SEMANGAT DAN KEBERSAMAAN MEMBUAT KITA BELAJAR UNTUK MENGERTI DAN DIMENGERTI

Sabtu, 25 Februari 2012

Analisis Teori Mimetik


ANALISIS TEORI MIMETIK
DALAM CERPEN ”IJAZAH” KARYA EMHA AINUN NAJIB 
Oleh: Rizal Effendy Panga

A.    Pendahuluan
         Analisis teori mimetik pada cerpen ”Ijazah” karya Emha Ainun Najib merupakan bentuk penerapan teori mimetik dalam karya sastra. Teori mimetik merupakan teori yang lahir bersamaan dengan masa kejayaan filsuf Yunani. orang yang berpengaruh terhadap lahirnya teori ini adalah Plato dan Aristoteles. Plato merupakan guru dari Aristoteles. Meskipun duru dan murid, keduanya memiliki pandangan yang berbeda. Plato memandang karya sastra sebagai sesuatu yang memiliki nilai lebih rendah daripada karya tukang kayu. Sementara, Arisoteles memandang karya sastra sebagai sesuatu yang memiliki nilai tinggi daripada karya tukang kayu. Definisi mimetik dapat diterangkan dari kutipan, sebagai berikut:
Mimetik berasal  bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya dengan kritik sastra mimetik diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat menarik karena keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan (Ravertz, 2007: 12).

1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.       Aspek sosial apa saja yang terdapat dalam cerpen ”Ijazah” karya Emha Ainun Najib?
b.      Bagaimana hubungan aspek sosial yang ada dalam cerpen ”Ijazah” karya Emha Ainun Najib dengan aspek sosial dalam dunia nyata?
2.      Tujuan
      Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Mengidentifikasi aspek sosial apa saja yang terdapat dalam cerpen ”Ijazah” karya Emha Ainun Najib.
b.      Menemukan hubungan aspek sosial yang ada dalam cerpen ”Ijazah” karya Emha Ainun Najib.
3.      Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Seseorang dapat memahami kehidupan sosial dengan membaca karya sastra karena karya sastra merupakan tiruan kehidupan nyata.
b.      Pemecahan masalah di dalam karya sastra dapat dijadikan sebagai rujukan dalam memecahkan masalah dalam kehidupan nyata.
c.       Seseorang dapat memahami ciri khas sosial masyarakat yang terdapat di dalam karya sastra kemudian direfleksikan dalam kehidupan nyata.
B.     Kajian Pustaka
          Jika kita berbicara tentang teori Mimetik, kita tidak dapat terlepas dari pengaruh dua orang filsuf besar dari Yunani, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato menganggap bahwa karya seni berada di bawah kenyataan karena hanya berupa tiruan dari tiruan yang ada dipikiran manusia yang meniru kenyataan. Sementara, Aristoteles sebagai murid dari Plato berbeda pendapat. Aristoteles menganggap karya seni adalah berada di atas kenyataan karena karya seni sebagai katalisator untuk menyucikan jiwa manusia.
Menurut Abrams (1976), Pendekatan Mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni berada di bawah kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai katharsis. Di samping itu juga karya seni berusaha membangun dunianya sendiri (Ratna, 2011: 70).

    Pandangan Plato mengenai mimetik sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep ide-ide yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni. Plato menganggap ide yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Ide merupakan dunia ide yang terdapat pada manusia. Ide oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan pancaindra. Ide bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah,  misalnya ide mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu. Ide mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah (Bertnens, 1979: 13).
          Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep ide tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic bagian kesepuluh. Bahkan, ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena. Mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimetik yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari ide, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam ide-ide mengenai barang tersebut). Bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari, dan lain sebagainya mampu menghadirkan ide ke dalam bentuk yang dapat disentuh pancaindra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh pancaindra (seperti yang dihasilkan tukang), Mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan (Luxemberg, 1989: 16).
           Menurut Plato mimetik hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimetik hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimetik yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ide  (Teew, 1984: 220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan, seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew, 1984: 221).
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimetik yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. “Bila Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya” (Teew, 1984: 221).
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimetik tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica, Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memilih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya (Luxemberg, 1989: 17).
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimetik dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan ide-ide. Aristoteles menganggap ide-ide manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya ide-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal, sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens, 1979: 13).
Mimetik yang menjadi pandangan Plato dan Aristoteles saat ini telah ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat keindahan) dengan berbagai pengembangan di dalamnya. Pada zaman Renaissaince pandangan Plato dan Aristoteles mengenai mimetik saat ini telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinis, seorang filsuf Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimetik tidak lagi diartikan suatu pencerminan tentang kenyataan indrawi, tetapi merupakan pencerminan langsung terhadap ide. Berdasarkan pandangan di atas, dapat diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks sastra tidak meng-copy secara dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair, tetapi mencerminkan kenyataan hakiki yang lebih luhur. Melalui pencerminan tersebut kenyataan indrawi dapat disentuh  dengan dimensi lain yang lebih luhur (Luxemberg, 1989: 18).
Konsep mimetik zaman reanaissance tersebut kemudian tergeser pada zaman romantic. Aliran romantic justru memperhatikan kembali yang aneh-aneh, tidak riil dan tidak masuk akal. Apakah dalam sebuah karya seni dan sastra mencerminkan kembali realitas indrawi tidak diutamakan lagi. Sastra dan seni tidak hanya menciptakan kembali kenyataan indrawi, tetapi juga menciptakan bagan mengenai kenyataan. Kaum romantic lebih memperhatikan sesuati dibalik mimetik, misalnya persoalan plot dalam drama. Plot atau alur drama bukan suatu urutan peristiwa saja, melainkan juga dipandang sebagai kesatuan organik dan karena itulah drama memaparkan suatu pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia (Luxemberg, 1989: 18).
C.    Pembahasan
Analisis teori mimetik pada cerpen ”Ijazah” Karya Emha Ainun Najib disusun berdasarkan sistematika pembahasan, yaitu: 1) identifikasi aspek sosial dalam cerpen ”Ijazah” karya Emha Ainun Najib, 2) analisis aspek sosial dalam cerpen ”Ijazah” karya Emha Ainun Najib, 3) membuktikan aspek sosial sebagai bentuk peniruan dari kehidupan nyata dalam cerpen ”Ijazah” karya Emha Ainun Najib, dan 4) menganalisis aspek sosial dalam cerpen ”Ijazah” karya Emha Ainun Najib yang dihubungkan dengan dunia nyata.
      Dalam cerpen ”Ijazah” karya Emha Ainun Najib dapat ditemukan beberapa masalah-masalah sosial. Cerpen ini menceritakan keprihatinan tokoh Aku yang prihatin kepada kawannya, Bambang. Adapun masalah-masalah sosial tersebut antara lain: 1) Ijazah tidak menjamin seseorang mendapatkan penghidupan yang layak, 2) Perilaku yang tidak sesuai antara ucapan dan perbuatan, dan 3) Percintaan.
1.      Ijazah tidak menjamin seseorang mendapatkan penghidupan yang layak
Dalam cerpen ”Ijazah” karya Emha Ainun Najib, digambarkan bahwa ijazah Bambang yang telah diraihnya ternyata tidak mengubah penghidupannya. Bambang selalu membawa kemana pun hasil perjuangan masa silamnya. Ia selalu membawa ijazah tersebut kemana-mana bersama potongan koran-koran yang memuat tulisannya dan beberapa piagam penghargaan yang pernah diraihnya. Ada sebuah ketidakpercayaan diri dari Bambang bahwa orang-orang di sekitarnya tidak akan memandang dirinya, sehingga ia mencoba melampirkan ijazahnya dalam mengirimkan setiap tulisan-tulisannya. Hal ini dapat dilihat dari penggalan cerpen, sebagai berikut: “Kenapa nggak banyak-banyak kirim puisi saja?” “Tidak tentu ada honornya. Orang sekarang lebih menghargai kerja fisik daripada rohani. Susah…” (Najib, 2006: 152).
Bambang beranggapan bahwa saat ini orang lebih menghargai pekerjaan yang bersifat nyata dan memiliki bentuk daripada menjadi seorang penulis puisi yang hanya berdimensi pada ide. Pikiran ini terjadi karena tidak ada keterampilan kerja yang dimiliki oleh Bambang, selain menulis puisi. Kondisi Bambang yang tidak memiliki skill tergambar dalam penggalan cerpen, sebagai berikut: “Dan sejak ibunya sakit-sakitan dan kurang bisa sepenuhnya cari makan, Bambang kebingungan. Ia hanya penulis puisi dan tak satu keterampilan  pekerjaan pun pernah ia latih atau ia libati” (Najib, 2006: 153).
Kebimbangan Bambang akan perjalanan hidupnya yang tidak menentu. Ia hanya berharap dari tulisan-tulisannya dimuat di koran atau media kemudian ia mendapatkan honor. Honor itulah yang ia harapkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut tampak dalam kutipan sebagai berikut:
Bambang akhirnya menempuh sebuah cara yang militeris bersama tulisan yang ia kirimkan ke redaksi koran, ia sertakan fotokopi ijazah SMP, SMA, ijazah mengetik, piagam penghargaan kursus jurnalistik dan lain sebagainya. Bahkan ke mana pun ia pergi, benda-benda itu selalu besertanya. Ia sibuk dan ketat menggenggam hasil masa silamnya. Ia begitu takut orang lain tak mempercayainya (Najib, 2006: 153-154).

Perihal tokoh Bambang dalam cerpen ”Ijazah” karya Emha Ainun Najib tidak hanya terjadi di dalam cerpen saja, namun terdapat dalam kehidupan sosial yang sering kita temui dalam kehidupan nyata. Ijazah tak menjamin seseorang mendapatkan pekerjaan. Jika kita lihat pengangguran sekarang ini, banyak pengangguran yang menyandang ijazah. Bahkan rata-rata sebagian dari mereka berpendidikan sarjana.  Orang-orang berpendidikan yang hanya dibekali ijazah saja, tidak akan mampu bersaing dalam persaingan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Orang-orang yang berpendidikan tinggi saja sulit mendapatkan pekerjaan yang layak, apalagi mereka yang berpendidikan rendah. Jika hanya mengandalkan ijazah, tanpa menambahnya dengan skill yang lain, maka orang-orang seperti ini akan tersisih dari persaingan dunia kerja. Uraian di bawah ini merupakan gambaran kondisi pengangguran intelektual yang memiliki ijazah tinggi, namun tidak mampu bersaing dalam dunia kerja, sehingga menggambarkan orang yang berpendidikan tinggi namun menjadi pengangguran intelektual seperti data artikel di bawah ini:
Jumlah pengangguran tingkat sarjana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, jumlahnya sekitar 740.000, dan awal tahun 2009 bertambah mendekati angka satu juta atau lebih dari 900.000 sarjana yang menganggur. Hal itu disampaikan Rektor Universitas Katolik Atma Jaya, FG Winarno, saat pengukuhan guru besar fakultas teknik Unika Atma Jaya, Prof Hadi Sutanto, di Jakarta, Rabu (17/6). Prof. Winarno mengaku prihatin dengan kondisi sarjana yang menganggur saat ini, yang menurutnya memiliki tren kenaikan rata-rata sebesar 20 persen setiap tahun. Berdasarkan informasi yang diperoleh SP, pada 2005, sarjana yang menganggur sebanyak 183.629 orang. Setahun kemudian, yakni 2006 tercatat 409.890 lulusan tidak memiliki pekerjaan, tahun 2007 menjadi 740.000, dan awal tahun 2009 melonjak mendekati angka satu juta sarjana pengangguran. Hal ini harus diwaspadai, mengingat setiap tahunnya Indonesia memproduksi sekitar 300.000 sarjana dari 2.900 perguruan tinggi. Menurutnya, makin banyaknya sarjana yang menganggur disebabkan oleh rendahnya soft skill atau keterampilan di luar kemampuan utama dari sarjana yang bersangkutan. "Data itu baru dua minggu lalu saya dapat dari Dikti (Pendidikan Tinggi)," ujarnya (http://www.atmajaya.ac.id).

Kondisi Bambang yang hanya memiliki ijazah SMA dan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan karena tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan oleh dunia kerja, selain menulis seperti tercermin dari data di atas. Meski bukan sebagai penulis puisi, para pengangguran di negara kita banyak yang berpendidikan lebih tinggi dari Bambang. Kondisi pengangguran ini semakin hari semakin meningkat. Pengangguran ini disebabkan oleh rendahnya keterampilan yang dimiliki dari gelar sarjana yang bersangkutan. Sarjana hanya memiliki kemampuan secara akademik namun tidak menguasai kemampuan praktis yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Pengangguran ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
            Setiap tahunnya, perusahaan milik negara maupun swasta yang membuka lowongan pekerjaan dengan berbagai kualifikasi keahlian. Setiap tingkatan memiliki syarat dan kualifikasi yang berbeda. Meski tidak sama dengan kondisi yang di alami Bambang. Di dunia nyata, ijazah merupakan syarat utama dalam memperoleh pekerjaan, namun perusahaan tidak hanya melihat ijazah semata, namun pengalaman dan kecakapan khusus yang diperlukan oleh perusahaan. Ijazah juga belum bisa jadi tolak ukur karena di dalam masyarakat juga terjadi praktek jual beli ijazah. Seseorang dengan mudah mendapatkan ijazah dengan harga mahal. Jika, ijazahnya dan nilai yang ada di dalamnya asli karena jerih payah dari seseorang dalam menempuh pendidikannya, belum bisa menjadi jaminan orang tersebut memiliki kemampuan yang diharapkan untuk memenuhi kualifikasi perusahaan.
Pada saat ini banyak perusahaan milik negara maupun swasta yang membuka lowongan pekerjaan dengan berbagai kualifikasi keahlian. Mulai dari cleaning service sampai direktur, masing-masing bagian memiliki syarat yang berbeda. Tiap perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan, pasti mensyaratkan pendidikan tertentu misalnya pendidikan minimal SMU, D3, atau S1. Namun sayangnya gelar pendidikan dan nilai ijazah kadang tidak sebanding dengan prestasi kerja. Kini nilai ijazah tidak bisa secara mutlak dijadikan tolok ukur untuk memperkirakan prestasi kerja calon pegawai, karena banyaknya penyalahgunaan ijazah bahkan membeli gelar dengan harga yang cukup mahal. Sekalipun gelar dan nilai dalam ijazah asli, tetap belum bisa dijadikan tolok ukur. Sebagian perusahaan ada yang memberi kesempatan pegawainya untuk kuliah lagi untuk menambah ilmu dan mendapat gelar yang lebih tinggi, dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan prestasi kerjanya. Namun sayangnya seringkali harapan itu tidak sama seperti kenyataan yang terjadi, ketika gelar yang tinggi tidak menambah prestasinya dalam bekerja (http://igaji.com).

2.      Perilaku yang tidak sesuai antara perkataan dan perbuatan
Dalam cerpen ”Ijazah” karya Emha Ainun Najib, juga ditemukan sebuah gambaran perilaku tokoh yang tidak bersesuaian antara perkataan dan perbuatannya. Tokoh Bambang memiliki mimpi yang besar, namun secara fisik tidak mencerminkan seorang yang bervisi besar. Bambang mempunyai keinginan untuk menjadi seorang pemilik koran yang akan memasarkan karya-karyanya tanpa prosedur yang terkesan menyulitkannya, sehingga pendapatannya berkurang. Bambang punya keinginan untuk memfasilitasi karya-karya seni, yang nampaknya begitu mudah diangan-angannya. Bambang hanya bisa berandai-andai. Pengandaian keinginan Bambang yang besar ini digambarkan dalam kutipan, sebagai berikut:
Ke mana-mana tiap hari ia melontarkan keinginannya untuk buat koran sendiri, khusus untuk memberi sarana pemasaran bagi karya-karya seni, dengan nada seolah-olah ia akan membeli kacang goreng. Selebihnya tidak mustahil kepalanya penuh terisi oleh ide-ide besar, keinginan, keinginan melangit, tetapi yang mampu dilihatnya dan digarapnya sebagai kenyataan makin lama makin jauh dari mimpinya. Bambang luput memperhatikan agar kaosnya tidak menang balapan melawan bajunya, tetapi ia bermimpi menggarap sebuah benua sekaligus (Najib, 2006: 152).

Ada dua hal yang kontra dari uraian penggalan cerpen di atas. Tokoh Bambang setiap hari selalu mengumbar mimpinya, namun Bambang luput memperhatikan dirinya, khususnya yang berkenaan dengan penampilannya. Penampilan Bambang ini pun tergambar dari penggalan cerpen, sebagai berikut:
Pakaian dan caranya memakai sungguh tak mengenal tata cara dan keserasian. Kaos merah menyala nongol di bawah lehernya. Di atasnya berlapis dua baju. Yang dalam kain dril tebal dan yang luar nilon tapi juga tebal. Warna baju yang dipilihnya juga menunjukkan cita rasa primitifnya. Kemudian sabuk melingkar di pangkal celana kombornya. Baju-baju dan kaos ia masukkan ke celana, tapi bagian yang sebelah kanan kancing terjuntai keluar. Lebih dari sekadar tidak rapi. Dan kaos kakinya yang berwarna kuning menyala itu seharusnya ia lingkari dengan karet gelang agar lengket di kakinya. Kemudian tali sepatunya itu semestinya ia fungsikan. Dan rambutnya yang lurus dan jarang, basah kuyup oleh minyak rambut, atau besar kemungkinan minyak klentik, sementara banjir itu melebar juga ke keningnya, telinga, dan kerah kaos bajunya. Benar-benar pemandangan yang membuat aku takjub dan pilu. Ia bukan berpakai seenaknya. Ini sialnya. Ia justru nampak berusaha necis (Najib, 2006: 149).
           
Dialog Aku dan Bambang berkaitan dengan tulisan-tulisan Bambang yang tidak sesuai dengan kondisi realitas yang dialaminya. Bahkan, tokoh Aku tidak sependapat dengan pemikiran-pemikiran Bambang yang begitu muluk-muluk namun dalam keseharian tidak pernah memiliki harapan dan semangat untuk memperjuangkan kehidupan lebih baik.  Ia hanya terkesan bermalas-malasan, berharap dari puisi-puisi dan tulisan-tulisannya. Tulisan-tulisan Bambang yang terlalu liar dan idealis ini juga mengundang ketakutan-ketakutan pada lembaga atau media untuk mempublikasikannya. Kesan ketakutan ini dapat terlihat dari penggalan cerpen, yaitu “Tetapi kalau harus memuat tulisan-tulisan Bambang. Artikel umpamanya, koran pasti juga ketakutan membaca pikiran-pikiran Bambang yang bagaikan melukis dengan kanvas langit.” (Najib, 2006: 152). Tulisan Bambang pun tidak mencirikan keadaan sebenarnya pada diri Bambang. Bambang tidak pernah mau memperbaiki dirinya untuk berusaha memaksimalkan potensi-potensi yang dimilikinya, malah sekadar mengkritisi orang lain sementara Bambang tidak pernah mengkritisi dirinya sendiri. Bambang lebih menyukai pikiran-pikirannya yang liar dan berusaha memberikan kritik kepada pemerintah Indonesia bahkan dunia agar sejalan dengan pikirannya. Hal ini sesuai dengan kutipan, sebagai berikut:
“Kertas-kertas apa itu, Mbang?” sengaja aku menggugurkan lamunannya.
“Ooo,” ia tergagap. “Ini naskah tulisan-tulisan. Ini koran-koran dan majalah yang ada tulisanku.”
Ia membolak-balik tumpukan itu. Nampak ada juga. Piagam. Ijazah dan surat penghargaan. Perasaanku getir.
“Tulisan apa, Mbang?”
Ia menyodorkan kertas-kertas. “ASEAN: Menuju Integrasi Kultural”, “Di cari: Khrisnamurti Indonesia!”, “Bagaimana Melibatkan Seluruh Rakyat Indonesia ke Dalam Kesadaran Berkesenian”….
Aku tambah getir dan sedih. Urus dulu itu kaos kaki dan sepatu, bagaimana mengurusnya secara benar dan baik, baru bermimpi tentang kebudayaan ASEAN. Bereskan dulu hal-hal teknis yang keci, kecil …. Tapi sejak dulu tak pernah mulutku sampai mengucapkan saran begitu kepadanya. Aku hanya sedih dan termangu-mangu (Najib, 2006: 151).

Perilaku Bambang di dalam cerpen ”Ijazah” karya Emha Ainun Najib juga terjadi dalam kehidupan nyata. Untuk menggambarkan kesesuaian dengan dunia nyata, pemasalahan Bambang ini berkenaan dengan integritas dan kredibilitas seseorang. Seseorang akan lebih dihargai oleh orang lain, jika apa yang dikatakan sesuai dengan yang dilakukannya. Dalam kehidupan nyata, kondisi Bambang juga banyak dialami oleh orang lain. Jika kita mengamati sekeliling kita, maka banyak orang yang mengeluh. Mengapa kehidupan tidak berpihak kepadanya? Mengapa dunia tidak adil? Mengapa orang-orang kaya itu hanya memikirikan nasib mereka sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini sering kita dengar dari orang-orang yang ada di sekitar kita. Rata-rata mereka adalah orang-orang yang secara perekonomian rendah, pendidikan rendah, dan secara penampilan memiliki kemiripan dengan tokoh Bambang.
Banyak orang yang hanya menyalahkan nasib dan mengurus urusan orang lain tanpa pernah mau mengubah kehidupannya. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka.” (Al Quran, Surat Ar-Ra’du:11). Setiap orang diberikan potensi oleh Allah untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Kita selalu melihat kisah-kisah orang-orang yang ada di sekitar kita. Orang-orang yang memiliki mimpi besar, namun tidak melakukan apa-apa. Ia berharap segala kesuksesan serba instan.
Penampilan begitu penting untuk mendukung kesuksesan seseorang dalam bidang apa pun. Pertama kali, seseorang akan dilihat dari penampilannya. Orang akan nyaman berbicara atau berhadapan dengan lawan bicara yang berpenampilan menarik. Penampilan menarik juga akan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk mendapatkan kesempatan lebih baik.
Survey menemukan bahwa sekitar 98 persen responden merasa penampilan sangat berdampak pada karier para pekerja, sementara hanya 2 persennya saja yang menolak anggapan ini. Survey online ini diprakarsai oleh PINK Magazine untuk wilayah Atlanta dan Corset untuk area Minneapolis sejak 29 September hingga 11 Oktober 2009. Mereka melibatkan sekitar 137 perempuan profesional, yang menjabati posisi sebagai chief executives, senior managers dan pemilik bisnis (http://www.indowebster.web.id).
           
Selain penampilan yang menarik, untuk sukses seseorang harus memiliki integritas dan kredibilitas dalam bekerja. Seseorang mungkin bisa kaya tanpa harus bersikap jujur. Tapi adakah orang yang sukses tanpa bersikap jujur? Integritas atau sederhananya prinsip kejujuran. “Thomas J. Stanley dalam bukunya Millionaire Mindset. Hasil risetnya mengobservasi apa kesamaan karakter orang sukses yang bisa kita duplikasikan, menempatkan kejujuran di urutan pertama” (http://edukasi.kompasiana.com).
3.      Percintaan
Sebagai seorang pemuda Bambang pun pernah merasakan cinta. Bambang juga sudah berusaha untuk mendekati wanita. Bagi Bambang, persoalan wanita adalah urusan yang besar dan tidak gampang. Ia sejak lama menantikan seorang yang dapat mencintainya sepenuh hati, namun Bambang tidak mengetahui bagaimana menarik lawan jenisnya. Ketidaktahuan Bambang ini tergambar dalam penggalan cerpen berikut ini, “Dulu aku selalu ingin mendekati anak putri,” katanya lagi. “Tapi tidak tahu bagaimana caranya” (Najib, 2006: 156). Petualangan Bambang mengenai cinta tidak seperti membuat tulisan-tulisannya yang menggebu-gebu. Ketidaktahuan Bambang untuk mendekati seorang pujaan hatinya, membuatnya tidak memperhatikan apa yang sebenarnya diharapkan oleh seorang perempuan dari laki-laki yang dicintainya. Bambang hanya berkeyakinan, ketika dia suka, maka dia hanya cukup mengatakannya dengan mengobarkan semangat dalam dirinya untuk mengumpulkan keberanian untuk mengatakan perasaan yang bergemuruh di dalam hatinya. Bambang lupa, bahwa penampilannya juga mendukung terciptanya kondisi yang menyenangkan. Bambang luput memperhatikan ini. Pengalaman yang kurang dari Bambang dalam urusan cinta, membuat Bambang tidak memperhatikan hal-hal detail dari penampilannya, gaya mendekati pujaan hatinya, kata-katanya, sikapnya, dan lain-lain. Pribadi Bambang ini tercermin dari kutipan di bawah ini:
“Bagaimana caranya mencari anak putri.”
Aduh. Ini memang jelas merupakan tambahan soal yang besar baginya. Sebab pertama-tama yang harus dipelajari oleh laki-laki macam Bambang, kalau mau mendekati cewek, ialah bagaimana belajar cara memakai kaos kaki, setelah itu pakai baju yang agak pantas. Lantas keterampilan sikap dan kata-kata. Beberapa tahun yang lewat Bambang kabarnya pernah jatuh cinta pada Nining, kawan penulis juga (Najib, 2006: 156).

Urusan cinta bagi Bambang adalah urusan yang sulit. Penampilan Bambang harusnya lebih meyakinkan. Namun ia pun tidak tahu cara berpenampilan yang menarik perhatian dari pujaan hatinya. Penampilannya tentu akan membuat risih pujaan hatinya. Bambang membuat janji untuk bertemu pujaan hatinya, Nining di rumahnya jam 5 sore, namun persiapan sudah dilakukan sejak jam 3 sore. Ketakutan ternyata masih menyelimuti Bambang. Ia masih belum percaya diri. Kondisi Bambang bisa dilihat dari kutipan, sebagai berikut:
Ia janji sama perempuan ini akan datang jam lima sore. Jam tiga Bambang sudah start. Di tengah jalan ia berhenti. Masuk toko, beli semir sepatu dan minyak rambut. Kemudian di bawah pohon beringin Jalan Sultan Agung, ia berhenti untuk menyemir sepatunya, dan meminyaki rambutnya. Untuk menunggu jam lima, ia memilih tempat yang tenang, ialah kuburan. Berdebar-debar akhirnya ia mengetuk rumah Nining. Keluar pembantunya. “Mbak Nining mengantari ibunya ke Malioboro” katanya (Najib, 2006: 156).

Bambang tidak bisa menerima alasan, bahwa Nining tidak ada di rumah karena mengantar ibunya ke Malioboro. Bambang menganggap bahwa Nining tidak menyukainya. Bambang pun patah hati karena kesalahan yang dibuatnya sendiri karena tidak pernah memperhatikan penampilan dirinya. Rasa kecewa Bambang tergambar dari penggalan cerpen, berikut ini: “Maka Bambang langsung patah hati. Baginya sukar sekali meyakini bahwa Nining benar-benar belanja menemani ibunya. Di otaknya ada kenyataan, Nining sengaja menghindariku dengan alasan itu. Kemudian berbulan-bulan ia menikmati kepatahannya ini” (Najib, 2006: 156).
Bambang yang tidak mendapatkan cintanya dan harus patah hati berbulan-bulan masih menginginkan hadirnya seorang putri dalam kehidupannya. Namun, Bambang tidaklah berubah. Bahkan, bisa dikatakan ekstrem karena Bambang menyamakan wanita seperti kiriman puisi-puisinya. Untuk menyakinkan putri yang dikenalkan oleh pamannya, Bambang mengirimkan puisi kepada pujaan hatinya dengan melampirkan ijazah dan piagam-piagam penghargaannya. “Tapi paman saya di desa Gombong sana sudah menolong. Menghubungkan aku dengan seorang putri. Aku juga sudah kirim tulisan-tulisanku di koran dan majalah, juga piagam dan ijazah… sekarang saya sedang menunggu suratnya” (Najib, 2006: 157).
Lika-liku percintaan seperti yang dialami Bambang dalam cerpen ”Ijazah”  karya Emha Ainun Najib sering terjadi di lingkungan sekitar kita, meski tidak sama persis seperti yang dialami Bambang. Cinta adalah milik semua orang. Setiap laki-laki memerlukan perempuan sebagai pendampingnya untuk berbagi dan saling melengkapi satu sama lain. Salah satu faktor yang disepelekan Bambang yang merupakan faktor terpenting dalam membina hubungan dengan lawan jenis adalah penampilan.
Banyak orang berkata, "just be yourself", jika Anda ingin mendekati wanita. Penampilan Anda tidaklah penting dalam hal romantisme. Ada sebuah anggapan, hati Anda adalah yang terpenting. Jadi, meskipun Anda berpenampilan tidak menarik wanita tetap bisa melihat isi hati Anda sehingga banyak orang tampil apa adanya, tidak perlu bersusah payah mengurusi penampilan. Namun, penampilan begitu penting bagi wanita. “Hal ini senada dengan pendapat Cygnus 'the Legend' mengatakan bahwa penampilan bukanlah segalanya, tapi segalanya berawal dari penampilan" (http://hitmansystem.com).
Kegagalan menemukan cinta sejatinya, bisa jadi karena ketidaktahuan seseorang akan cara bagaimana meluluhkan hati pasangannya untuk terpesona. Selain, penampilan seseorang harus mempersiapkan sikap yang baik sesuai kriteria calon pasangan kita. Waktu yang tepat juga menunjang keberhasilan seseorang dalam memulai sebuah hubungan. Ada sebuah pepatah yang sering kita dengar bahwa ketika orang bercinta, maka seolah-olah dunia miliknya berdua dengan pasangannya. Tidak peduli dengan kehadiran orang-orang di sekelilingnya.



D.    Simpulan
Teori mimetik merupakan teori yang dipelopori oleh Plato dan Aristoteles. Aristoteles adalah murid dari Plato, namun cara pandang Plato dan Aristoteles dalam memandang karya sastra berbeda. Teori mimetik adalah teori sastra yang melihat karya sastra sebagai cerminan dari kehidupan dunia nyata.
Dalam menganalisis karya sastra, teori mimetik dilakukan dengan empat langkah kerja, yaitu: mengidentifikasi aspek sosial yang ada dalam karya sastra, menganalisis aspek sosial dalam karya sastra, membuktikan aspek sosial dalam karya sastra dari dengan menggunakan teks sastra, dan menemukan hubungan aspek sosial dalam karya sastra dengan aspek sosial yang ada dalam kehidupan nyata.
Dalam analisis teori mimetik dalam cerpen ”Ijazah” Karya Emha Ainun Najib, ditemukan aspek-aspek sosial sebagai berikut: ijazah tidak menjamin seseorang mendapatkan penghidupan yang layak, perilaku yang tidak sesuai antara ucapan dan perbuatan, dan percintaan. Aspek-aspek sosial di dalam karya sastra memiliki hubungan dengan aspek sosial yang terjadi dalam dunia nyata. Saat ini, banyak pengangguran dengan ijazah sarjana, apalagi yang tidak memiliki ijazah.
Berkaitan dengan aspek sosial yang kedua, saat ini banyak yang tidak bisa memegang ucapannya. Jika kita memperhatikan orang-orang di sekitar kita, kita bisa menemukan orang-orang yang sesuai dengan tokoh Bambang. Aspek sosial yang ketiga, percintaan merupakan hal yang tak pernah lekang oleh zaman. Dari awal manusia pertama hingga sekarang persoalan percintaan selalu menjadi pembicaraan yang hangat untuk diperbincangkan.
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 1979. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Luxemberg, Jan Van dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Najib, Emha Ainun. 2006. Kumpulan Cerpen: BH. Jakarta: Buku Kompas.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.   Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ravertz, Jerome R. 2007. Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Yogyakarta: Pelajar Offset.

http://igaji.com/tentang-pekerjaan/kualitas-akademik-belum-tentu-menjamin-prestasi-kerja/ diakses tanggal 23 Februari 2012, pukul 11.42 WIB.

http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=5217 diakses tanggal 24 Februari 2012, pukul 04.20 WIB.

http://kampus.okezone.com/read/2011/12/07/95/539203/sarjana-pengangguran-mengapa diakses tanggal 24 Februari 2012, pukul 04.58 WIB

http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/21/30-dna-sukses-untuk-anak-1/diakses tanggal 24 Februari 2012, pukul 10.50 WIB.

http://hitmansystem.com/tentang-pria/tips-berpenampilan-menarik.html
diakses tanggal 24 Februari 2012, pukul 11.00 WIB.







Lampiran:
Ijazah
Karya Emha Ainun Najib


SEPEDANYA langsung dibaringkan karena agaknya tak ada tangkai besi penyangganya. Caranya membaringkan juga menarik. Tidak keras tapi kelihatan gerak itu apatis sekali, sehingga sepeda setengah terempas. Ia kemudian berdiri loyo. Di tangannya ia menyandang setumpuk kertas, koran, dan majalah-majalah kumal. Kemudian berjalan ke arah pintu. Loyo, lamban, dan putus asa.
      “Aku masuk, Bang!” sambutku.
      Ia melangkah. Melewati pintu. Dan sungguh anak ini tetap saja kurang tahu diri. Kamarku ini bersih dan alas kaki mesti dicopot di depan pintu. Tapi dia ini tenang saja menginjak lantai ini dengan sepatu kumal yang tak karuan bentuknya oleh jejalan sol-sol. Tetapi seperti beberapa kali pernah terjadi setiap ia datang kemari, aku memaafkannya. Ia mengempaskan tubuhnya di kursi. Tanpa meletakkan tumpukan tumpukan kertas di sebelah tangannya itu, segera bola matanya beredar ke segenap penjuru ruang kamarku. Aku menyaksikannya saja dengan sabar. Pakaian dan caranya memakai sungguh tak mengenal tata cara dan keserasian. Kaos merah menyala nongol di bawah lehernya. Di atasnya berlapis dua baju. Yang dalam kain dril tebal dan yang luar nilon tapi juga tebal. Warna baju yang dipilihnya juga menunjukkan cita rasa primitifnya. Kemudian sabuk melingkar di pangkal celana kombornya. Baju-baju dan kaos ia masukkan ke celana, tapi bagian yang sebelah kanan kancing terjuntai keluar. Lebih dari sekadar tidak rapi. Dan kaos kakinya yang berwarna kuning menyala itu seharusnya ia lingkari dengan karet gelang agar lengket di kakinya. Kemudian tali sepatunya itu semestinya ia fungsikan. Dan rambutnya yang lurus dan jarang, basah kuyup oleh minyak rambut, atau besar kemungkinan minyak klentik, sementara banjir itu melebar juga ke keningnya, telinga, dan kerah kaos bajunya. Benar-benar pemandangan yang membuat aku takjub dan pilu. Ia bukan berpakai seenaknya. Ini sialnya. Ia justru nampak berusaha necis.
      “Itu gambar siapa?” tiba-tiba ia bertanya sambil menunjuk sebuah gambar close up yang cukup besar di dinding.
      “O, itu pembantu rumah tanggaku yang amat setia.”
      “Kukira bapakmu tadi.”
      Gambar itu amat buruk. Bukan gambarnya, tapi orang yang digambar. Di samping aku ingin mengabadikan kesetiaan hidup orang itu, salah satu kesenanganku memang menggambar wajah yang amat buruk. Wajah kawanku Bambang ini agak kurang buruk, kecuali penampilannya, jadi belum ada ideku untuk mengabadikannya.
      “Vignetmu ada di majalah Cakrawala lho!”
      “O ya?”
      “Ya. Aku senang dengan pola seni rupamu.”
      “Yang apa judulnya?”
      “Pasar IV.”
      “Pasar IV? Oo…” Vignetku yang sudah hampir setahun, yang rupanya diberikan Bambang ini, lalu dimuat oleh Cakrawala. Ia melaporkannya seperti barang baru.  Aku makin sedih.
      Bambang mengembara lagi bola matanya. Ia singgah di rak buku, di jam dinding, vas bunga, ranjang, sapu di pojok, kemudian kelender, dan akhirnya wajahnya menengadah ke langit-langit. Lama sekali tak beranjak dari sana. Tumpukan kertas-kertas kumal itu dipangkunya sambil dipegangi oleh tangan kirinya, sedang kanannya menopang dagunya sambil satu jarinya menempel di bibirnya.
      “Kertas-kertas apa itu, Mbang?” sengaja aku menggugurkan lamunannya.
      “Ooo,” ia tergagap. “Ini naskah tulisan-tulisan. Ini koran-koran dan majalah yang ada tulisanku.”
      Ia membolak-balik tumpukan itu. Nampak ada juga. Piagam. Ijazah dan surat penghargaan. Perasaanku getir.
      “Tulisan apa, Mbang?”
      Ia menyodorkan kertas-kertas. “ASEAN: Menuju Integrasi Kultural”, “Di cari: Khrisnamurti Indonesia!”, “Bagaimana Melibatkan Seluruh Rakyat Indonesia ke Dalam Kesadaran Berkesenian”….
      Aku tambah getir dan sedih. Urus dulu itu kaos kaki dan sepatu, bagaimana mengurusnya secara benar dan baik, baru bermimpi tentang kebudayaan ASEAN. Bereskan dulu hal-hal teknis yang keci, kecil …. Tapi sejak dulu tak pernah mulutku sampai mengucapkan saran begitu kepadanya. Aku hanya sedih dan termangu-mangu.
      Namanya Bambang Suprihatin. Aku tidak tahu apakah orangtuanya bermaksud melatih putranya ini agar tahan terhadap segala keprihatinan. Dan kini apakah mereka mengetahui betapa anaknya lebih dari sekadar berprihatin? Dulu ia penulis yang aktif. Puisi-puisi karyanya termasuk terbaik di antara kawan-kawan sebaya. Tapi beberapa tahun kemudian tak jelas apa yang berkembang dalam hidupnya, kini ia semakin sayup dari kenyataan. Ia misalnya menyodorkan ide agar para penyair berdiskusi dengan memilih tempat yang puitis, umpamanya di Tanah Lot, Bali, sedangkan makan minum sehari-hari para penyair itu rata-rata terbengkalai. Ke mana-mana tiap hari ia melontarkan keinginannya untuk buat koran sendiri, khusus untuk memberi sarana pemasaran bagi karya-karya seni, dengan nada seolah-olah ia akan membeli kacang goreng. Selebihnya tidak mustahil kepalanya penuh terisi oleh ide-ide besar, keinginan, keinginan melangit, tetapi yang mampu dilihatnya dan digarapnya sebagai kenyataan makin lama makin jauh dari mimpinya. Bambang luput memperhatikan agar kaosnya tidak menang balapan melawan bajunya, tetapi ia bermimpi menggarap sebuah benua sekaligus.
      “Ke mana-mana tulisan-tulisanmu ini kaukirim, Mbang?”
      “Macam-macam. Tapi sekarang sering dikembalikan, kecuali beberapa puisiku saja terkadang dimuat.”
      Masuk akal. Puisi-puisi biasanya tak banyak soal. Baik atau buruk. Dan lagi sukar dibedakan mana puisi buatan orang gila dan mana yang ditulis orang waras. Kecuali puisi-puisi politik, dakwah, atau propaganda, memang koran punya pertimbangan sebelum memuatnya. Tetapi kalau harus memuat tulisan-tulisan Bambang. Artikel umpamanya, koran pasti juga ketakutan membaca pikiran-pikiran Bambang yang bagaikan melukis dengan kanvas langit.
      “Kenapa nggak banyak-banyak kirim puisi saja?”
      “Tidak tentu ada honornya. Orang sekarang lebih menghargai kerja fisik daripada rohani. Susah…”
      “Kamu mesti sabar, Mbang.”
      Bambang memandang langit-langit. Wajahnya terenyuh. Sorot matanya seperti sorot mata bekas tahanan Pulau Buru. Tetapi sebenarnya aku tidak suka merasa kasihan pada orang lain seperti juga aku kurang suka dikasihani. Jika kepada Bambang ini aku setir, maka bukan karena penderitaan yang menimpanya, melainkan karena ketidakmampuannya mengatasi hal-hal yang merajahnya. Bapaknya sudah lama meninggal. Dan sejak ibunya sakit-sakitan dan kurang bisa sepenuhnya cari makan, Bambang kebingungan. Ia hanya penulis puisi dan tak satu keterampilan  pekerjaan pun pernah ia latih atau ia libati. Ia mulai menempuh bentuk-bentuk tulisan lain, agar bisa mengharapkan pemasukan uang. Namun, ia belum sepenuhnya siap dan lingkungan ekonomi perkoranan bukan tanah yang cukup subur, apalagi buat mengatasi keterpepetan keuangan. Bambang terseret-terseret oleh kebutuhan dan memelihara keseimbangan proses berpikir. Lama-lama puisinya macet, kemudian artikelnya berisi pikiran-pikiran yang bermimpi terlalu tinggi.
      Keadaan ini langsung terjadi juga dalam kesehariannya. Ia berkhayal bisa mendesain awan-awan di angkasa dan lupa reslitig celananya terbuka. Ia mulai kehilangan kepercayaan diri dan kondisi ketakyakinan inilah dasar segala wujud tindakannya. Seorang kawannya bermaksud menolongnya: menulis dengan memakai nama Bambang Suprihatin, agar ia memperoleh kepercayaan diri kembali, sekaligus masyarakat memperhatikan namanya lagi. Tetapi sehabis Bambang berbangga oleh tulisannya itu, ia kebingungan bagaimana mempertahankannya. Bambang akhirnya menempuh sebuah cara yang militeris bersama tulisan yang ia kirimkan ke redaksi koran, ia sertakan fotokopi ijazah-ijazah, SMP, SMA, ijazah mengetik, piagam penghargaan kursus jurnalistik dan lain sebagainya. Bahkan ke mana pun ia pergi, benda-benda itu selalu besertanya. Ia sibuk dan ketat menggenggam hasil masa silamnya. Ia begitu takut orang lain tak mempercayainya. Oleh salah seorang familinya, ia ditolong diberi pekerjaan sebagai korektor percetakan. Tentu saja ini lucu. Bambang hampir selalu luput memperhatikan soal-soal praktis yang kecil-kecil, tetapi ia dituntut untuk punya ketelitian. Ia bahkan selalu kehilangan kesadaran letak. Ia tidak saja sulit meletakkan pemikiran-pemikirannya di tengah pemikiran yang lain serta kenyataan, bahkan dalam pergaulan sehari-hari ia seperti berada di luar susunan dan jaringan.
            Bambang adalah seorang makhluk dari alam lain, tetapi berada terseok-seok di alam ini, yang ternyata kejam. Ya, kejam. Dalam keadaannya itu lingkungan pergaulannya justru hanya mampu membuatnya semakin parah. Kawan-kawan hanya mampu mendukung kemiringannya, menertawakannya, dan mempermainkannya atau setidaknya mengejeknya. Bambang makin jauh terlempar ke langit malam yang gelap dan lengang. Dan ia sendiri di sana. Yang aku sedihkan hanyalah ketidakmampuanku untuk lebih dari diam atau bengong saja menghadapinya.
      “Aku mau kencing…?” katanya.
      “Di sana,” kataku. Aku berdiri dan mengantarkannya. Bambang berjalan dengan sepatunya itu yang ribut menimpa-nimpa lantai. Tumpukan wasiatnya itu dikepitnya di ketiaknya.
      “Aku tadi barusan ke rumah Hardi,” katanya sambil berjalan. “Ternyata nggak ada. Ia ditangkap polisi dan ditahan di Jakarta. Aku hanya bertemu istrinya. Aku beri ia sebuah puisi.”
      Aku tidak menyahut. Tiga bulan sudah hardi ditahan karena ikut-ikutan memelopori demonstrasi mahasiswa, tapi baru hari ini Bambang mengetahuinya. Aku tersenyum kecut kepada diriku sendiri. Aku kembali.
      Tapi lama benar ia kencing. Aku hampir selesai membaca sebuah tulisan cukup panjang di sebuah majalah. Aku berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Ternyata tak dikancing dan dari jauh ku lihat Bambang. Berdiri. Keningnya bersandar di tepi daun pintu, dialasi oleh satu tangan. Tangan satunya, sambil mengepit tumpukan wasiatnya, sedang memegang alat kencingnya. Dan ternyata alat itu sudah selesai mancur, Bambang rupanya sedang melamun.
      Aku mendekatinya. Menyapanya perlahan-lahan.
      Ia kaget dan cepat-cepat mengurus barangnya hingga tumpukan wasiatnya tak bisa dihindarkan lagi, terjatuh. Tergopoh-gopoh aku membantu mengambilnya dari lantai berair di kamar mandi. Tidak terlalu kotor, tapi basah. Hari cukup mendung, maka ku nyalakan lampu saja. Kupanggang kertas, majalah, dan koran-koran itu di atasnya.
      Ketika Bambang duduk kembali, sekilas aku menatapnya. Ia hampir tak punya keberanian lagi untuk bertatapan dengan sorot mata orang lain. Tapi aku sendiri sebenarnya takut bertatapan dengannya. Maksudku, kalau aku bertatapan dengan wajahnya, aku lantas merasa takut kepada diriku sendiri.
      “Wah, saya susah…” Bambang nyeletuk.
      “Bagaimana caranya mencari anak putri.”
      Aduh. Ini memang jelas merupakan tambahan soal yang besar baginya. Sebab pertama-tama yang harus dipelajari oleh laki-laki macam Bambang, kalau mau mendekati cewek, ialah bagaimana belajar cara memakai kaos kaki, setelah itu pakai baju yang agak pantas. Lantas keterampilan sikap dan kata-kata. Beberapa tahun yang lewat Bambang kabarnya pernah jatuh cinta pada Nining, kawan penulis juga. Ia janji sama perempuan ini akan datang jam lima sore. Jam tiga Bambang sudah start. Di tengah jalan ia berhenti. Masuk toko, beli semir sepatu dan minyak rambut. Kemudian di bawah pohon beringin Jalan Sultan Agung, ia berhenti untuk menyemir sepatunya, dan meminyaki rambutnya. Untuk menunggu jam lima, ia memilih tempat yang tenang, ialah kuburan. Berdebar-debar akhirnya ia mengetuk rumah Nining. Keluar pembantunya. “Mbak Nining mengantari ibunya ke Malioboro,” katanya. Maka Bambang langsung patah hati. Baginya sukar sekali meyakini bahwa Nining benar-benar belanja menemani ibunya. Di otaknya ada kenyataan, Nining sengaja menghindariku dengan alasan itu. kemudian berbulan-bulan ia menikmati kepatahannya ini.
      “Dari dulu aku selalu ingin mendekati anak putri,” katanya lagi. “Tapi tidak tahu bagaimana caranya. Tapi paman saya di desa Gombong sana sudah menolong. Menghubungkan aku dengan seorang putri. Aku juga sudah kirim tulisan-tulisanku di koran dan majalah, juga piagam dan ijazah… sekarang saya sedang menunggu suratnya.
      Aku membolak-balik kertas di atas lampu. Tapi lama sekali baru bisa kering. Dan yang sudah kering jadinya sangat kusut, lusuh dan tintanya berlepotan.

=Selesai=






















1 komentar:

  1. begini mau nanyakan mimetik itu berhubungan dengan alam, tapi di sini kok menganalisis tentang aspek sosialnya...tolong pencerahannya

    BalasHapus