaan yang dibaca, dan pengaruh orang-orang yang ada di sekitarnya.
      Tahap kedua, seseorang bisa menuliskan kesehariannya. Isi tulisan bisa dimulai dari hal-hal ringan, mungkin tidak penting bagi orang lain. Namun, ini adalah sebuah proses untuk mempertajam intuisi dan kepekaannya dalam menulis. Persoalan baik dan buruk hasil tulisan tidak terlalu dipentingkan dalam tahap ini. Tahap ini seseorang hanya menuangkan gagasannya. Proses ini juga sekaligus dapat digunakan untuk memperbaiki tulisan baik dari segi kaidah maupun ketajaman isi. Hanya menuliskan ulang apa yang telah dilakukan, dilihat, didengar, dan dirasakan.
      Setelah kita mahir menuliskan keseharian kita, maka kita dapat memulai menulis dengan menggunakan tema-tema tertentu. Tema-tema tertentu ini sebagai bentuk pengembangan tulisan yang hanya seputar dirinya, sekarang berkembang ke wilayah di luar dirinya. Tema-tema tertentu ini juga bisa membuat kekayaan baik dari segi kekayaan kosakata dan penyikapan terhadap kondisi di luar dirinya secara fokus. Selain itu, untuk menuliskan ide berkenaan dengan tema-tema tertentu, seseorang harus mendapatkan informasi untuk menunjang tulisannya. Sehingga proses membaca dan menulis tidak akan pernah terpisahkan. Seseorang yang tulisannya bagus, cenderung adalah pembaca yang baik.
      Sekarang, kita sudah memperkaya tulisaan kita dengan dua pengalaman yang saling berhubungan baik pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain. Dalam semua bidang kehidupan,  ada peristiwa dari seseorang yang tidak bersesuaian dengan cara berpikir kita. Ketika kita mulai mengomentari dan menilai seseorang, sebenarnya kita bisa menerapkan dalam kompetensi menulis kita. Menulis kritis juga diperlukan dalam pengembangan yang lebih baik. Kritik akan memberikan dampak perbaikan pada seseorang selama orang tersebut memandang kritiks sebagai salah satu proses pembelajaran. Namun, kita harus memperhatikan tata cara dalam mengkritisi peristiwa atau kejadian yang kita tuangkan ke dalam bentuk tulisan. Tulisan kita ibarat mata pedang. Jika  salah menulis, maka kita akan menebas leher orang yang tidak bersalah.  Menulis kritis perlu didasarkan pada sumber-sumber terpercaya dan kejujuran kita untuk mengungkap sesuai dengan kebenaran yang nyata. Tulisan kritis akan berdampak pada perubahan-perubahan  yang mengarah kepada sebuah proses perbaikan.
      Tulisan berbentuk kritik ini diperlukan untuk memberikan kesadaran baik pada penulisnya maupun kepada sasaran tulisan tersebut. Tulisan kritik memerlukan pemahaman lebih mendalam karena kehati-hatian dalam menuliskan ide harus diperhitungkan secara matang. Tulisan ini harus memuat fakta bukan hanya opini sebagai bentuk pembuktian. Setelah itu, tulisan kritik juga harus memberikan jalan keluar dari masalah yang sedang dikritisi. Pemecahan masalah inilah yang akan menjadi dasar untuk memberikan tanggapan, apakah kritik ini memberikan pencerahan atau hanya sekadar mengkritik karena rasa tidak puas terhadap sesuatu.
      Selain menulis kritik, kompetensi menulis yang perlu dikembangkan berikutnya adalah menulis pemahaman secara mendalam. Menulis dengan pemahaman bukan berpusat untuk melihat perbedaan, lalu mengkritisinya. Menulis pemahaman merupakan hasil perenungan mengenai masalah tertentu kemudian merenungkannya, mencari akar permasalahannya, dan menemukan pemecahan masalah. Menulis pemahaman adalah wujud dari pencarian kebenaran tentang sesuatu, dilakukan secara teliti dan memerlukan proses yang panjang. Karya-karya ini dapat memberikan pencerahan. Jika kita melihat beberapa buku yang bertahan sepanjang sejarah dan tak lekang oleh zaman, maka bisa dipastikan buku tersebut ditulis berdasarkan analisis yang mendalam mengenai sebuah persoalan. Tulisan semacam ini tidak melihat perbedaan, namun bagaimana perbedaan ini bisa bersinergi menjadi bagian yang terintegrasi dalam sebuah pemikiran-pemikiran dalam tataran yang lebih tinggi.

E.   Strategi Pembelajaran Menulis
      Pembelajaran menulis, jika salah diajarkan maka tidak akan pernah mendapatkan hasil atau sebuah karya dari siswa. Dalam pembahasan kali ini akan dibahas bagaimana strategi pembelajaran menulis. Strategi yang ditawarkan adalah Strategi Lihat-Dengar-Rasa-Tulis (LDRT).
      Strategi ini berusaha memberikan pembelajaran menulis secara alami seperti layaknya bahasa diperoleh oleh manusia sejak lahir hingga dewasa. Menulis seharusnya menjadi kompetensi berbahasa yang sama dengan berbicara pada tataran produktivitasnya, perbedaannya hanya terletak pada lisan dan tulisan. Pemerolehan bahasa lisan tentu bisa bersinergi dengan pemerolehan bahasa tulis. Bahasa tulis bisa diperoleh. Konsep kealamiahan bahasa berlaku dalam menerapkan pembelajaran menulis. Jika kita mengamati seorang anak ketika belajar menulis, tidak mungkin anak tersebut langsung bisa menuangkan idenya, pemikiran-pemikiran kritis, atau analisis mendalam mengenai sesuatu. Anak tersebut hanya menirukan. Dalam pembelajaran berbicara, seorang anak menirukan bunyi, sedangkan dalam pembelajaran menulis anak menirukan lambang dari bunyi-bunyi bahasa. anak tidak memahami makna dari lambang-lambang tersebut kecuali menggambarkan lambang-lambang bahasa tersebut.
      Konsep Strategi LDRT dapat dijelaskan berdasarkan unsur-unsur yang membangunnya. Konsep lihat dalam pembelajaran menulis adalah langkah pertama yang dialami seorang anak untuk menirukan lambang-lambang bunyi bahasa tersebut. Anak melihat huruf-huruf tersebut seperti layaknya melihat gambar-gambar yang lain. pancaindra akan merespon dan merekam gambar-gambar tersebut dalam memori mereka. Konsep kedua, dengar. Seorang anak dalam menuliskan sesuatu tidak akan pernah mendapatkan makna dari lambang-lambang bunyi bahasa, jika dia tidak mendengar. Hubungan antara lambang dan makna yang tersimpan di memori akan membedakan lambang-lambang bunyi bahasa dengan gambar-gambar yang lain. pembedaan-pembedaan ini bisa diterangkan jika antara gambar dan maknanya bisa terhubung. Konsep ketiga, rasa. Rasa adalah proses pengendapan stimulus dari orang lain. Rasa memberikan pemahaman kepada seseorang agar dapat menggunakan daya imajinasi untuk meresapi makna yang terkandung dalam setiap lambang bunyi bahasa yang masuk ke dalam dirinya. Rasa merupakan proses perenungan sehingga konsep lambang dan makna bisa terhubung dan pada akhirnya pikiran akan merespons dan memerintahkan kepada tubuh, dalam hal ini tangan untuk mengerjakan perintah, yaitu tulis. Konsep keempat, tulis. Tulis merupakan respons dari stimulus yang diterima oleh pikiran untuk menggerakkan anggota tubuh melakukan perintah dengan melakukan pekerjaan menggambar lambang-lambang bunyi bahasa untuk mewujudkan produktivitasnya berupa tulisan.
      Dalam Strategi LDRT, sebelum menulis siswa diajak untuk berkeliling melihat keadaan sekitar. Setiap siswa akan mengalami sendiri apa yang bersentuhan langsung dengan dirinya selama proses observasi. Proses ini akan memberikan informasi awal kepada siswa. setelah proses observasi dengan melakukan pengamatan di lingkungan sekitar, tentunya siswa dapat mengingat kejadian apa saja yang diamatinya. Setelah observasi selesai, siswa diminta untuk menuliskan apa saja yang dia lihat tanpa memperhatikan kaidah bahasanya. Siswa hanya menuangkan ide dari hasil pengamatannya. Apa saja yang dilihat, didengar, dan dirasakan akan dituliskan sesuai urutan waktunya.
      kegiatan observasi dengan panduan dari guru dilakukan dalam tahapan awal saja. Setelah siswa mampu menuangkan apa saja yang dia amati, siswa mulai di arahkan untuk mengamati dirinya sendiri. Apa yang dilakukan, dilihat, didengar, dan dirasakan dapat dituangkan dalam bentuk tertulis dalam sebuah buku catatan harian. Buku catatan harian ini berfungsi untuk merekam pengamatan siswa terhadap dirinya. Buku catatan ini juga berfungsi sebagai bahan untuk memperbaiki tulisan mereka dari hari ke hari. Catatan harian ini akan diperiksa oleh guru. Ketika diperiksa secara bertahap guru memberikan perbaikan-perbaikan dari segi kaidah penulisan dan keruntutan ide atau gagasannya. Setiap hari siswa menghasilkan minimal satu produk tulisan tentang kesehariannya.
      Jika tahap ini semakin mahir dan secara kaidah mulai mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, maka siswa dapat melanjutkan ke tahap berikutnya. Pada tahap ini, siswa diajak untuk mengamati sesuatu diluar dirinya, tetapi tetap menulis pengamatan berkenaan dengan dirinya sendiri. Jika ingin menulis tentang pasar, maka siswa bisa diajak ke pasar atau siswa bisa pergi ke pasar secara mandiri untuk melakukan pengamatan apa saja yang terjadi di pasar, bagaimana pola perilaku orang-orang di pasar, dan lain-lain. Setelah mendapatkan data tersebut, siswa menuliskan pasar dari fokus mereka masing-masing. kebebasan menentukan fokus ini digunakan agar siswa memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi hal yang menarik menurut mereka untuk diungkap. Setelah tulisan itu jadi, tugas guru memeriksa kembali kemudian memberikan catatan-catatan perbaikan baik dari segi kaidah maupun keruntutan ide. Setelah diberi catatan, tulisan tersebut tidak ditinggalkan begitu saja tetapi direvisi kembali. Perbaikan kaidah penulisan dan keruntutan ide diberikan melalui proses bimbingan dan koreksi. Cepat atau lambat siswa akan menemukan satu persatu kaidah yang benar dalam penulisan. Kaidah tidak diajarkan namun ditunjukkan dan langsung diubah. Proses yang berulang ini akan membuat tulisan-tulisan berikutnya menjadi lebih baik.
      Jika siswa semakin mahir dan terus menerus menulis. Menulis lalu direvisi kembali oleh guru, kemudian dituliskan kembali. Tahap berikutnya adalah mengarahkan siswa untuk mencoba mengomentari objek-objek yang diobservasi. Observasi yang berulang memberikan pengalaman bagi siswa untuk menghadapi berbagai persoalan yang ditemuinya, mengomentarinya, dan berusaha memecahkan masalah dari setiap peristiwa atau kejadian yang diamatinya. Pada tahap ini guru bertugas untuk mengarahkan kerangka berpikirnya dalam menemukan masalah, menganalisis, dan mengoreksi setiap kesalahan yang dilakukan. kesalahan akan selalu muncul, namun kesalahan itu juga yang akan membuat seseorang untuk belajar.
      Setelah tahapan ini, seseorang menulis bukan untuk sekadar menulis. Menulis adalah seperti sebuah makanan yang diperlukan oleh tubuh. Menulis merupakan refleksi dari perenungan yang panjang. Setiap objek bisa menjadi sebuah tulisan, namun makna secara filosofi bisa didapatkan dari hasil perenungan. Tulisan bukan untuk menyalahkan namun untuk memberikan pemahaman mendalam. Tulisan ibarat nasehat yang keluar dari orang tua kepada anaknya. Tulisan ibarat kata-kata yang keluar dari orang-orang bijak. Tidak ada mencerca, yang ada sebuah pencerahan. Tidak yang pernah mengatakan awan berwarna merah, namun tulisan mampu memberikan warna kepada objeknya dan membuatnya lebih bermakna.

F.    Penutup
Gradasi adalah susunan derajat atau tingkatan yang merupakan peralihan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain. Dalam pembelajaran menulis harus dilakukan secara alamiah. Gradasi di atas dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap meniru, tahap pemaknaan, dan tahap ide.
      Secara isi, pembelajaran menulis bisa dibuat beberapa tahapan. Adapun tahapan isi pembelajaran menulis adalah sebagai berikut: menulis apa saja yang ada di pikiran, menulis tema-tema keseharian, menulis tema-tema yang ditentukan, menulis kritis, dan menulis pemahaman mendalam.
      Strategi Lihat-Dengar-Rasa-Tulis (LDRT) ini berusaha memberikan pembelajaran menulis secara alami seperti layaknya bahasa diperoleh oleh manusia sejak lahir hingga dewasa. Menulis seharusnya menjadi kompetensi berbahasa yang sama dengan berbicara pada tataran produktivitasnya, perbedaannya hanya terletak pada lisan dan tulisan. Pemerolehan bahasa lisan tentu bisa bersinergi dengan pemerolehan bahasa tulis. Bahasa tulis bisa diperoleh. Konsep kealamiahan bahasa berlaku dalam menerapkan pembelajaran menulis. Jika kita mengamati seorang anak ketika belajar menulis, tidak mungkin anak tersebut langsung bisa menuangkan idenya, pemikiran-pemikiran kritis, atau analisis mendalam mengenai sesuatu. Anak tersebut hanya menirukan. Dalam pembelajaran berbicara, seorang anak menirukan bunyi, sedangkan dalam pembelajaran menulis anak menirukan lambang dari bunyi-bunyi bahasa. anak tidak memahami makna dari lambang-lambang tersebut kecuali menggambarkan lambang-lambang bahasa tersebut.










DAFTAR PUSTAKA


Brown, H. Douglas. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Hergenhahn, B. R. dan Matthew H. Olson. 2009. Theories of Learning (Teori Belajar). Jakarta: Kencana.

Mar’at, Samsunuwiyati. 2009. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung:   Refika Aditama.

Richards, Jack C. dan Willy A. Renanday (Ed). 2002. Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice. United States of America: Cambridge University Press.




 PEMBELAJARAN KOMPETENSI KEBAHASAAN/LINGUISTIK
OLEH NURHAKIM
NIM 171835436

 
A.  Pendahuluan
 Berhasil tidaknya pembelajaran di sekolah-sekolah, termasuk pembelajaran bahasa Indonesia, ditentukan oleh beberapa faktor yang saling terkait dan saling menentukan. Faktor-faktor yang dimaksud antara lain adalah faktor guru, murid, kurikulum, bahan pembelajaran atau buku, metode dan teknik pembelajaran. Badudu (1993:123) menyatakan bahwa pembicaraan mengenai pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah di Indonesia dari masa-masa seyogyanya didasarkan pada beberapa pikiran yang bertalian erat dengan hal-hal tersebut. Yang perlu sekali mendapat perhatian antara lain (1) kurikulum, (2) buku, dan (3) guru yang melaksanakan kegiatan pembelajaran.
 Kurikulum dari masa ke masa sudah mengalami perubahan dan pengembangan. Dengan perubahan dan pengembangan itu diharapkan pembelajaran bahasa Indonesia menuju ke arah yang lebih sempurna. Salah satu wujud perubahan kurikulum bahasa Indonesia terkait dengan masalah aspek kebahasaan. Aspek kebahasaan mulai dihilangkan dari kurikulum (tidak ditampakkan secara eksplisit) sejak diberlakukannya kurikulum 1994. Kurikulum 1994 merupakan hasil usaha memperbaiki pembelajaran bahasa Indonesia kurikulum sebelumnya (1984) yang lebih condong ke penguasaan kebahasaan daripada kompetensi berbahasa Indonesia.
 Sejak tahun 1994 itulah materi kebahasaan tidak lagi dicantumkan secara eksplisit dalam kurikum bahasa Indonesia. Meskipun tidak dicantumkan secara eksplisit dalam Standar Isi, pada Kurikulum 2004 masih terdapat lampiran yang berisi aspek kebahasaan yang perlu diajarkan pada berbagai jenjang pendidikan dan semester. Akan tetapi, pada Kurikulum 2006 lampiran itu tidak terdapat lagi. Perubahan kurikulum yang diawali tahun 1994 sampai dengan tahun 2006 ini memunculkan anggapan bahwa kurikulum saat ini tidak mementingkan aspek kebahasaan/tata bahasa (Yulianto, 2008:1).
 Anggapan seperti itulah yang menimbulkan masalah tersendiri terutama terkait dengan pembelajaran aspek kebahasaan dalam bahasa Indonesia utamanya terkait dengan pemilihan materi pembelajaran. Memilih materi pembelajaran merupakan salah satu tugas yang harus dilakukan guru dan perlu mendapat perhatian. Materi pembelajaran yang memiliki daya tarik bagi siswa akan menjadi motivasi tersendiri bagi kegiatan belajar siswa. Karena itu, materi pembelajaran hendaknya dipilih dari berbagai sumber. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan pembelajaran yang dilakukan agar siswa benar-benar dapat memperluas wawasan siswa. Selain itu, materi pembelajaran yang dipilih dari berbagai sumber akan menjadikan kegiatan pembelajaran lebih menyenangkan dan tidak membosankan.
 Memang memilih atau menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar yang tepat dalam rangka membantu siswa mencapai kompetensi merupakan masalah penting yang sering dihadapi guru dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam kurikulum atau silabus, materi bahan ajar hanya dituliskan secara garis besar dalam bentuk “materi pokok”. Menjadi tugas guru untuk menjabarkan materi pokok tersebut sehingga menjadi bahan ajar yang lengkap. Selain itu, bagaimana cara memanfaatkan bahan ajar juga merupakan masalah. Pemanfaatan dimaksud adalah bagaimana cara mengajarkannya ditinjau dari pihak guru dan cara mempelajarinya ditinjau dari pihak murid.
 Berkenaan dengan pemilihan bahan ajar ini, secara umum masalah dimaksud meliputi cara penentuan jenis materi, kedalaman, ruang lingkup, urutan penyajian, perlakuan (treatment) terhadap materi pembelajaran, dan sebagainya. Masalah lain yang berkenaan dengan bahan ajar adalah memilih sumber di mana bahan ajar itu didapatkan. Ada kecenderungan sumber bahan ajar dititikberatkan pada buku. Padahal banyak sumber bahan ajar selain buku yang dapat digunakan. Buku pun tidak harus satu macam dan tidak harus sering berganti seperti terjadi selama ini. Berbagai buku dapat dipilih sebagai sumber bahan ajar.
 Termasuk masalah yang sering dihadapi guru berkenaan dengan bahan ajar adalah guru memberikan bahan ajar atau materi pembelajaran terlalu luas atau terlalu sedikit, terlalu mendalam atau terlalu dangkal, urutan penyajian yang tidak tepat, dan jenis materi bahan ajar yang tidak sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai oleh siswa. Berkenaan dengan buku sumber sering terjadi setiap ganti semester atau ganti tahun ganti buku.
 Dari semua uraian di atas, pembahasan dalam tulisan ini akan difokuskan pada hal-hal berikut:
1.  Materi aspek kebahasaan dalam Kurikulum 2006
2.  Pemilihan bahan ajar
3.  Problematika pembelajaran aspek kebahasaan di sekolah dan solusinya

B.    Pembahasan

1.    Hakikat Bahasa
            Sesungguhnya, apabila kita ingin mengetahui asal usul bahasa maka banyak hal yang harus diperdebatkan. Akan tetapi kita mengambil garis tengah dari pendapat-pendapat para tokoh yang ahli dibidang bahasa.Terlepas dari itu semua, berikut teori yang dikemukakan beberapa tokoh linguis tentang kemunculan bahasa.
a.  F.B Condillac seorang filusuf bangsa Prancis berpendapat bahwa bahasa itu berasal dari teriakan-teriakan dan gerak-gerik badan yang bersifat naluri yang dibangkitkan oleh perasaaan atau emosi yang kuat. Berikutnya teriakan-teriakan itu bertransofmasi menjadi bunyi-bunyi yang bermakna, lama kelamaan semakin panjang dan rumit.
b.  Von Schlegel, seorang ahli filsafat bangsa Jerman, ia berpendapat bahwa bahasa-bahasa yang ada di dunia ini tidak bersumber dari satu bahasa. Ada bahasa yang lahir secara Onotape yaitu meniru bunyi-bunyi alam kemudian ada dari kesadaran manusia. Tapi Schlegel lebih menitik beratkan teorinya kepada kesadaran manusia sebagai awal kelahiran bahasa.
c.   Brooks (1975) mengatakan bahasa itu lahir pada waktu yang sama dengan kelahiran manusia. Dalam hipotesisnya ia mengatakan bahwa bahasa pada mulanya bebentuk bunyi-bunyi tetap untuk menggantikan atau sebagai symbol benda dan lainnya. Berikutnya bunyi itu dipakai secara bersama-sama oleh orang yang berada di tempat itu.
d.  Philip Liberman (1975) menurutnya bahasa itu lahir secara evolusi sebagai yang dirumuskan oleh Darwin (1859) dengan teori evolusinya.

Selain itu Harimurti Kridalaksana (1983) menelaskan Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikaskan diri.
Dari definisi tersebut dapat diuraikan beberapa ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa, antara lain: (1) bahasa itu adalah sebuah sistem, (2) bahasa itu berwujud lambang, (3) bahasa itu berupa bunyi, (4) bahasa itu bersifat arbitrer, (5) bahasa itu bermakna, (6) bahasa itu bersifat konvensional, (7) bahasa itu bersifat unik, (8) bahasa itu bersifat universal, (9) bahasa itu bersifat produktif, (10) bahasa itu bervariasi, (11) bahasa itu bersifat dinamis, (12) bahasa itu berfungsi sebagai alat interaksi sosial, dan (13) bahasa itu merupakan identitas penuturnya.
Bahasa (bah. Sanskerta: bahasa) Kumpulan kata dan aturannya yang tetap di dalam menggabungkannya berupa kalimat. Merupakan sistem bunyi yang melambangkan pengertian-pengertian tertentu. Bahasa yang hidup senantiasa berkembang karena perubahan-perubahan bunyi dan bentuk kata serta makna-makna kata. Kata-kata yang bunyi dan bentuknya berubah artinya tetap misalnya baharu menjadi baru, afsun(a) menjadi pesona, marapati menjadi merpati, soldadu menjadi serdadu, dan sebagainya sedangkan artinya tetap. Sebaliknya yang bunyinya tetap artinya berubah umpamanya budak yang dalam bahasa Melayu (dan Sunda) berarti anak-anak di dalam bahasa Indonesia berarti abid (abdi) atau budak belian; menggonggong sekarang di dalam bahasa Indonesia berarti menyalak. Nyonya dan nona yang dulu hanya dipakai untuk wanita-wanita Eropa dan Tionghoa sekarang secara umum digunakan untuk setiap wanita yang masing-masing telah dan belum kawin.
Sebagian kosakata menjadi usang dan mati, lainnya timbul menggantikan; beberapa bentuk tatabahasa berubah, tetapi secara kekeluruhan bahasa sebagai suatu sistem komunikasi sosial mempertahankan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Perubahan bahasa selalu berlangsung dengan perlahan-lahan dan berangsur-angsur baik mengenai kosakata maupun tatabahasanya. Secara umum bahasa tidak bergantung kepada susunan masyarakat. Perubahan struktur sosial dan ekonomi sedikit saja pengaruhnya kepada perkembangan bahasa.
Dari beberapa definisi tentang bahasa yang dikemukan diatas ada beberapa yang perlu digaris bawahi bawasanya bahasa adalah lambang bunyi yang bersistem dan arbitrer sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwasanya bahasa adalah lambang bunyi yang bersistem dan arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikaskan diri. Meliputi 5 unsur yaitu manusiawi, dipelajari, sistem, simbolik dan Bahasa yang hidup senantiasa berkembang karena perubahan-perubahan bunyi dan bentuk kata serta makna-makna kata.


2.  Pendekatan Pembelajaran Bahasa
Adapun pendekatan yang dapat digunakan seorang guru dalam pembelajaran adalah:
a.  Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran bahasa adalah pendekatan yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk terlibat secara aktif dan kreatif dalam proses pemerolehan bahasa. Pendekatan ini dipandang sebagai pendekatan dalam proses belajar-mengajar yang sesuai dalam era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendekatan ini memberikan pengetahuan, pengalaman, serta keterampilan yang cocok untuk memperoleh serta mengembangkan kompetensi bahasa yang kita pelajari, dalam hal ini bahasa Indonesia.
Fokus pembelajarannya tidak hanya pada pencapaian tujuan pembelajaran saja, melainkan juga pada pemberian pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Pengelolaan kelas dalam pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses dilaksanakan dengan pengaturan kelas, baik secara fisik maupun nonfisik. Pengaturan dilakukan sedemikian rupa agar siswa mempunyai keleluasaan gerak, merasa aman, bergembira, bersemangat, dan bergairah untuk belajar.

b. Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk membuat kompetensi komunikatif sebagai tujuan pembelajaran bahasa dan mengembangkan prosedur-prosedur bagi empat keterampilan berbahasa, yang mencakup menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dan mengakui saling ketergantungan Munculnya pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa bermula dari adanya perubahan-perubahan dalam tradisi pembelajaran bahasa di Inggris pada tahun 1960-an, yang saat itu menggunakan pendekatan situasi.
   Teori bahasa pendekatan komunikatif berdasarkan teori bahasa yang menyatkan bahwa pada hakekatnya bahasa asalah suatu system untuk mengekspreikan makna yang perlu disampaikan adalah ionteraksi dan komunikasi bahasa bukan pengetahuan tentang bahasa dalam pendekatan ini yang pealing cocok yaitu teori pembelajaran dengan pemerolehan bahasa secara ilmiah.

3. Pendekatan tematik
Konsep pembelajarn tematik merupakan pengembangan dari pemikiran 2 orang tokoh pendidikan yakni Jakob tahun 1989 dengan konsep pembelajaran yang disiplin, dan merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan beberapa aspek baik intra mata pelajaran maupun antar mata pelajaran. Yang memberikan arti pada pembelajaran tematik peserta didik akan dapat memahami konsep-konsep yang dipelajari melalui pengalaman langsung dan nyata yang saling berhubungan dan tampak menekan pada keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran, sehingga peserta didik akibat terlibat dalam proses pembelajaran untuk pembuatan keputusan. Yang menyatakan bahwa pengalaman belajar peserta didik menempati posisi penting dalam meningkatkan usaha kualitas lulusan, dan peserta didik atau siswa harus mampu merancang dan melaksanakan pengalaman belajar dengan cepat. Siswa memerlukan bekal pengetahuan dan kecepatan agar dapat hidup di mesyarakat dan bekal yang telah di dapat dari sekolah di harapkan di lingkungan masyarakat. Namun hal itu tidak lepas dari bimbingan dan tuntutan dari seseorang guru.

3.  Prinsip-prinsip Pembelajaran Aspek Kebahasaan
Sebelum dibahas problematika pembelajaran aspek kebahasaan di sekolah, ada baiknya diuraikan beberapa prinsip pembelajaran bahasa. Bambang Yulianto (2008:1—6) menjelaskan bahwa pembelajaran kebahasaan harus berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran bahasa secara umum. Pada prinsipnya, pembelajaran bahasa Indonesia harus tetap menekankan kegiatan pembelajaran berbahasa bukan pembelajaran tentang bahasa.
Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian guru dalam mengelola pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, pembelajaran bahasa Indonesia harus diarahkan untuk lebih banyak memberikan porsi kepada perlatihan berbahasa yang nyata melalui keterampilan yang produktif (berbicara dan menulis) dan juga yang reseptif (menyimak dan membaca). Yang dimaksud kegiatan berbahasa secara nyata adalah bahasa yang dekat dengan lingkungan siswa. Hal ini bukan berarti bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa yang ’seenaknya’, tanpa mematuhi norma kebahasaan, melainkan bahasa yang sesuai dengan situasi kebahasaan, situasi resmi atau tidak resmi. Dalam situasi resmi, bahasa normatiflah yang dituntut, yaitu bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa, sedangkan dalam situasi tidak resmi diperkenankan adanya pelanggaran terhadap kaidah bahasa tersebut.
Kedua, aspek kebahasaan (tata bahasa) diajarkan hanya untuk membetulkan kesalahan ujaran siswa. Jika bahasa siswa dalam situasi resmi menyalahi kaidah bahasa, guru barulah ”menyadarkan” siswa tentang kesalahan yang diperbuat dengan mengajarkan materi kebahasaan sesuai dengan kesalahan bahasa siswa. Dengan demikian, porsi pembelajaran kebahasaan tidak menjadi yang utama. Sebaliknya, jika bahasa siswa dalam situasi tidak resmi menyalahi kaidah bahasa, guru tidak perlu membahas materi kebahasaan tersebut. Jadi, materi kebahasaan diajarkan kepada siswa sesuai dengan jenis kesalahan bahasa yang diperbuat siswa terutama dalam penggambaran situasi berbahasa resmi. Dengan kata lain, aspek kebahasaan baru diperlukan untuk dibahas ketika guru menemukan kesalahan berbahasa pada siswa, baik dalam bahasa lisan maupun bahasa tulisan.
Meskipun komponen kebahasaan menjadi dasar kegiatan berbahasa yang harus dikuasai siswa, hal itu bukan menjadi tujuan pembelajaran bahasa. Komponen-komponen kebahasaan tersebut menjadi sarana untuk memahami dan menggunakan bahasa bagi tujuan tertentu. Secara khusus, prinsip-prinsip pembelajaran kebahasaan dapat diungkapkan sebagai berikut. Pertama, pembelajaran komponen kebahasaan merupakan pelatihan pemahaman dan penggunaan kata yang bermakna sesuai dengan keperluan komunikasi. Kedua, pembelajaran komponen kebahasaan terintegrasi ke dalam pembelajaran keterampilan berbahasa. Dengan demikian, pembelajaran kemampuan kebahasaan terfokus pada penggunaan bahasa secara fungsional dan bermakna sesuai dengan tujuan dan keperluan komunikasi. Ketiga, pembelajaran komponen kebahasaan tidak menganut tahap-tahap pembelajaran secara linguistis. Komponen fonologi tidak harus diajarkan lebih dahulu dibandingkan degan komponen morfologi atau sintaksis. Pembelajaran sintaksis, misalnya, harus berlangsung secara terpadu berdasarkan wacana yang kontekstual, fungsional, bermakna, dan bermanfaat bagi siswa maupun lingkungannya.
Dengan demikian, materi kebahasaan selain tidak berstruktur juga tidak terbatas. Di sini guru dituntut untuk menguasai dengan baik seluruh aspek kebahasaan. Dengan penguasaan itu, guru akan mampu mengidentifikasi kesalahan berbahasa yang terjadi pada siswa dan mengelompok-ngelompokkan kesalahan tersebut berdasarkan materi kebahasaannya. Guru dituntut pula dapat mengurutkan materi kebahasaan sesuai dengan tingkat perkembangan atau kebutuhan siswa. Materi aspek kebahasaan yang harus disajikan bergantung pada keputusan guru secara profesional. Komponen kebahasaan yang dipilih haruslah didasarkan pada prinsip keterpaduan dan kesinambungan antarkomponen kebahasaan.


4.  Materi Kebahasaan dalam Kurikulum
Untuk melihat materi kebahasaan dalam Kurikulum ini, penulis menyajikan dua komponen dalam kurikulum yaitu standar kompetensi lulusan (SKL) Bahasa Indonesia SMK serta standar kompetensi dan kompetensi dasar. Standar kompetensi dan kompetensi dasar yang disajikan dalam tulisan ini dibatasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Tarakan.
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Bahasa Indonesia SMK:

1.  Mendengarkan
·       Menyimak untuk menyimpulkan informasi yang tidak bersifat perintah dalam konteks bekerja
·       Mengubah informasi dari bentuk lisan ke dalam bentuknon-verbal (bagan/tabel/diagram/  grafik/ denah/matriks)
·       Menyampaikann pendapat/opini dengan menggunakan teknik penyampaian simpulan dan pendapat yang akurat secara deduktif atau induktif
·       Menggunakan bahasa Indoensia yang baik dan benar dalam menyimpulkan sesuatu informasi
2.  Berbicara
·       Menggunakan secara lisan kalimat tanya/pertanyaan dalam konteks bekerja
·       Mengajukan pertanyaan yang sesuai dengan topik pembicaraan untuk menggali informasi secara santun
·       Mengajukan pertanyaan yang memerlukan jawaban ya atau tidak ,misalnya untuk memantapkan pemahaman (klarifikasi), meminta kepastian (konfirmasi)
·       Menggunakan pertanyaan retorik dengan menerapkan konsep dan ciri kalimat retorik
·       Mengajukan pertanyaan secara tersamar dengan kalimat tanya untuk tujuan selain bertanya, seperti: memohon, meminta, menyuruh, mengajak, merayu, menyindir, meyakinkan, menyetujui, atau menyanggah
3.  Membaca
·       Membaca untuk memahami makna kata, bentuk kata, ungkapan, dan kalimat dalam konteks bekerja
·       Mengelompokkan kata, bentuk kata, ungkapan, dan kalimat berdasarkan kelas kata dan makna kata
·       Mendaftar kata-kata yang berpotensi memiliki sinonim dan antonim dalam teks bacaan
·       Mengidentifikasi kata (termasuk bentuk kata baru), frasa, kalimat yang dipersoalkan kebenaran/ ketepatannya (diterima/ditolak) berdasarkan paradigma atau analogi
4.  Menulis
·       Menulis wacana yang bercorak naratif, deskriptif, ekspositoris, dan argumentatif
·       Menulis suatu kejadian dalam bentuk narasi serta memuat unsur-unsur yang melingkupinya secara kronologis
·       Membuat deskripsi secara  dari gambar /bagan/tabel/grafik/diagram/ matriks yang dilihat atau didengar sepanajng 150-200 kaja dalam waktu 30 menit
·       Membuat eksposisi dari suatu peristiwa
·       mmmmMenyusun argumentasi dengan tujuan untuk meyakinkan pembaca tentang suatu peristiwa kerja agar menerima suatu sikap dan opini secara logis

Materi kebahasaan yang terdapat pada beberapa kompetensi dasar tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
(1) pilihan kata dan kalimat efektif
(2) kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana
(3) bahasa yang baik dan benar
(4) bahasa yang efektif, baik, dan benar
(5) kalimat, kata, dan frasa yang dipersoalkan kebenarannya
(6) cara penulisan kalimat tanya dan retorik
(7) kalimat yang efektif dalam karangan

5.  Pembelajaran Unsur Kebahasaan
Pembelajaran unsur kebahasaan merupakan bagian integral dari pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran unsur kebahasaan ditujukan untuk meningkatkan kompetensi dasar kebahasaan, meningkatkan kemampuan pemahaman dan penggunaan bahasa, bukan lagi ditujukan pada pengajaran tentang tata bahasa. Pembelajaran kompetensi kebahasaan ditekankan pada kemampuan menggunakan bahasa (language use) dan mendayagunakan bahasa (language usage).
Penggunaan bahasa mengacu kemampuan menuturkan satuan-satuan bahasa dengan struktur yang benar atau gramatikal, sedangkan pendayagunaan bahasa mengacu kemampuan memanfaatkan satuan-satuan yang gramatikal itu sesuai dengan kebutuhan komunikasi. Dengan kata lain, penggunaan bahasa itu realisasi kompetensi gramatikal, sedangkan pendayagunaan bahasa merupakan realisasi kompetensi komunikatif.
Sejalan dengan pernyataan ini, Syafi’ie (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran bahasa dengan pendekatan komunikatif membentuk kompetensi komunikatif (communicative competence) bukan semata-mata membentuk kompetensi kebahasaan (linguistic competence). Dengan kata lain, pembelajaran mengarah pada pembentukan kemampuan menggunakan bahasa dalam peristiwa komunikasi yang sesungguhnya bukan pada pembentukan penguasaan pengetahuan tentang struktur bahasa.
Pembelajaran unsur kebahasaan dilaksanakan dalam rangka pembentukan atau peningkatan kompetensi gramatikal. Untuk itu, pembelajaran kompetensi kebahasaan dilaksanakan secara integratif dengan pembelajaran kemahiran berbahasa (pembelajaran mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis). Dengan demikian, diharapkan pada diri pebelajar akan terbentuk secara otomatis kompentensi gramatikal dan kompetensi komunikatif.
Dengan pendekatan komunikatif, target pebelajar dalam mempelajari kompetensi dasar kebahasaan (kosakata dan struktur kalimat) bukanlah pengetahuan tentang struktur bahasa itu. Pembelajaran kompetensi kebahasaan diharapkan akan membentuk kompetensi gramatikal. Ia akan terbentuk dengan sendirinya jika seorang pebelajar mempelajari struktur bersama-sama dengan penggunaan dan pendayagunaan struktur yang dipelajarinya dalam peristiwa komunikasi.
Dengan pendekatan komunikatif, penguasaan kompetensi dasar kebahasaan akan menjamin seseorang mampu membedakan satuan bahasa yang berstruktur benar dan yang salah, serta mampu menuturkan satuan bahasa sesuai dengan kaidah struktur yang berlaku dan mendayagunakannya sebagai alat komunikasi yang efektif.

6.  Model Pembelajaran Unsur Kebahasaan
Kata sebagai satuan bahasa akan bermakna secara mandiri jika terdapat dalam konteks penggunaan bahasa. Konteks tempat beradanya kata adalah kalimat. Oleh karena itu, pembelajaran kosakata harus selalu dikaitkan dengan kata yang lain dalam konteks. Dengan kata lain, pembelajaran kosakata harus selalu terkait dengan konteks berbahasa secara nyata. Jadi, pembelajaran empat aspek keterampilan, termasuk sastra selalu memperhitungkan pembelajaran tentang struktur kata. Pada gilirannya, kalimat juga dilihat dari hubungannya dengan kalimat lain. Karena itu, wajar saja jika kata sebagai unsur dalam kalimat perlu dulihat dari konteks kalimat.
Dapat diambil contoh dari aspek membaca dalam model pembelajaran unsur kebahasaan.
Materi Bacaan

Hama Belalang Serang Sumba Timur Petani Dibayangi Kesulitan Pangan

   Waingapu, Kompas – Para petani di sentra-sentra produksi padi sawah di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, kini dibayangi kesulitan pangan setelah hama belalang kembara (Locusta migratoria) meludeskan tanaman padi. Upaya pengendalian belalang tidak efektif karena dilakukan sporadis dan belum menjadi gerakan massal.
   ”Selama ini pengendalian hanya dilakukan sendiri-sendiri oleh petani, belum serempak di seluruh wilayah. Akibatnya, ketika diberantas, belalang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, jagung atau sorgum,” kata Eltar Panjang (57), petani Mauliru, Kecamatan Kota Waingapu, Senin (2/8). Sedikitnya satu hektar tanaman padi miliknya yang baru berusia dua minggu diserang belalang hingga rata dengan tanah. “Hanya dalam hitungan menit, lebih dari satu hektar tanaman padi ini habis dirusak,” ujar Eltar.
   Dia menunjuk petak-petak sawahnya yang telah kosong dan kering. Belalang itu nyaris tidak menyisakan pangkal batang tanaman padi. Dia sengaja mengeringkan lahan karena tidak ada lagi tanamannya. Daripada kosong, sebagian sawahnya ditanami kacang kedelai. Hama itu sudah nenyerang dari tahun ke tahun sejak musim tanam tahun 1998.
Serangan hama ini mencemaskan para petani di musim kemarau ini. Lukas Lapu Ndakanao (67), petani di Mauliru menuturkan, petani di wilayah itu bakal terancam rawan pangan jika hama belalang akan datang kembali menyerang areal persawahan Mauliru. Tanaman padi di lahan 0,5 hektar milik Lukas sudah ludes dimakan belalang 5 Juli lalu. Sekarang sudah bertunas lagi, tetapi dia tetap khawatir kawanan belalang itu akan datang kembali. Saat musim rendeng lalu, dia hanya bisa memanen empat kuintal karena sawahnya diserang hama belalang. Padahal, biasanya dia bisa panen 1,5 ton.
   Kondisi di Lambanapu, Mauhau, Palapa Hebi, dan Kawangu terlihat lebih parah daripada di tempat lain.. Di Kawangu, Kecamatan Pandawai, misalnya, meski tidak terlihat belalang dewasa, jutaan nimfa seperti bintik-bintik hitam menutup ruas jalan dan lahan sawah. Nimfa itu dalam waktu satu atau dua minggu akan menjadi belalang dewasa.
Kepala Dinas TPH Sumba Timur, Yosi Djawa Gigy mengakui pihaknya sudah kewalahan menghadapi serangan belalang ini. Mulai dari tahun 1998 hingga sekarang belalang masih ada. Bahkan, populasinya pada musim kemarau tahun ini meningkat daripada tahun lalu.
Jika tahun 1998 belalang hanya menyerang tujuh desa di dua kecamatan, pada musim tanam 2001/2002 meluas ke 60 desa di 12 kecamatan. Pada musim tanam 2003/2004 belalang menyerang 72 desa di seluruh 15 kecamatan di Sumba Timur, dengan luas lahan yang puso total sekitar 10.000 hektar.

Dikutip dari Kompas

1. Kosakata
a.  Agar kamu lebih mudah memahami isi bacaan, jelaskan terlebih dulu arti kata-kata/istilah berikut yang terdapat dalam bacaan! Gunakan kamus atau sumber belajar yang tersedia!

sporadis
massal
nyaris
rawan pangan
ludes rendeng
nimfa
kewalahan
populasi
puso

b.    Cobalah untuk menemukan kata yang telah mengalami pembentukan kata dan berpotensi untuk memilii sinonim dan antonim!
c.    Cobalah untuk mendaftar kata, bentuk kata dan ungkapan dalam kalimat yang diragukan kebenarannya berdasarkan kaidah bahasa indonesia yang baik dan benar!
d.     Tukarkan hasil pekerjaanmu dengan pekerjaan temanmu untuk saling meneliti dan mengoreksi jika terjadi kesalahan penerapan huruf kapital, tanda baca, dan ejaan!

2. Penggunaan kata depan dari dan daripada
Diskusikan dalam kelompok penggunaan kata dari, daripada, dan yang berdasarkan contoh penggunaan dan uraian di bawahnya! Jika perlu, gunakan buku sumber yang lain!
Perhatikan kalimat-kalimat yang diambil dari teks di atas berikut ini!
a.  Ketika diberantas, belalang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
b.  Hama itu sudah nenyerang dari tahun ke tahun sejak musim tanam tahun 1998.
c.   Hanya dalam hitungan menit, lebih dari satu hektar tanaman padi habis dirusak.
d.  Daripada kosong, sebagian sawahnya ditanami kacang kedelai.
e.  Kondisi di Lambanapu, Mauhau, Palapa Hebi, dan Kawangu terlihat lebih parah daripada di tempat lain.
f.    Populasi pada musim kemarau tahun ini meningkat daripada tahun lalu.
g.  Satu hektar tanaman padi miliknya yang baru berusia dua minggu diserang belalang.
h.  Dia menunjuk petak-petak sawahnya yang telah kosong dan kering.


7.  Problematika Pembelajaran Aspek Kebahasaan di Sekolah dan Solusinya
Pembelajaran aspek kebahasaan yang hanya didasarkan pada buku pelajaran, apalagi hanya satu jenis buku pelajaran, yang disediakan penerbit dianggap masih jauh dari prinsip-prinsip pembelajaran kebahasaan. Hal ini dapat dimaklumi karena bahan pembelajaran itu umumnya ditulis berdasarkan selera atau intuisi penulis saja kemudian dikatakan bahwa bahan itu telah ditulis berdasarkan kurikulum yang berlaku. Selain itu, tidak sedikit buku pelajaran yang ditulis bersamaan dengan penyusunan kurikulum sehingga kurang ada relevansi di antara keduanya (Siahaan, 1987:1). Hal ini juga menunjukkan bahwa penyusunan buku pelajaran bahasa Indonesia selama ini belum menggunakan sampel bahasa yang seharusnya bersifat kontekstual, baik yang berhubungan dengan nilai historis, sosial, budaya, maupun nilai-nilai kemanusiaan.
Solusi yang dapat ditawarkan untuk memperbaiki pembelajaran aspek kebahasaan di antaranya sebagai berikut:
1.  Meningkatkan kompetensi guru bahasa Indonesia
Kompetensi guru bahasa Indonesia yang harus ditingkatkan terutama kompetensi dalam hal-hal berikut:
a. Memahami konsep, teori, dan materi berbagai aliran lingiuistik yang terkait dengan pengembangan materi pembelajaran bahasa
b. Memahami hakikat bahasa dan pemerolehan bahasa
c. Memahami kedudukan, fungsi, dan ragam bahasa Indonesia
d. Menguasai kaidah bahasa Indonesia sebagai rujukan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
    
Dengan kompetensi tersebut diharapkan guru bahasa Indonesia dapat melaksanakan pembelajaran aspek kebahasaan sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran bahasa terutama dalam hal membetulkan kesalahan bahasa pada siswa karena aspek kebahasaan (tata bahasa) diajarkan hanya untuk membetulkan kesalahan ujaran siswa. Jika bahasa siswa dalam situasi resmi menyalahi kaidah bahasa, guru barulah ”menyadarkan” siswa tentang kesalahan yang diperbuat dengan mengajarkan materi kebahasaan sesuai dengan kesalahan bahasa siswa. Sebaliknya, jika bahasa siswa dalam situasi tidak resmi menyalahi kaidah bahasa, guru tidak perlu membahas materi kebahasaan tersebut. Jadi, materi kebahasaan diajarkan kepada siswa sesuai dengan jenis kesalahan bahasa yang diperbuat siswa terutama dalam penggambaran situasi berbahasa resmi. Dengan kata lain, aspek kebahasaan baru diperlukan untuk dibahas ketika guru menemukan kesalahan berbahasa pada siswa, baik dalam bahasa lisan maupun bahasa tulisan.

2.  Menyusun buku ajar kebahasaan berdasarkan kesalahan bahasa siswa
   Buku ajar berdasarkan kesalahan bahasa siswa ini tentu saja disusun berdasarkan penelitian terhadap kesalahan bahasa siswa terutama terkait dengan keterampilan berbahasa nyata terutama keterampilan produktif (berbicara dan menulis) dalam situasi resmi yang menuntut penggunaan bahasa normatif, bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa.

3.  Mengadakan penelitian tentang perkembangan gramatika bahasa Indonesia anak usia sekolah
Hasil penelitian tentang perkembangan gramatika bahasa Indonesia anak usia sekolah ini sangat penting sebagai pedoman bagi perancang buku atau guru bahasa Indonesia dalam menyiapkan materi dan tugas kebahasaan sehingga materi dan tugas-tugas yang diberikan sesuai dengan tingkat perkembangan kejiwaan siswa.


C.  Simpulan
 Dari penjelasan yang telah dijabarkan sebelumnya. Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwasanya bahasa adalah lambang bunyi yang bersistem dan arbitrer sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwasanya bahasa adalah lambang bunyi yang bersistem dan arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikaskan diri. Meliputi 5 unsur yaitu manusiawi, dipelajari, sistem, simbolik dan Bahasa yang hidup senantiasa berkembang karena perubahan-perubahan bunyi dan bentuk kata serta makna-makna kata.
 Untuk melihat materi kebahasaan dalam Kurikulum, penulis menyajikan dua komponen dalam kurikulum yaitu standar kompetensi lulusan (SKL) Bahasa Indonesia SMK serta standar kompetensi dan kompetensi dasar. Standar kompetensi dan kompetensi dasar yang disajikan dalam tulisan ini dibatasi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Tarakan. Meliputi: Mendengarkan, Berbicara, Membaca, Menulis. Materi kebahasaan yang terdapat pada beberapa kompetensi dasar tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
(1) pilihan kata dan kalimat efektif
(2) kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana
(3) bahasa yang baik dan benar
(4) bahasa yang efektif, baik, dan benar
(5) kalimat, kata, dan frasa yang dipersoalkan kebenarannya
(6) cara penulisan kalimat tanya dan retorik
(7) kalimat yang efektif dalam karangan
 Adapun pendekatan yang dapat digunakan seorang guru dalam pembelajaran adalah: Pendekatan Keterampilan Proses, Pendekatan Komunikatif, Pendekatan tematik. Adapun Prinsip-prinsip Pembelajaran Aspek Kebahasaan adalah pembelajaran bahasa Indonesia harus tetap menekankan kegiatan pembelajaran berbahasa bukan pembelajaran tentang bahasa. Model pembelajaran bahasa pula menunjang dalam proses pembelajaran maka perlu dipertimbangkan oleh seorang guru.
     Berkenaan dengan bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran bahasa hendaknya berdasarkan pada prinsip-prinsip meliputi (1) mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar, (2) mengidentifikasi jenis-jenis materi pembelajaran, (3) memilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan (4) memilih sumber bahan ajar.
Berdasarkan dari kurikulum yang ada dapat dijabarkan Materi kebahasaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) pilihan kata dan kalimat efektif, (2) kalimat lugas dan sederhana, (3) bahasa yang baik dan benar, (4) bahasa yang efektif, baik dan benar, (5) bahasa yang santun, (6) kalimat langsung dan tak langsung.
     Problema utama yang muncul dalam pembelajaran aspek kebahasaan di sekolah bersumber dari pembelajaran yang hanya berdasarkan buku pelajaran yang disediakan penerbit. Padahal materi kebahasaan dalam buku pelajaran itu tidak relevan dengan kurikulum dan juga tidak sesuai dengan tingkat perkembangan kejiwaan siswa. Dengan demikian, pembelajaran aspek kebahasaan di sekolah belum sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran bahasa Indonesia. Untuk mengatasi problema tersebut, solusi yang dapat diambil di antaranya: (1) meningkatkan kompetensi guru bahasa Indonesia, (2) menyusun buku ajar kebahasaan berdasarkan kesalahan bahasa siswa, dan (3) mengadakan penelitian tentang perkembangan gramatika bahasa Indonesia anak usia sekolah.
























DAFTAR PUSTAKA

Badudu, J.S. 1988. Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Ghufron, Syamsul. 2010. Problematika Pembelajaran Aspek Kebahasaan di Sekolah dan Solusinya. Universtas Islam Darul Ulum Lamongan: lamongan
Kompas, 3 Agustus 2004.

Pondok Bahasa. 2012. Faktor kebahasaan dan Strategi. http:// rsbikaltim. blogspot.co/ diakses 20 Februari 2011.

SMK N 1 Tarakan. 2011. Silabus Bahasa Indonesia. Depdiknas Kota Tarakan
Yulianto, Bambang. 2008. Aspek Kebahasaan dan Pembelajarannya. Surabaya: Unesa Universitiy Press.