SEMANGAT DAN KEBERSAMAAN MEMBUAT KITA BELAJAR UNTUK MENGERTI DAN DIMENGERTI

Jumat, 03 Februari 2012

Teknik Pemancingan

                                                                Teknik Pemancingan
                                                Oleh: Rizal Effendy Panga dan Mustaming

A. Pendahuluan
Sama halnya keahliaan analitis atau linguistis, pemancingan yang mempunyai tujuan yang terarah benar memungkinkan seorang peneliti mengulangi suatu bahasa yang belum pernah dipelajarinya dan dalam waktu singkat sanggup melahirkan suatu deskripsi yang mengandung kumpulan fakta yang banyak, walaupun mungkin semuanya tidak secara linguistik berarti. Bagi kaum awam keberhasilan seorang linguis sungguh hanya bersifat fenomenal. Tetapi apa yang tidak disadari oleh kaum awam itu bahwa keberhasilan linguis itu merupakan buah suatu keterampilan yang sudah dikembangakn melalui banyak praktek. Ini tidak kelihatan pada saat linguis itu bekerja bersama seorang informan yang terlihat kadang-kadang hanya menanyakan suatu nomina tertentu, lalu bertanya lagi tentang kalimat yang tampaknya seolah-olah tak ada hubungannya dengan apa yang dikerjakannya atau selanjutnya tentang arti suatu bentuk yang diperolehnya sebelumnya. Tetapi sebenarnya, di belakang segala sesuatu yang dilakukannya itu ada alasan tertentu. Sekarang kita ingin mengutarakan secara implisit dalam metodologinya.
Pada praktiknya, percakapan diwujudkan dengan pemancingan. Si peneliti untuk mendapatkan data, pertama-tama harus dengan segenap kecerdikan dan kemaunnya memancing seseorang atau beberapa orang agar berbicara. Kegiatan memancing itu dapat dipandang sebagai teknik dasarnya atau disebut teknik pancing (Sudaryanto, 1993:137). Teknik pancing atau percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan muncul, jika peneliti member stimulasi (pancingan) pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti. Pancingan atau stimulasi itu dapat berupa bentuk makna yang biasanya tersusun dalam bentuk daftar pertanyaan (Mahsun, 2011: 95-96).


B. Sifat-sifat Dasar Pemancingan dan Kegiatan Kerja
Sifat-sifat Dasar Pemancingan
Beberapa faktor yang membuat teknik pemancingan itu berbeda dari setiap teknik lain yang digunakan dalam penelitian linguistik : (a). tuturan yang diperoleh melalui pemancingan itu pendek-pendek, umumnya tidak lebih panjang dari suatu kalimat tunggal dan biasanya di luar konteks. Mungkin ada hubungan antara tuturan ini dengan tuturan lain yang mempunyai konteks linguistik atau tidak, tetapi yang jelas tuturan–tuturan itu satu dengan yang lainya tidak mempunyai hubungan yang nyata atau logis. (b) Pemancingan ditujukan terhadap analisis beberapa aspek sistem linguistik. Semua tuturan itu mempunyai nilai hanya sejauh ia dapat memberikan bantuan kepada peneliti untuk menerangkan sesuatu tentang sistem tersebut. (c) Akhirnya, pemancingan dibatasi oleh hubungan-hubungan manusiawi yang terjalin akrab antara peneliti dan informan yang mempengaruhi sifat-sifat data yang diperoleh dan diinterpretasikannya (Samarin, 1988:162-163).

Kegiatan Kerja
Pemancingan sebagai teknik pengumpulan korpus dan analisis bahasa akan sangat berhasil, jika dijadwalkan dengan benar. Ini mencakup kegiatan kerja dalam lingkunga-lingkungan yang cocok bersama informan untuk jangka waktu yang telah diatur terlebih dahulu. Tidak berarti pemancingan itu tidak dapat dilakukan dalam situasi lain. misalnya, seorang suku Mazatek yang suka membantu, tetapi karena tidak pernah dapat meninggalkan tokonya sehingga para peneliti bahasa terpaksa harus duduk di belakang meja toko bersamanya dan mengajukan pertanyaan –pertanyaan yang hanya bila ia tidak sibuk melayani para langganannya (E.V. Pike 1958:61, dalam Samarin, 1988:163 ). Tetapi seorang peneliti lain yang mempelajari bahasa Athapaskan di Kanada membuat kekeliruan dengan mencoba membuat contoh-contoh bentuk tasrif verba (paradigma verba) dari informannya sesudah ia melakukan pekerjaan berburu sepanjang hari. Sedikit sekali yang diperolehnya pada kesempatan itu, dan apa yang telah diperolehnya itu mengandung banyak kekeliruan. Ternyata informan tidak memberikan perhatian penuh terhadap pekerjaan itu. Atau, mungkin ia juga merasa lebih atau menganggap waktu tempatnya tidak begitu tepat untuk pekerjaan seperti itu.
Tempat untuk kegiatan kerja hendaknya memberi kesempatan sepenuhnya peneliti atau informan. Seorang peneliti harus yakin pula bahwa ia tidak membuat informannya terasing dalam suatu ruangan yang keadaannya mungkin asing sekali baginya. Seorang peneliti bila dari semula ia menentukan jadwal yang tetap bagi kegiatan kerjanya. Tidak ada peraturan khusus mengenai jam-jam kerja yang menguntungkan.
Ada dua hal yang berlebihan (ekstrim) yang harus dihindari dalam kegiatan kerja. Yang pertama, bekerja terlalu cepat. Yang kedua, membuang waktu agak lama tentang suatu analisis. Kedua kesalahan itu menyebabkan informan tidak terpakai dengan baik dalam penelitian. Kedua hal itu dapat pula menimbulkan kurangnya perhatian di pihak informan. Lagi pula tidak ada alasan sama sekali untuk mengadakan penelitian secara tergesa-gesa. Yang lebih penting adalah tercapainya mutu penelitian dan bukan banyaknya bahan yang dapat diperoleh (Samarin, 1988:164).
Akhirnya harus kita ingat juga bahwa informan itu hanyalah manusia yang perasaan-perasaannya perlu pula mendapat perhatian yang sama seperti terhadap kita sendiri. Oleh sebab itu, suatu kegiatan janganlah hendaknya dimulai secara tiba-tiba. Hendaknya kegiatan kerja itu dimulai pada waktu yang sudah ditetapkan dengan kenikmatan sosialnya. Informan itu hendaknya diperlakukan sedemikian rupa sehingga ia merasa seolah-olah merasa ia benar-benar diperlukan oleh penelitian untuk pekerjaan selanjutnya, dan bukan untuk hari itu saja. Dari manakah kerja pemancingan itu dimulai? Tentang apa sajakah keterangan yang ingin diperoleh? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang hendaknya timbul pada diri peneliti sendiri yang memulai pekerjaan ini buat pertama kalinya, Malahan sebelum pemula ini mengumpulkan dan mendaftakan kata-kata benda dan mengalami kesulitan lainnya. Jadi, dengan demikian perasaan takut akan melakukan kontak pertama dengan suatu bahasa yang asing baginya akan segera mereda, lalu ia akan bertanya pada dirinya sendiri, ‘Sekarang apa lagi?’Bagaimana cara berikhtiar tergantung pada banyaknya hal yang telah diketahuinya mengenai struktur bahasa itu. Teknik pemancingan itu akan berlangsung secara “terjadwal” atau secara “analitis”.

C. Pemancingan Terjadwal
Pemancingan yang terjadwal dimulai dengan kekurangtahuan yang relatif atau penuh terhadap sesuatu bahasa sedang diselidiki, tetapi pemancingan itu sebenarnya sudah dimulai dari pengetahuan tentang sesuatu yang dapat diharapkan dalam segala bahasa secara universal. Kita hendaknya mempersiapkan diri dengan informasi eksplisit sebanyak mungkin mengenai bahasa yang kita usulkan dalam studi lapangan. Ada semacam bahan yang diterbitkan mengenai setiap keluarga bahasa di dunia. Akan tetapi sedikit sekali dari bahan-bahan itu yang dapat dipergunakan dalam suatu penelitian. Oleh karena itu, timbulah suatu kebutuhan semacam alat-alat pemancingan standar untuk daerah-daerah tertentu di dunia ini. Alat pemancingan tersebut akan terdiri atas hal-hal sebagai berikut : daftar kata-kata yang kultural dan nonkultural, beberapa berdiri sendiri dan beberapa dalam ikatan konteks, kalimat-kalimat mengelisitasi ciri-ciri bahasa yang paling karakteristik maupun sebuah teks (Samarin, 1988:165-166).
Kita dapat menyusun kuesioner kita masing-masing dan amat bijaksana untuk berbuat seperti itu. Beberapa kata berupa nasihat yang disusun secara berturut-turut adalah sebagai berikut : (a) Pastikan bahwa jumlah kalimatnya cukup besar. Mungkin akan kita perlukan sebanyak 400 kata bagi kebanyakan bahasa. (b) Hendaknya ada berbagai macam kalimat (yang terletak pada tempat yang berbeda-beda dalam daftar) untuk memancing setiap ciri tata bahasa. Maksud penyebaran kalimat- kalimat tersebut adalah untuk memberi kebebasan yang lebih besar kepada informan dalam menyusun jawabannya. (c) Setiap konstruksi tata bahasa hendaknya dipancing dengan berbagai unsur leksikal, misalnya “Saya menyuruhnya pergi.” dan “Ayah saya bermaksud mengatakan kepada kakaknya supaya datang.” Kedua kalimat ini memancing verba (“pergi atau “datang”) dalam suatu konstruksi kalimat tergantung pada verba lainnya (“menyuruh” dan “bermaksud mengatakan”). (d) Setiap kata hendaknya sebanyak mungkin terdapat dalam berbagai konteks, seperti “Ia memasuki rumah itu.”, “Mereka memperbaiki atap rumah.”, “Rumah itu terbakar.”, dan lain-lain. alasan untuk mengulangnya adalah untuk memudahkan mengadakan analisis bahan tersebut bila tidak dapat memperoleh informan. (e) Siapkan kuesioner itu dalam dua atau tiga bahasa untuk dapat mengambil keuntungan dari para informan yang sebagiannya menggunakan bahasa. (f) Ada pula manfaatnya untuk menyediakan suatu indeks dari setiap unsur, leksikal atau gramatikal, yang masuk dalam kuesioner. Salah satu keuntungannya adalah bahwa hal itu dapat merupakan alat pengecek jumlah terdapatnya tiap unsur maupun berbagai konteksnya. Suatu sifat yang tidak perlu terdapat dalam kuesioner adalah kalimat-kalimat yang terlalu sederhana.

D. Pemancingan Analitis
Pemancingan analitis, berlainan dengan pemancingan terjadwal, selalu dimulai dengan data dalam bahasa yang sedang dipelajari. Data linguistik yang bagaimanapun besar ukurannya merangsang penyelidikan ke suatu jurusan tertentu. (a) Mungkin perlu ditemukan lebih banyak contoh dari suatu morfem atau suatu konstruksi tertentu. (b) pemancingan analitis dapat juga dianggap sebagai suatu cara coba-coba. Dalam beberapa hal, ini dapat dibandingkan dengan pertanyaan-pertanyaaan yang berakhir secara terbuka ke arah suatu wawancara/ pertanyaan. (c) pemancingan itu juga bersifat eksperimental. Suatu eksprimen bertujuan menguji hubungan antara kelas-kelas unit dengan menguasai suatu perangkat dan dengan teliti mengganti (atau mengubah) yang lain. (d) Kegunaan akhir pemancingan dalam penentuan arti akan ditangani dalam hubungannya dengan leksikografi lapangan.
Ada lebih dari satu cara untuk memperoleh keterangan dari informan. Teknik pemancingan yang mana yang akan dipakai akan ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga faktor : tingkat penyelidikan yang dicapainya sendiri, jenis data yang dicarinya (maupun tujuan analisis), dan bakat-bakat informan. Pada umumnya, yang pertama dari teknik-teknik berikut ini adalah teknik yang paling berguna, tetapi bukan berarti bahwa itulah yang paling dianjurkan.
1. Pemancingan terjemahan balik. Ini adalah teknik yang dimaksudkan di atas dalam mengerjakan atau menyelesaikan analisis permulaan dari ucapan-ucapan bahasa Nyanja. Prosedurnya adalah memulai pemancingan dengan bentuk-bentuk dalam bahasa kontak yang disuruh terjemahkan ke dalam bahasa sasaran. Tetapi ada saja kemungkinan arti ganda dengan teknik semacam ini, yang biasanya tak dapat diatasi. Pada waktu yang sama, peneliti berkeinginan sekali memiliki jawaban, tetapi pada waktu sama ini pula ia merasa takut akan bayangan jawaban yang akan diperolehnya sebagai tanggapan dari rangsangannya. Ia menginginkannya sebab hal itu akan membantunya mengurai tanggapan. Ia takut sebab adanya bahaya bahwa tanggapan yang akan diperolehnya mungkin pula akan ditentukan oleh perangsang yang dilakukan dalam bahasa kontak.
Suatu kesulitan lain dengan pemancingan terjemahan balik ini adalah bahwa cara ini tidak dapat mengetahui lebih dahulu apa-apa yang penting yang mungkin akan keluar secara tata bahasa dalam suatu bahasa (kecuali peneliti mengenal bahasa itu lebih dulu atau mengenal suatu bahasa lainnya yang serupa)
2. Pemancingan substitusi. Bekerja baik dengan bahasa kontak dengan menggunakan terjemahan balik maupun dengan bahasa yang sedang dipelajari. Orang akan memancing sejumlah besar keterangan dengan jalan memanipulasikan unsur-unsur linguistik di dalam kerangka bahasa. Hal ini juga dapat disebut teknik “Paradigmatis” atau “teknik kerangka dan substitusi”.
Teknik ini dapat juga dipakai dalam menentukan batas-batas pendistribusian suatu unsur. Dalam studi fonologi, substitusi dipakai dalam beberapa cara. Dalam semuanya itu lingkungan-lingkungan khusus dipakai sebagai kerangka yang dapat menerima suatu rangkaian fonem. Dengan pemancingan substitusi peneliti akan mulai bertanya : “dapatkah anda mengatakan…?” dalam teori tidak ada yang salah dengan cara demikian untuk memperoleh keterangan seperti itu. Tetapi kekeliruan akan datang dalam praktek. Pertama-tama, oleh karena peneliti akan berusaha mengatakan sesuatu dalam sebuah bahasa yang hanya sebagian saja yang dikuasainya, ia harus yakin bahwa ia mengucapkan bentuknya secara tepat; bila ia masih mengalami kesulitan besar dalam fonologi, maka ia hendaknya jangan terlalu bersandar pada teknik tersebut guna mengecek bentuk-bentuk.
3. Pemancingan Korektif. Bila seorang peneliti tahu akan unsur-unsur apa yang sedang ditanganinya, tetapi tidak tahu bagaiman unsur-unsur itu berfungsi, ia sering akan merasa beruntung menyampaikan konstruksi-konstruksi kepada informan untuk dikoreksi. Beberapa di antaranya ternyata akan benar secara kebetulan, dan yang lain akan betul-betul salah sama sekali. Cara bagaimana informan menyusun kembali (apa konstruksi yang baru itu) dan apa saja yang diperhatikannya dalam melakukan ini akan dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang berharga bagi analisis.
4. Pemancingan Tambahan. Teknik ini secara khusus dipakai dengan teks dan ini memang secara istemewa dianjurkan bila orang harus melakukan analisis jauh dari lapangan. Dalam memeriksa teks, kita mungkin akan menemukan bahwa, umpamanya, ada kira-kira 20 kali timbul substitusi orang pertama dan ketiga tunggal tetapi tak ada yang dari orang orang pertama dan orang kedua jamak. Maka apa yang harus kita lakukan adalah “mengadakan beberapa perubahan” pada konstruksi-konstruksi morfologis dan sintaktis yang kelihatan berarti baginya. Demikian pula kita memancing dari informan kalimat-kalimat penopang; hendaknya lebih banyak jenis-jenis kalimat yang terdapat dalam teks.
Suatu hal praktis yang perlu diingat adalah perlunya diadakan rujuk silang pada teks-teks terhadap semua bahan yang diperoleh melalui pemancingan tambahan. Tanpa identifikasi seperti itu, kita akan menganggap bahwa suatu ucapan tertentu dapat muncul secara tersendiri, sedangkan hal itu aslinya diberikan oleh informan dengan suatu ucapan lain yang jelas maksudnya.
5. Parafrase. Untuk tujuan penelitian lapangan linguistik, parafrasa dapat secara sederhana dapat diartikan sebagai “mengatakan hal yang sama dengan cara yang lain” sasarannya adalah mengumpulkan serangkaian kalimat yang terkait oleh suatu Pengertian yang sama dengan mebagi-bagikan unsur-unsur leksikal yang fundamental. Sampai seberapa jauh seorang berhasil, bergantung sebagainya pada jenis persamaan kalimat-kalimat yang dikehendaki peneliti sampai sebaik mana ia dapat melatih informan dalam mengadakan parafrase.

Nilai utama teknik seperti ini adalah bahwa hal ini dapat saja membawa perhatian peneliti kepada struktur sintaksis yang tidak disadarinya sama sekali. Lagi pula, kerena unsur- unsur leksikal kurang lebih tetap konstan, ia terbebas dari menentukan arti leksikal kata-kata baru dan ia dapat memusatkan perhatiannya pada soal struktur saja. Apa lagi, ada perubahan- perubahan morfofonemis yang ruwet dalam bahasa, maka kalimat-kalimat yang agak terkontrol ini memungkinkannya melihat perubahan-perubahandengan ketepatan yang lebih besar.
6. Pemancingan Tersembunyi. Sekali-kali akan merasa produktif untuk merangsang informannya dalam cara-cara yang kurang tersusun secara struktural daripada apa yang telah diuraikan sebelumnya. Setiap prosedur pemancingan mempunyai keterbatasannya masing-masing dan beberapa di antaranya lebih berbahaya dari yang lain karena adanya kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar dalam mempengaruhi tanggapan-tanggapan informan. Yang melekat pada semuanya ini adalah suatu kesulitan yang perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini dapat disebut sebagai sindrom garis perakitan. Apa yang terjadi adalah bahwa peneliti disibukkan dengan, katakanlah, suatu rangkaian kalimat yang dicobanya untuk dipancing, oleh karena kesibukannya itu ia lalai melihat pentingnya bahan-bahan yang baru yang timbul dalam kegiatan pemancingan. Apa yang harus dikembangkan oleh peneliti adalah adanya kesadaran pikiran, kesanggupan menyadari timbulnya sifat-sifat tata bahasa yang penting. Seorang peneliti yang cekatan dengan segera akan mencatatnya dan mengadakan pemeriksaan sambil lalu. Ini memerlukan keterampilan. Kita harus mengetahui betul-betul struktur data yang telah kita peroleh. Dan kita harus jangan terlalu terlibat dalam setiap sifat yang baru sehingga tak dapat mengikuti sama sekali problema analitis yang asli sampai selesai.





E. Percakapan atau Metode Cakap
Percakapan atau metode cakap dibagi menjadi teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar metode cakap adalah si peneliti mendapatkan data pertama-tama harus dengan segenap kecerdikan dan kemauannya untuk memancing seseorang agar berbicara. Teknik lanjutan ada empat, yaitu teknik cakap semuka, teknik cakap tansemuka, teknik rekam, dan teknik catat. Dalam Teknik cakap semuka, kegiatan memancing bicara pertama-tama dengan percakapan langsung, tatap muka, atau bersemuka atau secara lisan. Orang yang dipancing merupakan narasumber atau informan, pemberi informasi, dan pembantu peneliti dalam tahap pemerolehan data yang disediakan untuk dianalisis. Informan harus melalui beberapa criteria, sesuai harapan data yang ingin diperoleh oleh si peneliti.
Teknik cakap tansemuka adalah teknik percakapan tidak langsung yaitu dengan cara tertulis. Sebagai contoh: kuesioner dalam penelitian ilmu sosial atau surat menyurat antara peneliti dan informan dalam mengumpulkan data. Peneliti tidak harus berhadapan secara langsung dengan informan. Namun, informan dapat mengisi instrumen dari peneliti yang telah disediakan. Terlepas dari teknik mana yang digunakan, pelaksanaan metode ini dilakukan dengan kesadaran. Penutur sumber data dengan sendirinya menyadari bahwa dia benar-benar dipancing agar mau berbahasa yang sesuai dengan maksud peneliti demi tujuan penelitian yang dipilih.
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam memancing data yang diharapkan dari informan oleh seorang peneliti dengan menggunakan teknik cakap semuka sebagai teknik bawahan, yaitu: teknik lanjutan bawahan: lesap, ganti, perluas, sisip, dan balik. (Mahsun, 2011: 96-101). Teknik lanjutan bawahan lesap adalah sebuah teknik pancing yang digunakan pada tahapan penyediaan data. Dalam pelaksanaannya teknik ini mengharuskan hadir satu bentuk pancingan. Kemudian dari bentuk itu dicoba kembangkan bentuk baru dengan menghilangkan unsur-unsur yang menjadi objek sasaran penelitian. Data yang muncul dari teknik ini berupa data sandingan dari data awal yang dimunculkan sebagai dasar pijak untuk mengembangkan teknik lesap ini. selain untuk menyediakan data bagi analisis satuan bahasa, metode ini juga digunakan untuk menyediakan data analisis yang bertujuan untuk mengetahui tipe-tipe kalimat yang serupa dan mengenali tipe kata polimorfemis.
Teknik lanjutan bawahan ganti sama dengan teknik lesap. Berpijak pada data awal kemudian melakukan pemancingan sehingga memumculkan data baru. Keberadaan data baru sebagai hasil penciptaan informan secara tidak sadar maupun karena pancingan peneliti. Dalam penelitian, teknik ini dimaksudkan untuk menyediakan data bagi analisis mengetahui kadar kesamaan kelas atau kategori unsur terganti dengan unsur pengganti, khususnya bila tataran pengganti sama dengan tataran terganti.
Teknik lanjutan bawahan perluas juga sama dengan kedua teknik di atas yang berangkat dari data awal kemudian memunculkan data baru. Hanya bedanya, teknik ini digunakan untuk menyediakan data bagi analisis kadar kesinoniman unsur lingual yang menjadi objek sasaran. Konsep perluas berarti bertambahya sejumlah data yang makna atau informasinya sama dengan data awal. Perluasan data ini bisa secara semantis dan bisa juga secara formal (bentuk).
Teknik lanjutan bawahan sisip ditujukan untuk menyediakan data bagi analisis kadar keeratan hubungan antar unsur yang menjadi objek penelitian. teknik ini juga didasarkan pada data awal. Teknik lanjutan bawahan balik pun sama seperti teknik-teknik sebelumnya yang didasarkan pada data awal, namun teknik ini digunakan untuk menyediakan data yang bertujuan untuk mengetahui kadar ketegaran letak atau unsur atau objek penelitian. Teknik ini dilakukan dengan cara mengubah-ubah letak unsur yang menjadi objek penelitian dalam satu deretan struktur.
Ketika teknik cakap semuka dilakukakan, teknik rekam juga dapat dilakukan secara bersamaan. Sementara, jika teknik cakap tansemuka yang dilakukan, maka teknik catat merupakan kelanjutan dari teknik ini. teknik catat merupakan muara dari teknik pemancingan. Hasil perekaman pun akhirnya harus dicatat atau ditranskripsikan dalam bentuk tertulis. Pencatatan itu untuk mengelompokkan data yang selanjutnya diakhiri dengan klasifikasi kartu data.






Percakapan
(sebagai metode)
Disebut: metode cakap

Pemancingan
(sebagai teknik dasar)
Disebut: teknik pancing









Perekaman (sebagai teknik
Lanjutan) disebut
Teknik Rekam

Pencatatan pada “kartu data”
(sebagai teknik lanjutan)
Disebut: teknik catat


Klasifikasi/pengelompokan
“kartu data”

Diagram: Metode cakap (Sudaryanto, 1993:140)





F. Wawancara
Pemancingan tidak terlepas dari prosesi wawancara. Wawancara bukan semata-mata pertukaran netral pengajuan pertanyaan dan pemberian jawaban. Berbagai pendekatan empatik yang baru dalam wawancara ternyata berbeda dengan pendekatan konvensional. Pendekatan ini menyadari bahwa kini saatnya kita berhenti memperlakukan subjek yang diwawancarai sebagai ‘sapi perah’ yaitu mencari alat mendapatkan susu (teknik) yang lebih baik untuk memeras susu (jawaban) dari sapi (subjek yang diwawancarai). Perubahan menuju empati bukanlah berdasarkan keputusan individual, namun lebih merupakan hasil dari perbuatan prespektif historis, politis, dan kultural (Denzin, 2011: 60). Para peneliti sangat menekankan penghapusan hambatan antara para peneliti dengan subjek yang diteliti di dalam proses memawancarai. Sebagian peneliti semakin menyadari kenyataan bahwa dalam mengenal orang lain, ternyata kita mulai mengenal diri kita sendiri.
Wawancara ada dua, yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Dalam wawancara terstruktur, peneliti mengajukan serangkaian pertanyaan yang telah disusun kepada informan dengan cakupan kategori jawaban yang terbatas. Sedangkan, wawancara tidak terstruktur, peneliti dapat menanyakan apapun kepada informan, sementara itu infoman dapat memberikan jawaban yang lebih luas daripada wawancara yang lainnya (Denzin, 2011:70).
Situasi yang berbeda menuntut penggunaan teknik wawancara yang berbeda. Saat ini, teknik wawancara tidak hanya mengalami perubahan cakupan metodologis, namun lebih jauh dan dalam menyangkut diri kita dan orang lain (Denzin, 2009:519). Pengembaraan singkat mengenai dunia wawancara harus membuat kita lebih mendalami dan lebih peka dengan problematika terkait dengan lontaran-lontaran pertanyaan dalam wawancara berdasarkan alasan-alasan sosiologis tertentu.





G. Langkah-langkah dalam Pemancingan
Sebagian dari keberhasilan seseorang peneliti bergantung pada cara ia meminpin kegiatan-kegiatan dengan informannya. Dengan melakukan tindakan-tindakan pencegahan tertentu dan mengikuti beberapa peraturan, ia dapat merasa pasti akan ketepatgunaan kegiatannya dan ketepatan datanya. Demi kemudahan, kita menganggap di sini bahwa kita terutama sekali hanya menangani analisis tata bahasa.
Persiapan. Jika dibandingkan, tidak ada “kegiatan” yang lebih penting dalam kegiatan kerja selain persiapan. Seluk beluk masalah yang dihadapi peneliti hendaknya diketahui dengan sejelas-jelasnya. Ada kalanya bermanfaat sekali untuk menjelaskan problemnya maupun cara menanggulanginya dalam bentuk memorandum pada diri sendiri. Memorandum tersebut jangan dianggap enteng sebab hal itu merupakan suatu bentuk uraian pendahuluan. Ini adalah tempat yang tepat untuk menekankan pentingnya laporan kemajuan secara periodik atau uraian-uraian ringkas berbagai aspek tata bahasa. Suatu penanganan data yang dimiliki seseorang secara sungguh-sungguh akan mengungkapkan beberapa banyak yang sudah diketahui dan apalagi yang perlu dipelajari.
Langkah berikutnya adalah mengenai bentuk-bentuk dalam bahasa konteks yang akan memancing bentuk-bentuk yang diinginkan dalam bahasa sasaran. Si linguis harus mengerti sepenuhnya kekuatan dan keterbatasan alat pemancingan ini. Jika tidak demikian, ia akan tidak siap terhadap kesulitan-kesulitan informan dan tanggapan-tanggapannya yang tak diduga datangnya. Bila terdapat kemungkinan bahwa informan tidak mengerti suatu ungkapan, maka merupakan suatu tindakan yang bijaksana bila ia mempersiapkannya untuk itu. Hal ini ada kalanya dapat dilakukan secara tersembunyi.






Penyusunan Kata-kata. Jika orang sudah mengenal bahasa dengan cukup jauh, yaitu sampai ia dapat menulis dengan agak cepat dan tepat, maka ada baiknya ia menambah pengenalan kata-kata yang menjurus ke penyusunan kalimat yang ingin diperolehnya, misalnya, bila ia ingin memancing sebuah kalimat mengenai “istrinya pergi ke kota untuk membeli jagung” mungkin lebih dahulu dipancing mengenai “istrinya”, “istrinya pergi ke kota” dan “istrinya membeli jagung” prosedur seperti ini tentu lebih disukai daripada menyuruh informan mengulangi suatu kalimat berkali-kali sampai peneliti merasa puas bahwa ia telah merekamnya dengan tepat. Hal itu juga membuat peneliti menyadari problema-problema yang mungkin terdapat dalam kalimat.
Transkripsi. Dengan istilah ini kita maksudkan pencatatan sebagai data linguistik semua yang dikatakan informan dalam bahasanya sendiri. Semuanya itu akan dicatat dalam buku catatan komposisi (karangan), sama sekali tidak secara langsung di atas kertas-kertas selip lepas. Tiap ungkapan ditulis pada baris yang terpisah-pisah. Baris itu diberi spasi yang cukup untuk tempat menuliskan komentar-komentar jika perlu nanti di kemudian hari.
Salah satu hal yang harus dicek oleh peneliti adalah kemungkinan bahwa ia sedang diberi ungkapan-ungkapan deskriftif yang berterus terang. Bila informan mengeluarkan ucapan-ucapan dalam dua atau tiga cara,variasi-variasi ini juga harus dicatat, sehingga ada dokumentasi yang cukup mengenai variasi-variasi itu. Dalam mencatat variasi-variasi itu, kita harus banyak memberikan perhatian kepada perasaan-perasaan informan. Bahkan, kejadian atau jawaban-jawaban yang bernada negative pun harus dicatat. Hal ini akan membuat informan merasakan pentingnya irama interaksi antara dirinya dan peneliti.
Ulangan. Mengadakan ulangan-ulangan dari suatu ucapan merupakan bagian yang eksplisit dari prosedur pemancingan. Ulangan-ulangan ini dilakukan secara tak sukarela yang dilakukan oleh informan atau peneliti sendiri. Informan yang mengulang-ulang sangat dianjurkan jika diperlukan, namun peneliti sebaiknya tidak mengulang-ulang karena akan menimbulkan kejenuhan. Ulangan-ulangan hendaknya diadakan dalam keadaan yang sama yang terdapat pada saat ucapan-ucapan aslinya dilakukan. Peneliti, sewaktu-waktu perlu mendengar berkali-kali kata-kata tertentu atau data yang ingin digali.

H. Menganalisis dan Mengecek Pemancingan
Sulit sekali menghindari pembicaran mengenai aspek-aspek analitis penelitian lapangan linguistik. Pernyatan saling ketergantungan dilakukan dengan jalan menyusun kategori pemancingan analitis. Hanya dengan memproses data sehari-hari dengan cara membandingkan dan menganalisisnya, kita baru dapat mengetahui apa lagi yang diperlukan untuk korpusnya. Ada nilai-nilai praktis lain dalam meneliti ulang dan membanding-bandingkan data, yaitu: orang akan terbiasa dengan bahan-bahannya dan peneliti akan melihat bagaimana transkipsinya berbeda-beda.
Pengecekan merupakan suatu bagian tetap dari kegiatan kerja dengan informan. Ini hanya menyangkut apakah transkripsi itu asli atau sudah tepat. Pengecekan merupakan bagian penting dari penelitian namun juga sekaligus merupakan pekerjaan yang membosankan. Harus ada pendekatan sistematis mengenai pengecekan. Sangat sedikit yang akan dicapai bila peneliti hanya membolak-balik catatan lapangannya untuk mencari tempat masalah yang ditandai untuk sekadar dicek dan dibanding-bandingkan.












Daftar Pustaka
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (Ed). 2009. Handbook of Qualitative Reasearch. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (Ed). 2011. The Sage Handbook of Qualitative Research 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahsun. 2011. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Samarin, William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar