A. PENDAHULUAN
1. Pengertian Semantik
Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Istilah ini merupakan istilah baru dalam bahasa Inggris. Para ahli bahasa memberikan pengertian semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya (makna). Istilah lain yang pernah digunakan hal yang sama adalah semiotika, semiologi, semasiologi, dan semetik. Pembicaraan tentang makna kata pun menjadi objek semantik. Itu sebabnya Lehrer (1974:1) mengatakan bahwa semantik adalah studi tentang makna (lihat juga Lyons 1, 1977:1), bagi Lehrer semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat, dan antropologi. Pendapat yang berbunyi “semantic adalah studi tentang makna” dikemukakan pula oleh Kambartel (dalam Bauerle, 1979:195). Menurutnya semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Sedangkan Verhaar (1983:124) mengatakan bahwa semantik berarti teori makna atau teori arti. Batasan yang hampir sama ditemukan pula dalam Ensiklopedia Britanika (Encyclopaedia Britanica, Vol. 20, 1965:313) yang terjemahannya “Semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistic dengan hubungan proses mental atau simbol dalam aktifitas bicara.” Soal makna menjadi urusan semantik. Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna. Dengan kata lain semantik berobjekkan makna.
2. Deskripsi Semantik
Kempson (dalam Aarts dan Calbert, 1979:1) berpendapat, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk mendeskripsikan semantik. Keempat syarat itu adalah: 1. Teori itu harus dapat meramalkan makna setiap satuan yang muncul yang didasarkan pada satuan leksikal yang membentuk kalimat. 2. Teori itu harus merupakan seperangkat kaidah. 3. Teori itu harus membedakan kalimat yang secara gramatikal benar dan yangt tidak dilihat dari segi semantik. 4. Teori tersebut dapat meramalkan makna yang berhubungan dengan antonym, kontradiksi, sinonim. Dalam kaitannya dengan semiotik, Morris (1983) (dalam Levinson, 1983:1) mengemukakan tiga subbagian yang perlu dikaji, yakni : (i) Sintaksis (syntactic) yang mempelajari hubungan formal antara tanda dengan tanda yang lain (ii) Semantik (semantics), yakni studi tentang hubungan tanda dengan objek, (iii) Pragmatik (pragmatics), yakni studi tentang hubungan tanda dalam pemakaian. Manusia berkomunikasi melalui kalimat. Kalimat yang berunsurkan kata dan unsur suprasegmental dibebani unsur yang disebut makna, baik makna gramatikal maupun makna leksikal, yang semuanya harus ditafsirkan atau dimaknakan dalam pemakaian bahasa. Di antara pembicara dan pendengar pun terdapat unsur yang kadang-kadang tidak menampak dalam ujaran. Ujaran yang berbunyi, “Saya marah, Saudara!” terlalu banyak perlu dipersoalkan; misalnya, mengapa ia memarahi saya; apakah karena tidak meminjami uang lalu ia memarahi saya? Dan apakah akibat kemarahan itu? Kelihatannya tidak mudah mendeskripsikan semantik. Untunglah hal yang dideskripsikan masih berada di dalam ruang lingkup jangkauan manusia.
B. ISI/PEMBAHASAN
1. Struktur Semantik Kalimat
Menurut kaum semantik generatif, struktur semantik dan struktur sintaksis bersifat homogen, dan untuk menghubungkan kedua struktur itu cukup kaidah transformasi saja. Tidak perlu dengan bantuan kaidah sintaksis dasar, kaidah proyeksi, dan kaidah fonologi seperti yang diajarkan Chomsky. Semantik dan sistaksis sudah seharusnya diselidiki bersama-sama sekaligus karena keduanya adalah satu.
Struktur semantik itu serupa dengan struktur logika, berupa ikatan tidak berkala antara predikat (pre-) dengan seperangkat argumen (arg) dalam suatu proposisi (pro-). Struktur itu tergambar sebagai berikut :
Argumen itu adalah segala sesuatu yang dibicarakan, sedangkan predikat menghubungkan atau menunjukan hubungan semuanya. Misalnya kalimat “Nenek minum kopi”. Strukturnya adalah :
Jadi, kalimat tersebut mempunyai predikat yang berargumen dua: MINUM (nenek,kopi). Kalimat ”Nenek marah” adalah kalimat yang proposisinya mempunyai predikat yang berargumen satu. Sedang kalimat “Nenek membelikan adik baju baru” adalah kalimat yang proposisinya mempunyai predikat yang berargumen tiga.
Dari uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa dalam menganalisis makna kalimat, teori generative berusaha mengabstraksikan predikatnya dan menentukan argumen-argumennya. Dalam mengabstraksikan predikat teori ini berusaha menguraikannya sampai diperoleh predikat yang tidak dapat dianalisis lagi, yang disebut predikat inti (atomik predicate). Contoh dari Mc Cawley terhadap kata kill dalam kalimat John ‘killed Harry, yang memperoleh CAUSE [John, COME ABOUT {BE DEAD (Harry)}]. Dalam Bahasa Indonesia padanannya menjadi MEMBUNUH = MENYEBABKAN [X, MENJADI {MATI (Y)}].
Mc Cawley dalam The Role of Semantics Grammar mengingatkan suatu bahasa tidak dapat dianalisis secara cermat kalau analisis itu dilakukan terhadap kalimat-kalimat terpisah. Maka itu, kita harus (1) memperhatikan kalimat-kalimat lain baik yang mendahului maupun mengikuti dalam suatu wacana. (2) memperhatikan faktor-faktor ekstra linguistik di luar bahasa seperti siapa yang berbicara, kepada siapa, tentang apa, dan segalanya. Dalam hal ini malah beberapa tokoh generatif semantik lain menyuruh membedakan antara yang disebut “arti” dengan presuposisi. Untuk memahami beda “arti” dan presuposisi memperhatikan kalimat please, close the door. Arti kalimat itu adalah bahwa saya, si pembicara, menginginkan Anda, si pendengar, untuk mengubah posisi suatu pintu yang saya ketahui dan saya duga Anda juga tahu dari posisi terbuka ke posisi tertutup. Presuposisi kalimat tersebut adalah bahwa ada suatu pintu yang tidak berapa jauh dan yang terbuka.
Charles J. Fillmore, yang dikenal sebagai tokoh tata bahasa kasus, dalam karangannya “Case for Case” (1968) membagi kalimat atas modalitas dan proposisi. Modalitas berkenaan dengan negasi, kala, aspek, dan adverbia; sedangkan proposisi berwujud sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus.
Yang dimaksud dengan kasus (case) dalam teori ini adalah hubungan antara verba dengan nomina dalam struktur sematik.
Kalau dibandingkan dengan teori generatif semantik maka verba di sini sama dengan predikat, dan nomina sama dengan argumen. Hanya argumen di sini diberi nama kasus seperti dalam kalimat di bawah ini, argumen-1, John berkasus perilaku, argumen-2 door berkasus tujuan, dan argumen-3 key berkasus alat.
Misalnya dalam kalimat Inggris John opened the door with the key
Dalam versi 1968 Fillmore tidak membatasi jumlah kasus itu, tetapi dalam versi 1971 dibatasi hanya menjadi pelaku (agent), pengalami (experience), tujuan (object), alat (means), keadaan/tempat/waktu yang sudah (source), keadaan/tempat/waktu yang akan datang (goal), dan wujud yang dihubungkan dengan predikat (referential).
Teori kasus dan teori generatif semantik yang telah dibicarakan di atas dikembangkan oleh Wallace L. Chafe dalam bukunya Meaning and the Structure of Language (1970) dengan menyatakan bahwa dalam analisis bahasa komponen semantiklah yang merupakan pusat. Menurut Chafe struktur semantik terdiri dari dua unit semantik pokok, yaitu (1) kata kerja (KK) dan (2) kata benda (KB). Dalam struktur semantik ini KK merupakan pusat. Artinya, KK menentukan hadirnya KB dalam struktur semantik itu. Berapa banyak KB yang hadir dalam suatu struktur semantik tergantung pada jenis/tipe KK dalam struktur itu. KK keadaan hanya menghadirkan satu KB seperti dalam kalimat Ibu termenung; KK aksi monotransitif menghadirkan dua KB, seperti dalam kalimat Ibu membeli gula; sedangkan KK aksi bitransitif menghadirkan tiga KB seperti kalimat Ibu membelikan adik sepatu.
Dari contoh itu jelas tampak karena perbedaan bentuk dan arti KK membeli dan membelikan mengakibatkan perubahan arti dan struktur kalimat tersebut.
Chafe mengemukakan dilihat dari ciri-ciri semantiknya, ada lima tipe utama KK dasar (No.1-5) dan empat tipe KK dasar tambahan (No. 6-9), yaitu :
1) KK keadaan
2) KK proses
3) KK aksi
4) KK aksi-proses
5) KK ambien, yaitu KK yang berhubungan dengan cuaca
6) KK pengalaman
7) KK benafaktif
8) KK pelengkap
9) KK lokatif
Chafe tidak menggunakan istilah kasus untuk menyatakan relasi semantik antara KK dengan KB dalam suatu struktur semantik. Dia tetap menggunakan istilah KB yang menurut fungsi semantiknya bisa berlaku sebagai agent, patient, experience, benafactive, locative, compliment, dan lain-lain. Jadi KK membelikan dari contoh di atas menghadirkan sebuah KB yang berfungsi sebagai semantik agent yaitu ibu, sebuah KB yang berfungsi semantik benafactive yaitu adik, dan sebuah KB yang berfungsi semantik patient yaitu sepatu.
Di Indonesia, D. P. Tampubolon menggunakan teori Chafe ini yang digabungkan dengan teori kasus Fillmore disertai dengan sedikit modifikasi untuk meneliti tipe-tipe semantik KK Bahasa Indonesia.
Studi bahasa sampai masa transformasi awal Chomsky tidak pernah lebih dari pembicaraan kalimat. Tetapi setelah tahun 1965 banyak ahli menyadari bahwa banyak unsur dalam struktur kalimat ditentukan oleh faktor-faktor di luar bahasa seperti faktor hubungan antara pembicara dan pendengar, faktor waktu dan tempat. Struktur kalimat banyak juga ditentukan oleh unsur-unsur yang mendahului atau mengikuti kalimat tersebut di dalam suatu wacana. Salah seorang linguis yang membicarakan arti pada tingkat wacana adalah Halliday. Dalam karangannya “Notes on Transitivity and Theme in English” (1966-1968) dia mengatakan bahwa arti kalimat ditentukan oleh tiga hal, yaitu transitivity, mood dan theme. Transitivity berkaitan dengan macam-macam hubungan yang oleh Fillmore disebut kasus; mood berkenaan dengan sikap pembicara terhadap situasi yang sedang dibicarakan; sedang theme berkenaan dengan struktur informasi dari anak kalimat.
2. Penyimpangan Semantik
Untuk menunjukkan bagaimana analisis prediksi, yang diperluas dengan konsep pelekatan (embedding) dan penurunan tataran (downgrading), dapat memperluas pandangan yang dapat menjelaskan teori semantik melalui perumusan kaidah penyimpangan semantik seperti tautologi dan kontradiksi. Dalam membicarakan tipe penyimpangan semantik ini, kita harus ingat seperti sedia kala, bahwa suatu prediksi itu hanya melukiskan satu tafsiran yang mungkin ada terhadap kalimat. Jika suatu prediksi itu aneh atau tidak masuk akal, hal ini tidak harus mengandung implikasi bahwa kalimat yang menyatakan tidak dapat diberikan tafsiran yang berarti. Bahkan walaupun tidak terdapat ambiguitas yang jelas, orang mencoba dengan sungguh-sungguh di dalam komunikasi pada umumnya untuk menemukan makna yang masuk akal (misalnya makna yang ironis) untuk ungkapan yang demikian itu.
Tautologi muncul secara umum, jika informasi yang terkandung di dalam argumen dari predikasi termasuk informasi yang terkandung di dalam predikasi lainnya. Di dalam predikasi satu tempat, hal ini berarti jika argumennya adalah hiponimi dengan predikatnya.
Penyimpangan semantik disebut keganjilan (anomaliusness) sematik, muncul jika salah satu argument atau predikat dari predikasi mengandung benturan ciri-ciri bertentangan, atau mengandung dua predikasi tataran rendah yang inkonsisten :
‘Human horses feed on oats’
‘This programme is for the music-lover who hates music’
Argumen yang menjadi masalah itu tidak ada acuannya yang dapat diterima menurut kenyataan : tidak ada yang seperti itu, yaitu “kuda manusia” atau “pecinta musik yang membenci musik”. Oleh karena itu seringkali dikatakan bahwa prediksi yang demikian itu menempatkan seluruh permasalahan kebenarannya dihadapkan dengan kesalahan di luar pengadilan. Tidak masuk akal, menurut pandangan ini menyelidiki apakah “manusia kuda makan gandum” itu merupakan pernyataan yang benar atau salah. Pelanggaran pembatasan pilihan membentuk kelompok keganjilan semantik yang penting.
C. PENUTUP
Tujuan bab ini adalah untuk menunjukkan bahwa analisis predikasi adalah tambahan yang diperlukan bagi analisis komponensial yang dibeberkan di dalam bab 6, jika kita harus dapat memberikan gambaran untuk keseluruhan kalimat. Untuk menunjukkan bahwa kaidah hubungan persyaratan, inkonsistensi, tautologi, dan sebagainya dapat menilai kebenaran gambaran semantik dari sebuah kalimat, dengan memungkinkan kita mencari asalnya melalui ramalan mengenai hubungan persyaratan dan sebagainya. Akhirnya, di dalam konsep predikasi tataran rendah, dari prediksi yang bertindak sebagai ciri, analisis predikasi memperluas pandangan analisis komponensial, membuatnya menjadi sarana yang makin kuat dan luwes untuk mendeskripsikan makna kata-kata.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Leech, Geoffrey. 2003. Semantik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar