Teknik Pemancingan
Oleh: Rizal Effendy Panga dan Mustaming
A. Pendahuluan
Sama halnya keahliaan analitis atau linguistis, pemancingan yang mempunyai tujuan yang terarah benar memungkinkan seorang peneliti mengulangi suatu bahasa yang belum pernah dipelajarinya dan dalam waktu singkat sanggup melahirkan suatu deskripsi yang mengandung kumpulan fakta yang banyak, walaupun mungkin semuanya tidak secara linguistik berarti. Bagi kaum awam keberhasilan seorang linguis sungguh hanya bersifat fenomenal. Tetapi apa yang tidak disadari oleh kaum awam itu bahwa keberhasilan linguis itu merupakan buah suatu keterampilan yang sudah dikembangakn melalui banyak praktek. Ini tidak kelihatan pada saat linguis itu bekerja bersama seorang informan yang terlihat kadang-kadang hanya menanyakan suatu nomina tertentu, lalu bertanya lagi tentang kalimat yang tampaknya seolah-olah tak ada hubungannya dengan apa yang dikerjakannya atau selanjutnya tentang arti suatu bentuk yang diperolehnya sebelumnya. Tetapi sebenarnya, di belakang segala sesuatu yang dilakukannya itu ada alasan tertentu. Sekarang kita ingin mengutarakan secara implisit dalam metodologinya.
Pada praktiknya, percakapan diwujudkan dengan pemancingan. Si peneliti untuk mendapatkan data, pertama-tama harus dengan segenap kecerdikan dan kemaunnya memancing seseorang atau beberapa orang agar berbicara. Kegiatan memancing itu dapat dipandang sebagai teknik dasarnya atau disebut teknik pancing (Sudaryanto, 1993:137). Teknik pancing atau percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan muncul, jika peneliti member stimulasi (pancingan) pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti. Pancingan atau stimulasi itu dapat berupa bentuk makna yang biasanya tersusun dalam bentuk daftar pertanyaan (Mahsun, 2011: 95-96).
B. Sifat-sifat Dasar Pemancingan dan Kegiatan Kerja
Sifat-sifat Dasar Pemancingan
Beberapa faktor yang membuat teknik pemancingan itu berbeda dari setiap teknik lain yang digunakan dalam penelitian linguistik : (a). tuturan yang diperoleh melalui pemancingan itu pendek-pendek, umumnya tidak lebih panjang dari suatu kalimat tunggal dan biasanya di luar konteks. Mungkin ada hubungan antara tuturan ini dengan tuturan lain yang mempunyai konteks linguistik atau tidak, tetapi yang jelas tuturan–tuturan itu satu dengan yang lainya tidak mempunyai hubungan yang nyata atau logis. (b) Pemancingan ditujukan terhadap analisis beberapa aspek sistem linguistik. Semua tuturan itu mempunyai nilai hanya sejauh ia dapat memberikan bantuan kepada peneliti untuk menerangkan sesuatu tentang sistem tersebut. (c) Akhirnya, pemancingan dibatasi oleh hubungan-hubungan manusiawi yang terjalin akrab antara peneliti dan informan yang mempengaruhi sifat-sifat data yang diperoleh dan diinterpretasikannya (Samarin, 1988:162-163).
Kegiatan Kerja
Pemancingan sebagai teknik pengumpulan korpus dan analisis bahasa akan sangat berhasil, jika dijadwalkan dengan benar. Ini mencakup kegiatan kerja dalam lingkunga-lingkungan yang cocok bersama informan untuk jangka waktu yang telah diatur terlebih dahulu. Tidak berarti pemancingan itu tidak dapat dilakukan dalam situasi lain. misalnya, seorang suku Mazatek yang suka membantu, tetapi karena tidak pernah dapat meninggalkan tokonya sehingga para peneliti bahasa terpaksa harus duduk di belakang meja toko bersamanya dan mengajukan pertanyaan –pertanyaan yang hanya bila ia tidak sibuk melayani para langganannya (E.V. Pike 1958:61, dalam Samarin, 1988:163 ). Tetapi seorang peneliti lain yang mempelajari bahasa Athapaskan di Kanada membuat kekeliruan dengan mencoba membuat contoh-contoh bentuk tasrif verba (paradigma verba) dari informannya sesudah ia melakukan pekerjaan berburu sepanjang hari. Sedikit sekali yang diperolehnya pada kesempatan itu, dan apa yang telah diperolehnya itu mengandung banyak kekeliruan. Ternyata informan tidak memberikan perhatian penuh terhadap pekerjaan itu. Atau, mungkin ia juga merasa lebih atau menganggap waktu tempatnya tidak begitu tepat untuk pekerjaan seperti itu.
Tempat untuk kegiatan kerja hendaknya memberi kesempatan sepenuhnya peneliti atau informan. Seorang peneliti harus yakin pula bahwa ia tidak membuat informannya terasing dalam suatu ruangan yang keadaannya mungkin asing sekali baginya. Seorang peneliti bila dari semula ia menentukan jadwal yang tetap bagi kegiatan kerjanya. Tidak ada peraturan khusus mengenai jam-jam kerja yang menguntungkan.
Ada dua hal yang berlebihan (ekstrim) yang harus dihindari dalam kegiatan kerja. Yang pertama, bekerja terlalu cepat. Yang kedua, membuang waktu agak lama tentang suatu analisis. Kedua kesalahan itu menyebabkan informan tidak terpakai dengan baik dalam penelitian. Kedua hal itu dapat pula menimbulkan kurangnya perhatian di pihak informan. Lagi pula tidak ada alasan sama sekali untuk mengadakan penelitian secara tergesa-gesa. Yang lebih penting adalah tercapainya mutu penelitian dan bukan banyaknya bahan yang dapat diperoleh (Samarin, 1988:164).
Akhirnya harus kita ingat juga bahwa informan itu hanyalah manusia yang perasaan-perasaannya perlu pula mendapat perhatian yang sama seperti terhadap kita sendiri. Oleh sebab itu, suatu kegiatan janganlah hendaknya dimulai secara tiba-tiba. Hendaknya kegiatan kerja itu dimulai pada waktu yang sudah ditetapkan dengan kenikmatan sosialnya. Informan itu hendaknya diperlakukan sedemikian rupa sehingga ia merasa seolah-olah merasa ia benar-benar diperlukan oleh penelitian untuk pekerjaan selanjutnya, dan bukan untuk hari itu saja. Dari manakah kerja pemancingan itu dimulai? Tentang apa sajakah keterangan yang ingin diperoleh? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang hendaknya timbul pada diri peneliti sendiri yang memulai pekerjaan ini buat pertama kalinya, Malahan sebelum pemula ini mengumpulkan dan mendaftakan kata-kata benda dan mengalami kesulitan lainnya. Jadi, dengan demikian perasaan takut akan melakukan kontak pertama dengan suatu bahasa yang asing baginya akan segera mereda, lalu ia akan bertanya pada dirinya sendiri, ‘Sekarang apa lagi?’Bagaimana cara berikhtiar tergantung pada banyaknya hal yang telah diketahuinya mengenai struktur bahasa itu. Teknik pemancingan itu akan berlangsung secara “terjadwal” atau secara “analitis”.
C. Pemancingan Terjadwal
Pemancingan yang terjadwal dimulai dengan kekurangtahuan yang relatif atau penuh terhadap sesuatu bahasa sedang diselidiki, tetapi pemancingan itu sebenarnya sudah dimulai dari pengetahuan tentang sesuatu yang dapat diharapkan dalam segala bahasa secara universal. Kita hendaknya mempersiapkan diri dengan informasi eksplisit sebanyak mungkin mengenai bahasa yang kita usulkan dalam studi lapangan. Ada semacam bahan yang diterbitkan mengenai setiap keluarga bahasa di dunia. Akan tetapi sedikit sekali dari bahan-bahan itu yang dapat dipergunakan dalam suatu penelitian. Oleh karena itu, timbulah suatu kebutuhan semacam alat-alat pemancingan standar untuk daerah-daerah tertentu di dunia ini. Alat pemancingan tersebut akan terdiri atas hal-hal sebagai berikut : daftar kata-kata yang kultural dan nonkultural, beberapa berdiri sendiri dan beberapa dalam ikatan konteks, kalimat-kalimat mengelisitasi ciri-ciri bahasa yang paling karakteristik maupun sebuah teks (Samarin, 1988:165-166).
Kita dapat menyusun kuesioner kita masing-masing dan amat bijaksana untuk berbuat seperti itu. Beberapa kata berupa nasihat yang disusun secara berturut-turut adalah sebagai berikut : (a) Pastikan bahwa jumlah kalimatnya cukup besar. Mungkin akan kita perlukan sebanyak 400 kata bagi kebanyakan bahasa. (b) Hendaknya ada berbagai macam kalimat (yang terletak pada tempat yang berbeda-beda dalam daftar) untuk memancing setiap ciri tata bahasa. Maksud penyebaran kalimat- kalimat tersebut adalah untuk memberi kebebasan yang lebih besar kepada informan dalam menyusun jawabannya. (c) Setiap konstruksi tata bahasa hendaknya dipancing dengan berbagai unsur leksikal, misalnya “Saya menyuruhnya pergi.” dan “Ayah saya bermaksud mengatakan kepada kakaknya supaya datang.” Kedua kalimat ini memancing verba (“pergi atau “datang”) dalam suatu konstruksi kalimat tergantung pada verba lainnya (“menyuruh” dan “bermaksud mengatakan”). (d) Setiap kata hendaknya sebanyak mungkin terdapat dalam berbagai konteks, seperti “Ia memasuki rumah itu.”, “Mereka memperbaiki atap rumah.”, “Rumah itu terbakar.”, dan lain-lain. alasan untuk mengulangnya adalah untuk memudahkan mengadakan analisis bahan tersebut bila tidak dapat memperoleh informan. (e) Siapkan kuesioner itu dalam dua atau tiga bahasa untuk dapat mengambil keuntungan dari para informan yang sebagiannya menggunakan bahasa. (f) Ada pula manfaatnya untuk menyediakan suatu indeks dari setiap unsur, leksikal atau gramatikal, yang masuk dalam kuesioner. Salah satu keuntungannya adalah bahwa hal itu dapat merupakan alat pengecek jumlah terdapatnya tiap unsur maupun berbagai konteksnya. Suatu sifat yang tidak perlu terdapat dalam kuesioner adalah kalimat-kalimat yang terlalu sederhana.
D. Pemancingan Analitis
Pemancingan analitis, berlainan dengan pemancingan terjadwal, selalu dimulai dengan data dalam bahasa yang sedang dipelajari. Data linguistik yang bagaimanapun besar ukurannya merangsang penyelidikan ke suatu jurusan tertentu. (a) Mungkin perlu ditemukan lebih banyak contoh dari suatu morfem atau suatu konstruksi tertentu. (b) pemancingan analitis dapat juga dianggap sebagai suatu cara coba-coba. Dalam beberapa hal, ini dapat dibandingkan dengan pertanyaan-pertanyaaan yang berakhir secara terbuka ke arah suatu wawancara/ pertanyaan. (c) pemancingan itu juga bersifat eksperimental. Suatu eksprimen bertujuan menguji hubungan antara kelas-kelas unit dengan menguasai suatu perangkat dan dengan teliti mengganti (atau mengubah) yang lain. (d) Kegunaan akhir pemancingan dalam penentuan arti akan ditangani dalam hubungannya dengan leksikografi lapangan.
Ada lebih dari satu cara untuk memperoleh keterangan dari informan. Teknik pemancingan yang mana yang akan dipakai akan ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga faktor : tingkat penyelidikan yang dicapainya sendiri, jenis data yang dicarinya (maupun tujuan analisis), dan bakat-bakat informan. Pada umumnya, yang pertama dari teknik-teknik berikut ini adalah teknik yang paling berguna, tetapi bukan berarti bahwa itulah yang paling dianjurkan.
1. Pemancingan terjemahan balik. Ini adalah teknik yang dimaksudkan di atas dalam mengerjakan atau menyelesaikan analisis permulaan dari ucapan-ucapan bahasa Nyanja. Prosedurnya adalah memulai pemancingan dengan bentuk-bentuk dalam bahasa kontak yang disuruh terjemahkan ke dalam bahasa sasaran. Tetapi ada saja kemungkinan arti ganda dengan teknik semacam ini, yang biasanya tak dapat diatasi. Pada waktu yang sama, peneliti berkeinginan sekali memiliki jawaban, tetapi pada waktu sama ini pula ia merasa takut akan bayangan jawaban yang akan diperolehnya sebagai tanggapan dari rangsangannya. Ia menginginkannya sebab hal itu akan membantunya mengurai tanggapan. Ia takut sebab adanya bahaya bahwa tanggapan yang akan diperolehnya mungkin pula akan ditentukan oleh perangsang yang dilakukan dalam bahasa kontak.
Suatu kesulitan lain dengan pemancingan terjemahan balik ini adalah bahwa cara ini tidak dapat mengetahui lebih dahulu apa-apa yang penting yang mungkin akan keluar secara tata bahasa dalam suatu bahasa (kecuali peneliti mengenal bahasa itu lebih dulu atau mengenal suatu bahasa lainnya yang serupa)
2. Pemancingan substitusi. Bekerja baik dengan bahasa kontak dengan menggunakan terjemahan balik maupun dengan bahasa yang sedang dipelajari. Orang akan memancing sejumlah besar keterangan dengan jalan memanipulasikan unsur-unsur linguistik di dalam kerangka bahasa. Hal ini juga dapat disebut teknik “Paradigmatis” atau “teknik kerangka dan substitusi”.
Teknik ini dapat juga dipakai dalam menentukan batas-batas pendistribusian suatu unsur. Dalam studi fonologi, substitusi dipakai dalam beberapa cara. Dalam semuanya itu lingkungan-lingkungan khusus dipakai sebagai kerangka yang dapat menerima suatu rangkaian fonem. Dengan pemancingan substitusi peneliti akan mulai bertanya : “dapatkah anda mengatakan…?” dalam teori tidak ada yang salah dengan cara demikian untuk memperoleh keterangan seperti itu. Tetapi kekeliruan akan datang dalam praktek. Pertama-tama, oleh karena peneliti akan berusaha mengatakan sesuatu dalam sebuah bahasa yang hanya sebagian saja yang dikuasainya, ia harus yakin bahwa ia mengucapkan bentuknya secara tepat; bila ia masih mengalami kesulitan besar dalam fonologi, maka ia hendaknya jangan terlalu bersandar pada teknik tersebut guna mengecek bentuk-bentuk.
3. Pemancingan Korektif. Bila seorang peneliti tahu akan unsur-unsur apa yang sedang ditanganinya, tetapi tidak tahu bagaiman unsur-unsur itu berfungsi, ia sering akan merasa beruntung menyampaikan konstruksi-konstruksi kepada informan untuk dikoreksi. Beberapa di antaranya ternyata akan benar secara kebetulan, dan yang lain akan betul-betul salah sama sekali. Cara bagaimana informan menyusun kembali (apa konstruksi yang baru itu) dan apa saja yang diperhatikannya dalam melakukan ini akan dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang berharga bagi analisis.
4. Pemancingan Tambahan. Teknik ini secara khusus dipakai dengan teks dan ini memang secara istemewa dianjurkan bila orang harus melakukan analisis jauh dari lapangan. Dalam memeriksa teks, kita mungkin akan menemukan bahwa, umpamanya, ada kira-kira 20 kali timbul substitusi orang pertama dan ketiga tunggal tetapi tak ada yang dari orang orang pertama dan orang kedua jamak. Maka apa yang harus kita lakukan adalah “mengadakan beberapa perubahan” pada konstruksi-konstruksi morfologis dan sintaktis yang kelihatan berarti baginya. Demikian pula kita memancing dari informan kalimat-kalimat penopang; hendaknya lebih banyak jenis-jenis kalimat yang terdapat dalam teks.
Suatu hal praktis yang perlu diingat adalah perlunya diadakan rujuk silang pada teks-teks terhadap semua bahan yang diperoleh melalui pemancingan tambahan. Tanpa identifikasi seperti itu, kita akan menganggap bahwa suatu ucapan tertentu dapat muncul secara tersendiri, sedangkan hal itu aslinya diberikan oleh informan dengan suatu ucapan lain yang jelas maksudnya.
5. Parafrase. Untuk tujuan penelitian lapangan linguistik, parafrasa dapat secara sederhana dapat diartikan sebagai “mengatakan hal yang sama dengan cara yang lain” sasarannya adalah mengumpulkan serangkaian kalimat yang terkait oleh suatu Pengertian yang sama dengan mebagi-bagikan unsur-unsur leksikal yang fundamental. Sampai seberapa jauh seorang berhasil, bergantung sebagainya pada jenis persamaan kalimat-kalimat yang dikehendaki peneliti sampai sebaik mana ia dapat melatih informan dalam mengadakan parafrase.
Nilai utama teknik seperti ini adalah bahwa hal ini dapat saja membawa perhatian peneliti kepada struktur sintaksis yang tidak disadarinya sama sekali. Lagi pula, kerena unsur- unsur leksikal kurang lebih tetap konstan, ia terbebas dari menentukan arti leksikal kata-kata baru dan ia dapat memusatkan perhatiannya pada soal struktur saja. Apa lagi, ada perubahan- perubahan morfofonemis yang ruwet dalam bahasa, maka kalimat-kalimat yang agak terkontrol ini memungkinkannya melihat perubahan-perubahandengan ketepatan yang lebih besar.
6. Pemancingan Tersembunyi. Sekali-kali akan merasa produktif untuk merangsang informannya dalam cara-cara yang kurang tersusun secara struktural daripada apa yang telah diuraikan sebelumnya. Setiap prosedur pemancingan mempunyai keterbatasannya masing-masing dan beberapa di antaranya lebih berbahaya dari yang lain karena adanya kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar dalam mempengaruhi tanggapan-tanggapan informan. Yang melekat pada semuanya ini adalah suatu kesulitan yang perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini dapat disebut sebagai sindrom garis perakitan. Apa yang terjadi adalah bahwa peneliti disibukkan dengan, katakanlah, suatu rangkaian kalimat yang dicobanya untuk dipancing, oleh karena kesibukannya itu ia lalai melihat pentingnya bahan-bahan yang baru yang timbul dalam kegiatan pemancingan. Apa yang harus dikembangkan oleh peneliti adalah adanya kesadaran pikiran, kesanggupan menyadari timbulnya sifat-sifat tata bahasa yang penting. Seorang peneliti yang cekatan dengan segera akan mencatatnya dan mengadakan pemeriksaan sambil lalu. Ini memerlukan keterampilan. Kita harus mengetahui betul-betul struktur data yang telah kita peroleh. Dan kita harus jangan terlalu terlibat dalam setiap sifat yang baru sehingga tak dapat mengikuti sama sekali problema analitis yang asli sampai selesai.
E. Percakapan atau Metode Cakap
Percakapan atau metode cakap dibagi menjadi teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar metode cakap adalah si peneliti mendapatkan data pertama-tama harus dengan segenap kecerdikan dan kemauannya untuk memancing seseorang agar berbicara. Teknik lanjutan ada empat, yaitu teknik cakap semuka, teknik cakap tansemuka, teknik rekam, dan teknik catat. Dalam Teknik cakap semuka, kegiatan memancing bicara pertama-tama dengan percakapan langsung, tatap muka, atau bersemuka atau secara lisan. Orang yang dipancing merupakan narasumber atau informan, pemberi informasi, dan pembantu peneliti dalam tahap pemerolehan data yang disediakan untuk dianalisis. Informan harus melalui beberapa criteria, sesuai harapan data yang ingin diperoleh oleh si peneliti.
Teknik cakap tansemuka adalah teknik percakapan tidak langsung yaitu dengan cara tertulis. Sebagai contoh: kuesioner dalam penelitian ilmu sosial atau surat menyurat antara peneliti dan informan dalam mengumpulkan data. Peneliti tidak harus berhadapan secara langsung dengan informan. Namun, informan dapat mengisi instrumen dari peneliti yang telah disediakan. Terlepas dari teknik mana yang digunakan, pelaksanaan metode ini dilakukan dengan kesadaran. Penutur sumber data dengan sendirinya menyadari bahwa dia benar-benar dipancing agar mau berbahasa yang sesuai dengan maksud peneliti demi tujuan penelitian yang dipilih.
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam memancing data yang diharapkan dari informan oleh seorang peneliti dengan menggunakan teknik cakap semuka sebagai teknik bawahan, yaitu: teknik lanjutan bawahan: lesap, ganti, perluas, sisip, dan balik. (Mahsun, 2011: 96-101). Teknik lanjutan bawahan lesap adalah sebuah teknik pancing yang digunakan pada tahapan penyediaan data. Dalam pelaksanaannya teknik ini mengharuskan hadir satu bentuk pancingan. Kemudian dari bentuk itu dicoba kembangkan bentuk baru dengan menghilangkan unsur-unsur yang menjadi objek sasaran penelitian. Data yang muncul dari teknik ini berupa data sandingan dari data awal yang dimunculkan sebagai dasar pijak untuk mengembangkan teknik lesap ini. selain untuk menyediakan data bagi analisis satuan bahasa, metode ini juga digunakan untuk menyediakan data analisis yang bertujuan untuk mengetahui tipe-tipe kalimat yang serupa dan mengenali tipe kata polimorfemis.
Teknik lanjutan bawahan ganti sama dengan teknik lesap. Berpijak pada data awal kemudian melakukan pemancingan sehingga memumculkan data baru. Keberadaan data baru sebagai hasil penciptaan informan secara tidak sadar maupun karena pancingan peneliti. Dalam penelitian, teknik ini dimaksudkan untuk menyediakan data bagi analisis mengetahui kadar kesamaan kelas atau kategori unsur terganti dengan unsur pengganti, khususnya bila tataran pengganti sama dengan tataran terganti.
Teknik lanjutan bawahan perluas juga sama dengan kedua teknik di atas yang berangkat dari data awal kemudian memunculkan data baru. Hanya bedanya, teknik ini digunakan untuk menyediakan data bagi analisis kadar kesinoniman unsur lingual yang menjadi objek sasaran. Konsep perluas berarti bertambahya sejumlah data yang makna atau informasinya sama dengan data awal. Perluasan data ini bisa secara semantis dan bisa juga secara formal (bentuk).
Teknik lanjutan bawahan sisip ditujukan untuk menyediakan data bagi analisis kadar keeratan hubungan antar unsur yang menjadi objek penelitian. teknik ini juga didasarkan pada data awal. Teknik lanjutan bawahan balik pun sama seperti teknik-teknik sebelumnya yang didasarkan pada data awal, namun teknik ini digunakan untuk menyediakan data yang bertujuan untuk mengetahui kadar ketegaran letak atau unsur atau objek penelitian. Teknik ini dilakukan dengan cara mengubah-ubah letak unsur yang menjadi objek penelitian dalam satu deretan struktur.
Ketika teknik cakap semuka dilakukakan, teknik rekam juga dapat dilakukan secara bersamaan. Sementara, jika teknik cakap tansemuka yang dilakukan, maka teknik catat merupakan kelanjutan dari teknik ini. teknik catat merupakan muara dari teknik pemancingan. Hasil perekaman pun akhirnya harus dicatat atau ditranskripsikan dalam bentuk tertulis. Pencatatan itu untuk mengelompokkan data yang selanjutnya diakhiri dengan klasifikasi kartu data.
Percakapan
(sebagai metode)
Disebut: metode cakap
Pemancingan
(sebagai teknik dasar)
Disebut: teknik pancing
Perekaman (sebagai teknik
Lanjutan) disebut
Teknik Rekam
Pencatatan pada “kartu data”
(sebagai teknik lanjutan)
Disebut: teknik catat
Klasifikasi/pengelompokan
“kartu data”
Diagram: Metode cakap (Sudaryanto, 1993:140)
F. Wawancara
Pemancingan tidak terlepas dari prosesi wawancara. Wawancara bukan semata-mata pertukaran netral pengajuan pertanyaan dan pemberian jawaban. Berbagai pendekatan empatik yang baru dalam wawancara ternyata berbeda dengan pendekatan konvensional. Pendekatan ini menyadari bahwa kini saatnya kita berhenti memperlakukan subjek yang diwawancarai sebagai ‘sapi perah’ yaitu mencari alat mendapatkan susu (teknik) yang lebih baik untuk memeras susu (jawaban) dari sapi (subjek yang diwawancarai). Perubahan menuju empati bukanlah berdasarkan keputusan individual, namun lebih merupakan hasil dari perbuatan prespektif historis, politis, dan kultural (Denzin, 2011: 60). Para peneliti sangat menekankan penghapusan hambatan antara para peneliti dengan subjek yang diteliti di dalam proses memawancarai. Sebagian peneliti semakin menyadari kenyataan bahwa dalam mengenal orang lain, ternyata kita mulai mengenal diri kita sendiri.
Wawancara ada dua, yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Dalam wawancara terstruktur, peneliti mengajukan serangkaian pertanyaan yang telah disusun kepada informan dengan cakupan kategori jawaban yang terbatas. Sedangkan, wawancara tidak terstruktur, peneliti dapat menanyakan apapun kepada informan, sementara itu infoman dapat memberikan jawaban yang lebih luas daripada wawancara yang lainnya (Denzin, 2011:70).
Situasi yang berbeda menuntut penggunaan teknik wawancara yang berbeda. Saat ini, teknik wawancara tidak hanya mengalami perubahan cakupan metodologis, namun lebih jauh dan dalam menyangkut diri kita dan orang lain (Denzin, 2009:519). Pengembaraan singkat mengenai dunia wawancara harus membuat kita lebih mendalami dan lebih peka dengan problematika terkait dengan lontaran-lontaran pertanyaan dalam wawancara berdasarkan alasan-alasan sosiologis tertentu.
G. Langkah-langkah dalam Pemancingan
Sebagian dari keberhasilan seseorang peneliti bergantung pada cara ia meminpin kegiatan-kegiatan dengan informannya. Dengan melakukan tindakan-tindakan pencegahan tertentu dan mengikuti beberapa peraturan, ia dapat merasa pasti akan ketepatgunaan kegiatannya dan ketepatan datanya. Demi kemudahan, kita menganggap di sini bahwa kita terutama sekali hanya menangani analisis tata bahasa.
Persiapan. Jika dibandingkan, tidak ada “kegiatan” yang lebih penting dalam kegiatan kerja selain persiapan. Seluk beluk masalah yang dihadapi peneliti hendaknya diketahui dengan sejelas-jelasnya. Ada kalanya bermanfaat sekali untuk menjelaskan problemnya maupun cara menanggulanginya dalam bentuk memorandum pada diri sendiri. Memorandum tersebut jangan dianggap enteng sebab hal itu merupakan suatu bentuk uraian pendahuluan. Ini adalah tempat yang tepat untuk menekankan pentingnya laporan kemajuan secara periodik atau uraian-uraian ringkas berbagai aspek tata bahasa. Suatu penanganan data yang dimiliki seseorang secara sungguh-sungguh akan mengungkapkan beberapa banyak yang sudah diketahui dan apalagi yang perlu dipelajari.
Langkah berikutnya adalah mengenai bentuk-bentuk dalam bahasa konteks yang akan memancing bentuk-bentuk yang diinginkan dalam bahasa sasaran. Si linguis harus mengerti sepenuhnya kekuatan dan keterbatasan alat pemancingan ini. Jika tidak demikian, ia akan tidak siap terhadap kesulitan-kesulitan informan dan tanggapan-tanggapannya yang tak diduga datangnya. Bila terdapat kemungkinan bahwa informan tidak mengerti suatu ungkapan, maka merupakan suatu tindakan yang bijaksana bila ia mempersiapkannya untuk itu. Hal ini ada kalanya dapat dilakukan secara tersembunyi.
Penyusunan Kata-kata. Jika orang sudah mengenal bahasa dengan cukup jauh, yaitu sampai ia dapat menulis dengan agak cepat dan tepat, maka ada baiknya ia menambah pengenalan kata-kata yang menjurus ke penyusunan kalimat yang ingin diperolehnya, misalnya, bila ia ingin memancing sebuah kalimat mengenai “istrinya pergi ke kota untuk membeli jagung” mungkin lebih dahulu dipancing mengenai “istrinya”, “istrinya pergi ke kota” dan “istrinya membeli jagung” prosedur seperti ini tentu lebih disukai daripada menyuruh informan mengulangi suatu kalimat berkali-kali sampai peneliti merasa puas bahwa ia telah merekamnya dengan tepat. Hal itu juga membuat peneliti menyadari problema-problema yang mungkin terdapat dalam kalimat.
Transkripsi. Dengan istilah ini kita maksudkan pencatatan sebagai data linguistik semua yang dikatakan informan dalam bahasanya sendiri. Semuanya itu akan dicatat dalam buku catatan komposisi (karangan), sama sekali tidak secara langsung di atas kertas-kertas selip lepas. Tiap ungkapan ditulis pada baris yang terpisah-pisah. Baris itu diberi spasi yang cukup untuk tempat menuliskan komentar-komentar jika perlu nanti di kemudian hari.
Salah satu hal yang harus dicek oleh peneliti adalah kemungkinan bahwa ia sedang diberi ungkapan-ungkapan deskriftif yang berterus terang. Bila informan mengeluarkan ucapan-ucapan dalam dua atau tiga cara,variasi-variasi ini juga harus dicatat, sehingga ada dokumentasi yang cukup mengenai variasi-variasi itu. Dalam mencatat variasi-variasi itu, kita harus banyak memberikan perhatian kepada perasaan-perasaan informan. Bahkan, kejadian atau jawaban-jawaban yang bernada negative pun harus dicatat. Hal ini akan membuat informan merasakan pentingnya irama interaksi antara dirinya dan peneliti.
Ulangan. Mengadakan ulangan-ulangan dari suatu ucapan merupakan bagian yang eksplisit dari prosedur pemancingan. Ulangan-ulangan ini dilakukan secara tak sukarela yang dilakukan oleh informan atau peneliti sendiri. Informan yang mengulang-ulang sangat dianjurkan jika diperlukan, namun peneliti sebaiknya tidak mengulang-ulang karena akan menimbulkan kejenuhan. Ulangan-ulangan hendaknya diadakan dalam keadaan yang sama yang terdapat pada saat ucapan-ucapan aslinya dilakukan. Peneliti, sewaktu-waktu perlu mendengar berkali-kali kata-kata tertentu atau data yang ingin digali.
H. Menganalisis dan Mengecek Pemancingan
Sulit sekali menghindari pembicaran mengenai aspek-aspek analitis penelitian lapangan linguistik. Pernyatan saling ketergantungan dilakukan dengan jalan menyusun kategori pemancingan analitis. Hanya dengan memproses data sehari-hari dengan cara membandingkan dan menganalisisnya, kita baru dapat mengetahui apa lagi yang diperlukan untuk korpusnya. Ada nilai-nilai praktis lain dalam meneliti ulang dan membanding-bandingkan data, yaitu: orang akan terbiasa dengan bahan-bahannya dan peneliti akan melihat bagaimana transkipsinya berbeda-beda.
Pengecekan merupakan suatu bagian tetap dari kegiatan kerja dengan informan. Ini hanya menyangkut apakah transkripsi itu asli atau sudah tepat. Pengecekan merupakan bagian penting dari penelitian namun juga sekaligus merupakan pekerjaan yang membosankan. Harus ada pendekatan sistematis mengenai pengecekan. Sangat sedikit yang akan dicapai bila peneliti hanya membolak-balik catatan lapangannya untuk mencari tempat masalah yang ditandai untuk sekadar dicek dan dibanding-bandingkan.
Daftar Pustaka
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (Ed). 2009. Handbook of Qualitative Reasearch. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (Ed). 2011. The Sage Handbook of Qualitative Research 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahsun. 2011. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Samarin, William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Tampilkan postingan dengan label Metode Penelitian Kualitatif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Metode Penelitian Kualitatif. Tampilkan semua postingan
Jumat, 03 Februari 2012
Kamis, 12 Januari 2012
HAL-IHWAL MEMPEROLEH MASALAH PENELITIAN, SUMBER PENENTUAN MASALAH DAN PENYEDERHANAAN MASALAH PENELITIAN Oleh Evi dan Atik
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah merupakan unsur yang sangat penting dalam penelitian. Seperti dikatakan oleh Nasution, ‘Masalah adalah jiwa penelitian, tanpa masalah tak ada penelitian’ (Nasution,1991: 22). Tetapi, apa sesunggguhnya yang dimaksud Masalah Penelitian? Mari kita lacak makna masalah penelitian ini dari tinjauan leksikal, teoretikal, maupun filosofis.
Makna leksikal masalah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang harus diselesaikan dan dipecahkan ( KBBI,1992 : 562). Di sisi lain, Siswojo melihat bahwa masalah penelitian adalah pernyataan mengenai hubungan yang terdapat pada seperangkat peristiwa (variabel-variabel) dalam suatu bidang ilmu (Siswojo, 1987:40). Lebih jelas lagi, Fraenkel (1993:23) menyatakan bahwa masalah penelitian merupakan hal yang ingin diteliti, “ a problem that someone would like to research”.
Dari tinjauan yang lebih filosofis, Suryadibrata (1983:60) menjelaskan bahwa munculnya masalah itu karena ada kesenjangan (gap) antara das sollen dan das sein; ada perbedaan antara apa yang seharusnya dengan apa yang ada dalam kenyataan, antara apa yang diperlukan dan apa yang tersedia, antara harapan dan kenyataan. Yang menjadi masalah bisa apa saja seperti sesuatu yang tidak memuaskan, berbagai macam kesulitan, urusan yang ingin diubah, segala sesuatu yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan, dan sebagainya.
Pendapat tersebut didukung pula oleh Nawawi (1993:42) bahwa kemunculan masalah terjadi karena tidak terdapatnya keseimbangan antara sesuatu yang diharapkan (das sollen) berdasarkan teori-teori atau hukum-hukum yamg menjadi tolok ukur dengan kenyataan (das sein) sehingga menimbulkan pertanyaan mengapa demikian atau apa sebabnya demikian. Di samping itu, masalah dapat pula muncul karena keragu-raguan tentang keadaan sesuatu , sehingga ingin diketahui keadaannya secara mendalam dan objektif.”
Pertanyaan mengapa demikian dan apa sebabnya seperti yang diungkapkan Nawawi merupakan stimulus yang merangsang munculnya motivasi meneliti. Keingintahuan inilah yang menjadi jiwa, nafas, dan motivasi mendasar dalam penelitian (Nasution, 1991:22). Perolehan informasi akurat yang didapat dari penelitian merupakan prasyarat logis upaya mengubah keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan menjadi keadaan yang sesuai dengan harapan. Setiap manusia umumnya selalu berusaha mencapai apa yang ia inginkan dengan berupaya menghilangkan masalah atau kesenjangan itu.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa pada hakikatnya masalah adalah keadaan yang muncul ketika ada kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada dalam kenyataan. Kesenjangan itulah yang menjadi inti masalah. Masalah bisa bersifat konseptual-teoretis, maupun yang bersifat praktis yaitu masalah-masalah yang ditemui dalam kegiatan manusia sehari-hari.
BAB II
ISI
A. HAL-IHWAL MEMPEROLEH MASALAH PENELITIAN
Satu hal yang harus disadari bahwa pada kenyataannya suatu masalah tidak pernah berdiri sendiri dan terisolasi dari faktor-faktor lain. Siswojo mengatakan bahwa masalah penelitian adalah pernyataan mengenai hubungan yang terdapat pada seperangkat peristiwa (variabel-variabel) dalam suatu bidang ilmu (Siswojo, 1987:40). Selalu ada konteks yang menjadi latar suatu masalah, apakah itu latar belakang ekonomi, politik, sosial, budaya, atau faktor-faktor lain. Secara operasional, suatu gejala baru dikatakan masalah bila gejala itu terdapat dalam suatu situasi tertentu. Dengan demikian untuk mengidentifikasi apakah sesuatu itu masalah atau bukan mesti dilihat dari konteks lengkapnya (Suriasumantri: 90:309).
Berdasarkan tingkat eksplanasinya, masalah penelitian bisa diklasifikasikan ke dalam tiga jenis bentuk masalah penelitian yaitu deskriptif, komparasi, dan asosiasi (Sugiyono, 1994:36-39, Arikunto (1993: 28-31).
A. Permasalahan Deskriptif
Permasalahan deskriptif adalah suatu permasalahan yang berkenaan dengan variabel mandiri, yaitu tanpa membuat perbandingan dan menghubungkan antarvariabel.
Contoh dalam bentuk rumusan masalah penelitian:
1. Bagaimana sikap masyarakat Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang terhadap KB Mandiri?
2. Bagaimanakah tingkat pemahaman unsur-unsur intrinsik puisi siswa kelas VII SMP 22 Bandung Tahun Pelajaran 2004-4005?
B. Permasalahan Komparatif
Permasalahan komparatif adalah suatu permasalahan penelitian yang bersifat membandingkan keberadaan suatu variabel pada dua sampel atau lebih.
Contoh dalam bentuk rumusan masalah penelitian:
1. Adakah perbedaan kemampuan berpidato antara siswa yang bersasal dari SLTP negeri dengan siswa yang berasal dari SLTP swasta?
2. Adakah kesamaan pola pengembangan karangan berita pada majalah dengan berita pada surat kabar?
3. Mana yang lebih tinggi prestasi siswa anak guru dengan anak wiraswata?
C. Permasalahan Asosiatif
Permasalahan ini menghubungkan dua variabel atau lebih baik berupa hubungan simetris, kausal, maupun interaktif
a) hubungan simetris / korelasi sejajar
Hubungan simetris atau korelasi sejajar adalah suatu hubungan antara dua variabel yang kedudukannya sejajar, tidak ada hubungan kausal.
Contoh dalam bentuk rumusan masalah:
1. Adakah hubungan antara kemampuan di bidang matematika dengan kemampuan di bidang bahasa?
2. Adakah hubungan antara banyaknya semut di pohon dengan tingkat manisnya buah?
b) hubungan kausal
Hubungan kausal adalah hubungan yang menunjukkan sebab akibat. Dengan demikian ada variabel independen (bebas) dan variabel dependen (terikat).
Contoh dalam rumusan masalah:
1. Adakah pengaruh banyaknya pujian terhadap semangat belajar siswa?
2. Seberapa besar pengaruh pengetahuan jenis karangan terhadap kemampuan mengarang?
c) hubungan interaktif
Hubungan interaktif adalah hubungan yang saling memepengaruhi. Dalam jenis ini tidak diketahui mana varibel bebas dan mana variabel terikat.
Contoh dalam rumusan masalah:
1. Adakah hubungan antara motivasi dengan prestasi belajar siswa SMA?
2. Adakah hubungan antara kepandaian dengan kekayaan?
3. Adakah hubungan antara motivasi dengan prestasi belajar siswa SMA?
4. Adakah hubungan antara kepandaian dengan kekayaan?
B. SUMBER PENENTUAN MASALAH PENELITIAN
1. Sumber Masalah Penelitian
Pada dasarnya penelitian merupakan ikhtiar manusia dalam upaya pemecahan masalah. Oleh karena itu, keberadaan suatu masalah merupakan syarat yang tidak bias ditawar-tawar bagi pelaksanaan suatu penelitian. Bagaimana cara menemukan dan merumuskan masalah penelitian bagi orang yang belum berpengalaman bukanlah sesuatu yang mudah. Oleh karena itu, perlu kiat-kiat tertentu dalam mencari, menemukan, dan merumuskan masalah. Menurut Suharsimi Arikunto (1996:25), sumber masalah dapat diperoleh dari berbagai macam arah: dari kehidupan sehari-hari, dari membaca buku, dapat diberi dari orang lain. Akan tetapi menurutnya yang paling baik adalah datang dari dirinya sendiri sehingga ada dorongan kebutuhan untuk memperoleh jawaban. Dengan demikian, penelitian akan berjalan dengan sebaik-baiknya.
Masalah dalam penelitian kualitatif bisa didapatkan dari berbagai sumber. Apabila penelitian itu bukan secara pesanan, maka topik atau masalah selalu dihadapkan dengan masalah eksplorasi terhadap sumber topik atau masalah penelitian. Eksplorasi terhadap sumber-sumber inspirasi memungkinkan peneliti atau calon peneliti memperoleh gagasan yang segar tentang topik dan masalah penelitian. Selain menemukan topik dan masalah penelitian dengan cara eksplorasi, gagasan-gagasan penelitian juga dapat dimunculkan dari kajian-kajian terhadap teori yang ada, konsep-konsep yang ada ataupun hasil kajian terhadap beberapa kebijakan publik pemerintah atau swasta. Teori, konsep, dan kebijakan publik tersebut dikaji berdasarkan implementasi terhadap kondisi empiris masyarakat saat ini, kemudian dilihat mana unsur-unsur ketidakterpaduan yang muncul. Pada dasarnya kerja ini sama dengan orang mencari ketidakserasian antara keadaan yang diharapkan (das sollen) dengan kenyataan (das sein) kemudian menimbulkan ketidakpuasan (Bungin, 2011:56-57).
Pengamatan sepintas dapat menjadi sumber masalah penelitian. Masalah itu kadang-kadang muncul setelah seseorang melihat hal-hal tertentu di lapangan yamg menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya menjadi suatu masalah penelitian walaupun sebelumnya dia tidak sengaja mencari masalah penelitian.
Pengalaman pribadi dapat dijadikan sumber masalah penelitian terutama penelitian yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial. Pengalaman ini dapat berkaitan dengan kehidupan pribadi maupun kehidupan profesional. Selain itu perasaan intuitif pun bisa dijadikan masalah. Intuisi dapat muncul setelah seseorang bangun tidur atau istirahat. Hal ini akibat terjadinya pengendapan informasi yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti itu kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan atau masalah.
Dalam bidang pendidikan, penelitian bisa diambil dari komponen-komponen yang tercakup dalam pendidikan. Permasalahan bisa diambil dari sisi siswa (misalnya latar belakang kognitif, sosial ekonomi, latarbelakang budaya dan afektif); dari proses atau kegiatan belajar mengajar (pendekatan, metode, teknik); dari sisi guru (latar belakang pendidikan, sosial ekonomi, minat, kinerja dan lain-lain); dari sisi lingkungan (masyarakat, lingkungan alam, pemerintah, kondisi, suasana); dari sisi kurikulum (sistem penyajian, administrasi, dan evaluasi); dari sisi hasil (baik kognitif, afektif, maupun psikomotor); maupun hubungan antarkomponen-komponen tersebut.
Bungin (2010:61-62) menerangkan bahwa berpikir dan merenung adalah sumber memperoleh masalah-masalah penelitian yang tidak pernah surut. Dengan berpikir orang akan memperoleh gagasan, ide, motivasi untuk melakukan suatu penelitian. Berikut adalah rancangan bagaimana seseorang dapat memperoleh gagasan untuk melahirkan masalah-masalah penelitian yaitu dengan problem Inquiry sebagai berikut.
a. Secara kebetulan
b. Berdiskusi dangan teman/orang lain/dosen
c. Memperoleh dari media massa
d. Mengalami sendiri suatu masalah
e. Membaca buku/karya orang lain
f. Mengamati di masyarakat
Meskipun masalah penelitian bisa diambil dari begitu banyak sumber, masalah tidak akan dapat diperoleh tanpa kepekaan peneliti dalam mengidentifikasi masalah. Dengan demikian, untuk memperoleh masalah yang berkualitas dalam penelitian, perlu dilatih kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap sumber-sumber masalah penelitian di atas. Kepekaan itu bisa di dapat jika ada upaya pendalaman dan pengkhususan (immersion dan guided entry) terhadap bidang masalah yang diteliti (Rakhmat,1984:23).
2. Cara Menemukan Masalah Penelitian
Dalam penelitian bahasa, McGuigan (dikutip dari Sevilla dkk, 1993:4) menyatakan bahwa setidak-tidaknya ada tiga keadaan yang dapat memunculkan masalah, yaitu:
1. Ada informasi yang mengakibatkan munculnya kesenjangan dalam pengetahuan kita.
2. Ada hasil-hasil (penelitian) yang bertentangan.
3. Ada suatu kenyataan dan kita bermaksud menjelaskannya melalui penelitian.
Maksud dengan kondisi adanya informasi yang dapat mengakibatkan munculnya kesenjangan dalam pengetahuan kita adalah kesenjangan antara teori yang diketahui dengan bukti-bukti empiris yang teramati. Selanjutnya yang dimaksud dengan keadaan adanya hasil-hasil peneltitian yang bertentangan adalah, pertama terjadi pertentangan antara hasil penelitian yang satu dengan hasil penelitian yang lain yang objek sasarannya berupa bahasa dan aspek kebahasaan yang diteliti sama (dalam sebuah penelitian). Kedua, terjadi pertentangan antara hasil penelitian dengan bukti-bukti empiris, yang berupa pemakaian bahasa yang sesungguhnya (setidak-tidaknya dalam dua buah penelitian). Adapun yang dimaksudkan dengan adanya suatu kenyataan dan kita bermaksud menjelaskannya melalui penelitian adalah berhubungan dengan suatu kondisi peneliti menemukan bahasa tertentu atau aspek tertentu dari bahasa tertentu yang belum pernah diteliti (Mahsun, 2011:5-9).
Bungin (2001:63) menyebutkan bahwa untuk membantu menemukan suatu masalah yang layak, maka perlu dilakukan identifikasi terhadap suatu masalah yang dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Mengurangi berbagai pertanyaan tentang tema tertentu
b. Menampilkan indikasi terjadinya masalah
c. Menginventarisir berbagai masalah
d. Menampilkan data statistik terjadi masalah (apabila perlu)
2. Kriteria Masalah Penelitian
Penelitian yang baik adalah penelitian yang memenuhi lima ciri utama yaitu menarik minat peneliti, bisa dikerjakan (feasible), jelas (clear), berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia (significant), dan tidak menimbulkan kerusakan bagi alam, lingkungan,dan manusia (ethical) (Fraenkel,1993:24; Suharsimi, 1996:26; Suryabrata, 1983:63-64; Koentjaraningrat, 1990:15; dan Nawawi,1993: 42 – 43).
Ø Masalah penelitian harus menarik karena akan berdampak pada motivasi si peneliti. Masalah yang menarik akan merangsang peneliti lelakukan penelitian sebaik mungkin, segala daya upaya akan ia lakukan untuk memecahkan masalah tersebut.
Ø Masalah penelitian harus feasible karena berkaitan dengan mungkin tidaknya penelitian itu dilakukan. Aspek efesiensi merupakan dasar kriteria ini. Suharsimi Arikunto memberikan pertimbangan mungkin tidaknya sebuah masalah diteliti dari sisi peneliti dan dari sisi faktor pendukung sebagai berikut :
Ditinjau dari diri peneliti :
a. Peneliti mesti mempunyai kemampuan untuk meneliti masalah itu, artinya menguasai materi yang melatarbelakangi masalah dan menguasai metode untuk memecahkannya.
b. mempunyai waktu yang cukup sehingga tidak melakukannya asal selesai.
c. Peneliti mempunyai tenaga untuk melaksanakannya.
d. Peneliti mempunyai dana yang mencukupi.
Dari sisi tersedianya faktor pendukung:
a. Tersedia dana sehingga pertanyaan penelitian dapat dijawab.
b. Ada izin dari yang berwenang.
Ø Sebuah masalah penelitian juga harus jelas (clear) karena masalah penelitian tidak hanya harus dipahami oleh si peneliti, tetapi juga oleh masyarakat banyak. Nawawi menambahkan agar sebelum melaksanakan penelitian, seorang peneliti melakukan studi literatur. Apabila dari studi literatur ternyata masalah yang akan diteliti sudah dilakukan orang lain dengan gamblang, maka sebaiknya dipertimbangkan lagi agar penelitiannya tidak sia-sia. Hal lain yang harus dilakukan adalah berusaha mendiskusikan masalah yang akan ditelitinya dengan teman sejawat atau berkonsultasi/meminta pendapat seseorang atau beberapa orang yang dianggap ahli di dalam bidang yang akan ditelitinya. Hal ini untuk menghindari pengulangan penelitian yang telah dilakukan peneliti lain. (1993: 42 – 43). Dari sisi kejelasan masalah, pendefinisian inti masalah perlu dilakukan dari berbagai sisi, antara lain memperhatikan definisi dari kamus, kesepakatan umum, jika perlu disertai dengan contoh yang konkret. Penjelasan inti masalah dalam suatu penelitian yang baik pada umumnya diungkapkan dengan definisi oprasional.
Ø Kriteria lain yang tidak kalah pentingnya adalah significant. Kriteria ini mengacu pada keharusan bahwa sebuah penelitian mesti berkontribusi terhadap pengetahuan penting bagi manusia. Penelitian idealnya menjawab pertanyaan yang memajukan pengetahuan dalam bidang yang diteliti, juga secara praktis penelitian itu meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Ø Kriteria selanjutnya adalah etis (Ethical). Masalah penelitian harus etis, pantas, layak, dan beradab untuk diteliti. Intinya, penelitian itu tidak menyebabkan kerusakan bagi manusia, alam, dan sosial.
C. PENYEDERHANAAN MASALAH PENELITIAN
Penyederhanaan masalah penelitian sangatlah penting dilakukan. Merumuskan lebih dari dua lusin permasalahan penelitian hanya berarti mencari perkara. Orang akan dengan mudah kehilangan pegangan untuk menentukan ruang lingkup sehingga pengumpulan data menjadi tersekat-sekat. Untuk itu perlu adanya penyederhanaan masalah penelitian yaitu dengan membuat rumusan masalah. Rumusan masalah yang baik adalah rumusan masalah yang memenuhi kriteria-kriteria yaitu menarik, bisa dilaksanakan, jelas, bermanfaat, dan etis.
Untuk keperluan praktis pelaksanaan penelitian, ada dua pola perumusan praktis masalah penelitian. Pola pertama merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan penelitian dan pola yang lain masalah dirumuskan dalam bentuk kalimat pernyataan (Sugiyono, 1994:36).
Berikut ini contoh masalah penelitian yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
1) Bagaimanakah sikap masyarakat Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang terhadap KB mandiri ?
2) Adakah perbedaan produktivitas kerja antara pegawai negeri dan pegawai swasta ?
3) Adakah hubungan antara banyaknya semut di pohon dengan manisnya buah?
4) Seberapa besar pengaruh tata ruang kantor terhadap semangat kerja pegawai?
Jika dirumuskan dengan bentuk kalimat pernyataan, rumusan masalah di atas akan menjadi kalimat berikut.
1) Sikap masyarakat Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang terhadap KB mandiri.
2) Perbedaan produktivitas kerja antara pegawai negeri dengan pegawai swasta.
3) Hubungan antara banyaknya semut dengan manisnya buah.
4) Pengaruh tata ruang kantor terhadap semangat kerja pegawai.
Masalah penelitan yang berasal dari berbagai sumber dapat kita sederhanakan agar tidak terlalu luas. Penyederhanaan masalah penelitian dapat kita lakukan dengan cara membuat rumusan masalah penelitian seperti uraian di atas.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan terhadap beberapa literatur kita bisa memperoleh beberapa simpulan sebagai berikut:
1) Masalah adalah keadaan yang berupa kesenjangan (gap) antara kenyataan dan harapan. Kesenjangan itu bisa bersifat konseptual-teoretis maupun bersifat praktis.
2) Karena masalah dalam kenyataannya berada dalam suatu konteks yang utuh, maka bentuk masalah bisa satu varibel, beberapa variabel, bahkan bisa merupakan perbandingan atau hubungan antar variabel.
3) Kedudukan masalah dalam suatu penelitian sangat penting. Masalah merupakan pangkal dan acuan utama segala bentuk upaya yang dilakukan dalam penelitian, pada hakikatnya sebuah penelitian dilaksanakan untuk mendapat kebenaran (truth) dengan memecahkan masalah.
4) Sumber masalah penelitian bisa diperoleh dengan cara eksplorasi maupun kajian toeri. Masalah bisa dimbil dari dari kehidupan sehari-hari; dari membaca buku; dari saran orang lain; dari adanya penyimpangan antara pengalaman dengan kenyataan; dari penyimpangan antara perencanaan dengan kenyataan; dari pengaduan; dari kondisi yang muncul karena adanya kompetisi; dari berisi laporan penelitian, seminar, diskusi, dan pertemuan ilmiah lain; dari pernyataan pemegang otoritas; pengamatan sepintas; pengalaman pribadi; atau kadang-kadang dari perasaan intuitif. Meskipun demikian, masalah penelitian baru bisa diperoleh jika ada kepedulian dan kepekaan peneliti dalam menemukan masalah.
5) Pemilihan masalah dalam penelitian idealnya memenuhi kriteria menarik, bisa diteliti, jelas, bermanfaat, dan etis.
6) Dalam merumuskan masalah, dikenal ada dua cara perumusan. Perumusan pertama menggunakan bentuk pernyataan. Perumusan masalah kedua menggunakan bentuk pertanyaan.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Mahsun. 2011. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Rajawali Pers.
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Poerwadarminta, W.J.S. 1992. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
http://pbsindonesia.fkip-uninus.org/media.php?module=detailmateri&id=16 Online pukul 10.00 am, Minggu,11-12-2011
Langganan:
Postingan (Atom)