SEMANGAT DAN KEBERSAMAAN MEMBUAT KITA BELAJAR UNTUK MENGERTI DAN DIMENGERTI

Selasa, 07 Februari 2012

TEORI DEKONSTRUKSI - ILMU SASTRA UMUM Oleh Haskam


A.      TEORI DEKONSTRUKSI
            Dekonstruksi identik dengan resepsi sastra. Apabila teks dikaitkan dengan perempuan dan masalah-masalah kolonial, maka dekonstruksi identik dengan feminis dan postkolonial. Apabila teks dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, dekonstruki identik dengan naratologi dan postrukturalis. Dengan demikian postrukturalisme adalah mendekonstruksi kekuatan laten subjek kultural, subjek-subjek hegemonis yang secara terus menerus mengkondisikan situasi marginalitas. ’perempuan ‘ adalah simbol marginalitas yang paling konstan. Perempuan adalah manifestasi hawa ditaman eden, kaum buruh dan tani bagi kelompok marxis, pribumi dalam pandangan kolonial, ekonomi lemah dalam kaitannya dengan proyek kapitalis, novel populer dalam kerangka sastra yang indah (kesusastraaan), pada tradisional dalam era swalayan, dan sebagainya. Pada dasarnya dekostruksi diperhadapkan pada simbol-simbol ‘perempuan’ seperti diatas.
           Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya, secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak Derrida membawakan makalahnya yang berjudul “Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences “,di universitas Johns Hopkins tahun 1966.
Secara leksikal prefiks ‘de’ berarti penurunan, pengurangan, penokohan, penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap konstruksi, yaitu gagasan. Kristeva (1980:36-37), misalnya, menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana. Menurut Al-fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.
Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis. Dekonstruksi dikembangkan atas dasar pemahaman sepihak tradisi kritik, yaitu yang semata-mata memberikan perhatian terhadap ucapan. Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisis Freudian dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika dengan megubah batas-batasnya secara konseptual.
Pada dasarnya dekonstruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983:86-87) dalam kaitannya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-akibat. Prinsip sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya sebagai gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.
Saussure menjelaskan bahwa makna yang diperoleh melalui pembagian lambang-lambang  menjadi penanda dan petanda. Dekonstruksi menolak keputusan tersebut dengan cara terus menerus berusaha melepaskan diri, sekligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru. Menurut Saussure (Eagleton, 1983:128), hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti.
Derrida (Spivak, 1976:xliii) menjelaskan peristiwa diatas dengan istilah differEnce dan differAnce, dua kata yang ucapannya hampir sama tetapi penulisannya berbeda, dibedakan melalui huruf ke-7. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa latin,  differe, yang sekaligus berarti to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menuda) yang berkonotasi temporal. Derrida (Norris, 1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan kehadiran yang tertunda. Makna kata difference berada dalam posisi yang mengambang antara to differ dan to defer, keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak secara utuh mewakili kata difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang dan waktu. Artinya, antara konsep dan kenyataan selalu mempunyai jarak sekaligus perbedaan. Derrida menjdai terkenal karena konsep dekonstruksi, logosentrisme, fonosentrisme, differEnce / differAnce, trace, dan dencentering.
Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968 dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-Strauss. Menurut Derrida, perbedaaan  difference dan differance, bahasa kamus baik bahasa Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan dengan ucapan. Menurut Derrida (Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya hadir dalam suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda.
Konsep Saussure yang juga didekonstruksi oleh Derrida adalah doktrin hierarki ucapan-tulisan, yang pada dasarnya memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai non pusat. Menurut Saussure, ucapan lebih dekat dengan pikiran dan perasaan sebab ucapan mengimplikasikan subjek yang berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedangkan tulisan yang bersifat sekunder, termediasi, grafis dan mewakili.
Menurut Derrida konsep ucapan-tulisan dapat saja dibalik menjadi tulisan-ucapan. Ujaran pun adalah sejenis tulisan, ujaran selalu sudah tertulis, dan dengan demikian bahasa pun sudah tertulis. Menurut Rousseau, ucapan merupakan bentuk asal, tulisan merupakan pelengkap bahasa lisan. Di pihak yang lain, Levi-Strauss melukiskan hubungan antara alam dan kebudayaan yang dengan sendirinya sudah tertulis.
Dekonstruksi juga berkembang di Amerika, sebagai aliran yale. Dekonstruksi Amerika, disamping memiliki ciri-ciri tersendiri, sebagai akibat latar belakang sosiokultural. Tokoh-tokoh deonstruksi Amerika diantaranya: Paul de Man, J.Hillis Miller, Geoffery Hartman, dan Harold Bloom.
Paul de Man (Eagleton,1983:145;Selden,1986:96) lahir di Belgia, merupakan seorang Filolog dan kritikus sastra. Paul de Man memandang bahwa semua bahasa bersifat metafora, bahasa sastra mendekonstruksi hakikatnya sendiri. Hillis Miller memusatkan perhatian pada dekonstruksi rekaan Goeffery Hartman memusatkan perhatian pada sastra kontemporer, teks-teks injil, dan kritik kebudayaan. Harold Bloom menggabungkan teori trope atau bahasa kias, psikologi Freut dan teks injil.
Model dekonstruksi dalam sejarah dikemukakan oleh Hayden White dalam bukunya Tropics of Discourse (1987). Menurut White, sejarah tidak seratus persen objektif sebab bagaimanapun  sejarahwan menyusun cerita kedalam suatu struktur, menceritakan kembali dalam suatu plot.
Perbedaan antara pembaca non dekonstruksi dan dekonstruksi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pembaca non dekonstruksi atau pembaca konvensional dilakukan dengan cara menemukan makna yang benar, makna terakhir, yang disebut sebagai makna optimal. Sebaliknya, pembaca dekonstruksi tidak perlu menemukan makna terakhir. Yang diperlukan adalah pembongkaran secara terus menerus, sebagai proses. Dekonstruksi dilakukan dengan cara pemberian perhatian terhadap gejala-gelaja yang tersembunyi, sengaja disembunyikan, seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan, dan sebagainya.
Umar Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi sebagai persepektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku universal.    
Dalam dekonstruksi, pembacaan tak harus dimulai dari awal, ia bisa dimulai dari mana saja. Bahkan Derrida memulai dari sebuah catatan kaki. Dari pembacaan didapati beberapa unit wacana yang mengalami kebuntuan.

B.  Prinsip Dekonstruksi
Prinsip- prinsip yang terdapat dalam teori Dekonstruksi adalah:
1.      Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi)
2.      Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan

C.  Teknik Analisis
Teknik analisis dari pendekatan teori dekonstruksi ini sebagai berikut:
1.        Pembaca membaca dan memahami isi keseluruhan karya sastra (objek analisis)
2.      Pembaca  mengidentifikasikan objek sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan
3.      Pembaca mengklasifikasikan objek sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditentukan
4.      Pembaca menguraikan/menganalisis objek
5.      Pembaca memberi simpulan dan saran atas hasil analisis yang ia lakukan



D.  Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan metode telaah pustaka dan analisa.

E.   Contoh Pengerapan Dekonstruksi Derrida
Berikut ini contoh penerpan dekonstruksi deridda dalam karya sastra Jepang.
Novel Bootchan karya Natsume Soeseki
Dalam novel ini Natsume Soeseki menceritakan dirinya sebagai Bootchan yakni sosok laki-laki yang mengalami banyak hal dalam kehidupan pribadinya. Semenjak kanak-kanak, ia tak pernah lepas dari ‘masalah’ – sehingga membuat dirinya dianggap anak berandalan yang tak punya masa depan. Ketika tumbuh dewasa ia menjadi seorang guru yang menantang sistem pendidikan di sebuah desa terpencil Kyushu, yang menurutnya tidak mendidik dan memanjakan kenakalan siswa.
Dalam novel Botchan, penulis menemui hal- hal yang tentu diperhatikan oleh setiap pembaca yang kritis. Penulis menemui hal- hal yang dapat dan perlu didekonstruksi lagi dari novel ini. Untuk itu, penulis akan menjelaskan letak dekonstruksi yang perlu diketahui oleh para penikmat karya sastra. Dalam teori dekonstruksi, penulis mengidentifikasi isi novel Botchan berdasarkan prinsip- prinsip yang telah dipaparkan diatas. Yaitu melacak unsur aporia dan membalikkan atau merubah makna- makna yang sudah dikonvensionalkan.
Penulis menemukan unsur aporia dalam novel ini, makna paradoks dalam novel ini adalah tokoh ”aku”(Botchan) yang sering bertindak kasar dan ceroboh dan membuat orang tuanya pilih kasih dan lebih menyayangi kakaknya. Dan Kiyo, pembantu setia atau abdi keluarga Botchan bersikap sebaliknya, sangat menyayangi Botchan. Sikap sayang itu muncul karena Botchan dinilai anak yang jujur dan berani. Botchan sendiri merasa aneh dengan sikap Kiyo tetapi dia juga iba dengan Kiyo yang sudah tua. Hal ini dilihat dari kalimat “Sejak aku kecil,kecerobohan alamiku selalu member masalah”.
Dari kutipan diatas dapatlah kita pikirkan betapa menyedihkannya kehidupan tokoh ”aku”. Dan semuanya itu seolah-olah dengan mudahnya menghilang. Dan penyebabnya adalah karena Botchan yang dinilai anak yang jujur dan berani, sehingga ia disayangi oleh abdi keluarganya yaitu Kiyo.
Makna kontraditif dalam novel ini adalah Botchan yang sering bertindak kasar dan ceroboh, tetapi memiliki sifat yang jujur dan berani. Sehingga waktu dewasa ketika ia menjadi seorang guru di Kyushu, dia berhasil membongkar kebusukan kepala guru yang akan mengambil tunangan temannya yang seorang guru bahasa Inggris yang bernama Koga. Botchan ditemani sahabatnya Hotta. Kepala guru menyusupkan rencana busuknya dengan menyarankan kepala sekolah memutasi Koga, dengan alasan pihak sekolah tidak mampu membayar gajinya. Hal ini membuat Botchan curiga, dia bekerja sama dengan Hotta membongkar kemunafikan ini. Terbongkarlah satu per satu kebohongan Kepala guru dan berujung pada penjebakan kepala guru dan guru seni di tempat hiburan malam yang membuktikan apa yang menjadi kecurigaannya selama ini ternyata benar.
Makna ironi yang terdapat dalam novel ini adalah tentang tokoh Hotta yang merupakan senior Botchan di sekolah. Ketika masalah usil siswa itu muncul, hanya Hotta yang membela Botchan dalam kasus ini namun dia juga meminta pihak sekolah menghukum Botchan yang melalaikan amanah piket malam. Kepala guru dan guru Seni meyakinkan Botchan bahwa Hottalah yang menghasut para siswa. Hal ini semakin membuat Botchan berhati-hati menilai mana teman dan lawan.

F.   Kesimpulan
Dari dekonstruksi yang telah dipaparkan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa tokoh Botchan merupakan tokoh yang dianggap ceroboh, sering bertindak kasar dan anak berandalan yang tak punya masa depan. Tetapi ketika tumbuh dewasa ia menjadi seorang guru yang menantang sistem pendidikan yang tidak mendidik dan hanya memanjakan siswanya. Botchan juga membongka kemunafikan kepala guru yang akan merebut tunangan temannya. Dari sini dapat dilihat Botchan layaknya manusia biasa yang tidak hanya mempunyai sisi negatif saja, tetapi dia memiliki sisi positif yakni jujur dan berani, oleh karena itu waktu kecil ia sangat disayangi oleh pembantunya yang bernama Kiyo meskipun keluarga dan orang disekitar membencinya.


    

Daftar Pustaka

Al-Fayyadl, Muhammad. Derrida.  Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang. 2011.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.
Soseki, Natsume. Botchan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2009
http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi, akses terakhir 21Oktober 2011 (19.25 wib)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar