SEMANGAT DAN KEBERSAMAAN MEMBUAT KITA BELAJAR UNTUK MENGERTI DAN DIMENGERTI

Senin, 20 Februari 2012

GRADASI ISI DAN STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA (aspek menyimak) Oleh: Fahmi Riadl

BAB  I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Perkembangan belajar dan pembelajaran dewasa ini semakin pesat, seiring semakin banyaknya sumber ilmu yang baru. Khusus pembelajaran bahasa mempunyai kekhasan tersendiri karena menyangkut hal yang inti dalam mempelajari setiap ilmu formal yang didapat melalui proses menyimak suatu bahasa lisan. Hal ini menuntut pengkajian yang lebih mendalam berkenaan dengan sumber dari pembelajaran bahasa tersebut. Sebagaimana pandangan konstruktivisme, bahwa belajar merupakan suatu proses mengkonstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan mental siswa secara aktif. Selain itu, belajar juga merupakan suatu proses mengasimilasikan dan menghubungkan bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang sehingga pengetahuannya tentang objek tertentu menjadi lebih kuat.
Pentingnya mengkaji gradasi isi dan strategi pembelajaran bahasa merupakan suatu yang urgen untuk dilakukan. Hal ini menyangkut tujuan akhir bahwa berhasil tidaknya pembelajaran bahasa yang diterapkan akan berdampak pada keseluruhan pembelajaran ilmu lainnya. Oleh karena itu, perlu dikaji terlebih dahulu penatatingkatan dalam pembelajaran bahasa khususnya menyimak. Kajian ini akan mempengaruhi kelanjutan dari perkembangan pembelajaran bahasa, baik dari sisi teori, pendekatan, metode, strategi, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan proses pembelajaran bahasa itu sendiri.
Strategi dalam pembelajaran bahasa khususnya menyimak memerlukan perhatian khusus karena keterampilan ini merupakan dasar yang perlu perhatikan untuk pengembangan keterampilan-keterampilan berbahasa lainnya.

1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah:
1.     Apa saja yang perlu diperhatikan dalam gradasi isi pembelajaran bahasa?
2.     Bagaimana strategi pembelajaran bahasa dihubungkan dengan keterampilan menyimak?


BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Gradasi Pembelajaran Bahasa
Gradasi (grading tasks), yaitu penataan isi pembelajaran bahasa atau isi buku ajar bahasa sehingga tersaji secara berdaya guna. Istilah yang berdekatan dengan gradasi atau penatatingkatan adalah penataurutan (sequencing), dan penyeleksian (selecting). Perbedaannya, jika penataurutan lebih tertuju pada urutan sekuensial (sequential order) maka penatatingkatan tertuju pada tingkatan sekuensial (strongly sequential). Oleh karena itu, yang satu akan menghasilkan tatanan urutan, sedangkan yang lain menghasilkan tatanan tingkatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi sebuah gradasi sangat penting diperhatikan dalam penyusunan kurikulum agar tercipta keserasian dalam tata urutan dan tingkatan dalam sebuah pembelajaran bahasa.
Adapun faktor yang mempengaruhi adanya gradasi dalam pembelajaran bahasa adalah:

1.     Faktor Tujuan Pembelajaran
Ini merupakan faktor yang bukan saja perlu dipertimbangkan dalam gradasi isi pembelajaran (Hamied, 1987:147), melainkan faktor yang wajib diperhitungkan dalam gradasi isi pembelajaran. Hal itu berarti bahwa gradasi isi pembelajaran harus dilakukan berdasarkan tujuan pembelajaran. Bagaimanapun, penatatingkatan isi pembelajaran diabdikan bagi tercapainya tujuan pembelajaran. Pembelajaran bahasa dengan tujuan khusus oral (misal: wicara, atau menyimak), akan berbeda penatatingkatan isi pembelajarannya dengan pembelajaran bahasa dengan tujuan khusus literal (misal: membaca, atau menulis), ataupun pembelajaran dengan tujuan khusus reseptif (misal: menyimak, membaca) akan berbeda penatatingkatan isi pembelejarannya dengan tujuan khusus produktif (misal: wicara, menulis). Walaupun dimungkinkan bahwa di antara tujuan pembelajaran khusus tersebut, terjadi kesamaan tata tingkat pada beberapa isi pembelajaran.

2.     Faktor Tingkat Kecapakan
Tingkat kecakapan perlu dipertimbangkan dalam gradasi isi pembelajaran. Pembelajaran pada tingkat pemula memerlukan penatatingkatan isi pembelajaran yang berlainan dengan pembelajaran pada tingkat lanjut. Dengan kata lain, pengembangan bahan ajar bahasa harus mengetahui atau memastikan lebih dahulu untuk tingkat manakah bahan ajar itu disusun. Gradasi isi pembelajaran bahasa untuk jenjang sekolah dasar semestinya tidak sama dengan yang diperuntukkan pada jenjang sekolah lanjutan, dan atau sekolah menengah. Gradasi isi pembelajaran bahasa tingkat dasar (elementary) tentu berbeda dengan tingkat lanjut (advanced ).
3.     Faktor Alokasi Waktu
Alokasi waktu dan persebaran waktu dalam keseluruhan kurikulum juga ikut menentukan gradasi isi pembelajaran. Pertama alokasi waktu akan berpengaruh langsung pada seleksi isi pembelajaran, khususnya segi kuatitas. Pembelajaran bahasa yang dirancang untuk waktu tiga tahun dengan alokasi waktu tiga jam per minggu pasti memungkinkan pemuatan isi pembelajaran yang lebih banyak daripada yang dirancang untuk waktu dua tahun dengan alokasi waktu dua jam per minggu. Tentu saja, jumlah isi pembelajaran ini akhirnya berpengaruh pada gradasinya.
Dalam penyusunan kurikulum bahasa, perlunya gradasi mempengaruhi dalam penataurutan dan penatatingkatan dalam strategi pembelajaran bahasa. Hal ini terbukti dengan adanya pemetaan silabus untuk mengurutkan dan menatatingkatkan materi pembelajaran.

4.     Faktor Teks Materi Ajar
Menurut Nunan (1989:97-101), gradasi isi pembelajaran harus mempertimbangkan faktor masukan, yaitu yang berkaitan dengan teks sebagai isi pembelajarannya. Tentang hal ini, ada beberepa segi yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan bahan ajar bahasa. Pertama adalah kompleksitas teks. Teks yang memuat kalimat-kalimat sederhana secara umum akan lebih mudah daripada teks yang memuat kalimat-kalimat rumit. Kalimat-kalimat tunggal, misalnya, lebih mudah daripada kalimat-kalimat majemuk.. Demikianpun, teks yang mengeksplisitkan hubungan antarteks relatif lebih mudah dan daripada yang mengimplisitkan hubungan antarteks. Tuturan (1) terkategori sederhana karena mengeksplisitkan hubungan antarbagiannya dengan penggunaan konjungsi ‘karena’, sedangkan tuturan (2) karena hubungan antarteks tidak eksplisit, terkategori rumit.
(1) Murid-murid membuang-buang waktu karena guru meninggalkan ruang kelas.
(2) Guru meninggalkan ruang kelas. Murid-murid membuang-buang waktu.
Tentu saja, paragraf yang secara jelas mengungkapkan gagasan pokoknya dalam kalimat utama termasuk kategori sederhana, sedangkan paragraf yang menyembunyikan gagasan pokoknya atau tidak menyatakan gagasan pokoknya dalam kalimat utama terkategori teks rumit. Dari sini ini dapat dipahami mengapa tulisan berita, misalnya, lebih mudah dibandingkan dengan tulisan sastra karena yang satu lebih mengeksplisitkan gagasan utama, yang lain kurang – untuk tidak mengatakan tidak – mengeksplisitkan gagasan utama. Teks yang dilengkapi gambar, foto, tabel, grafik menurut Nunan (1989: 98-99) lebih mudah dipahami daripada teks yang tanpa gambar, tanpa foto, dan sebagainya.
Kedua, kompleksitas teks sebagai isi pembelajaraan dapat juga disebabkan oleh jenis teks. Teks deskripsi berbeda tingkat kesulitannya dengan teks argumentasi, narasi, ataupun eksposisi. Teks yang menyajikan opini atau pendapat dan sikap seperti halnya argumentasi lebih sulit dibandingkan teks yang sekadar menyajikan fakta dan data seperti halnya deskripsi dan eksposisi. Narasi yang menyajikan fakta dengan bumbu fiksi dengan demikian juga lebih sulit daripada eksposisi dan deskripsi. Belum lagi jika dipertimbangkan dari segi lisan (oral), dan tulis (literal), ataupun asli, dan saduran.
5.     Pembelajar
Pertimbangan penatatingkatan isi pembelajaran harus juga didasarkan pada faktor pembelajar (Nunan, 1989: 101-103). Termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan dasar (background knowlegde) atau skemata yang dimiliki pembelajar. Dapat dipahami bahwa penatatingkatan isi pembelajaran yang berdasarkan skemata yang dimiliki siswa menuju ke yang belum dimiliki siswa akan memudahkan pemahaman daripada sebaliknya. Setidak-tidaknya dapat diharapkan bahwa kesulitan pemahaman isi pembelajaran yang didasarkan pada skemata pembelajar lebih kecil dibandingkan yang tidak didasarkan pada skemata pembelajar.
Brindley dalam Nunan (1989:102-103) mengemukakan selain pengetahuan dasar atau skemata yang dimiliki pembelajar, faktor pembelajar mencakup juga kepercayaan diri (confidence), motivasi (motivation), pengalaman pembelajaran sebelumnya (prior learning experience), kepesatan pembelajaran (learning pace), kecakapan terpelajari (observed ability in language skills), kesadaran kultural (cultural knowledge/awarenes), dan pengetahuan kebahasaan (linguistic knowledge).
Faktor lain dalam gradasi isi pembelajaran bahasa adalah aktivitas pembelajaran. Menurut Nunan (1989: 104), akhir-akhir ini telah terjadi kecenderungan untuk mengontrol kesulitan (isi pembelajaran) bukan dengan penyederhanaan masukan, malainkan dengan pemvariasian kesulitan aktivitas pembelajaran. Contoh yang diajukan Nunan diambil dari Jones dan Moar Listen to Australia (1985) yang didasarkan pada cuplikan siaran radio. Pada level 1 (mudah) aktivitas berupa penyimakan pita rekaman yang menugasi siswa mencentang pada kotak di bawah gambar sesuai yang didengarnya tentang cuaca: cerah, berawan, atau hujan. Level 2 (agak sulit) aktivitas sama dengan level 1 tetapi tentang jawaban tanyaan atas kegiatan akhir pekan. Pada level 3 (lebih sulit) aktivitas berawal dengan penulisan kegiatan akhir pekan di bawah gambar yang tersedia, berlanjut dengan penyimakan pita rekaman.

2.2 Jenis Gradasi
Pengembang bahan ajar bahasa akan berhadapan dengan pilihan gradasi yang pada dasarnya antara dua jenis gradasi, yaitu (1)gradasi lurus (linear gradation), dan (2)gradasi putar (cyclic gradation). Gradasi lurus sering juga disebut sebagai gradasi suksesif (successive gradation) dan gradasi putar disebut juga sebagai gradasi spiral (spiral gradation) atau gradasi konsentris (concentric gradation) (van Els, 1984:226). Di samping itu, berdasarkan kategori kebahasaan gradari isi pembelajaran dapat juga dibedakan atas (1)gradasi gramatis (grammatical gradation), dan (2)gradasi situasional (situational gradation) (van Els, 1984: 229).
Gradasi lurus merupakan jenis penatatingkatan isi pembelajaran yang paling awal digunakan sebelum dikenal adanya gradasi putar. Gradasi ini menatatingkatkan isi pembelajaran secara lurus satu demi satu. Artinya setiap pokok pembelajaran disajikan secara detail dengan tujuan pencapaian secara tuntas atas pokok pembelajaran tersebut. Sebelum pokok pembelajaran itu dikuasai secara tuntas oleh pembelajar, pembelajaran tidak akan berlanjut ke pokok pembelajaran berikutnya. Pada gradasi lurus (penuh), penyajian secara intensif mendalam dan detail terinci perlu dilakukan karena gradasi ini menolak adanya pengulangan. Jadi setiap bagian isi pembelajaran hanya tersaji satu kali. Andaikata ada bagian yang belum terkuasai, maka pengulangan dilakukan secara sekilas dalam konteks yang sama persis.
Gradasi lurus, dengan demikian, memiliki sejumlah kelemahan. Pada tingkat permulaan kemajuan belajar akan sangat lambat karena setiap pokok pembelajaran disajikan secara mendasar. Hal itu mengakibatkan pembelajaran memerlukan waktu yang relatif banyak. Kedua hal itu dapat menimbulkan pengaruh negatif pada motivasi pembelajar, bahkan dapat terjadi kepercayaan diri pembelajar juga rendah, atau menimbulkan keraguan atas relevansi yang dipelajarinya bagi dirinya. Dalam paduan dengan gradasi gramatis, misalnya, gradasi lurus ini akan berlama-lama pada pembelajaran gramatika tertentu, dan tidak kunjung tiba pada pembelajaran komunikatifnya. Akibatnya pembelajar jenuh, bosan, dan tidak jarang patah arang.
Berbeda dengan gradasi lurus, gradasi putar menatatingkatkan isi pembelajaran dengan pengarahan pada pemahaman bertahap dengan kembali ke isi pembelajaran itu pada interval yang berbeda dalam alur pembelajaran tersebut. Dalam gradasi putar isi pembelajaran tidak disajikan dan dibahas secara mendalam seperti halnya dalam gradasi lurus, tetapi hanya aspek-aspek penting yang disajikannya. Tanpa harus menunggu penguasaan tuntas atas isi pembelajaran yang tersajikan, proses pembelajaran dapat berlanjut pada penyajian isi pembelajaran berikutnya. Pada pembelajaran yang baru itu, isi pembelajaran yang lama diulang, dan diintegrasikan.
Penatatingkatan yang demikian menurut Corder sesuai dengan hakikat struktur bahasa yang kait-mengait tak terpisahkan antara unsur yang satu dengan yang lain. Di samping itu, gradasi putar mirip dengan proses alamiah pembelajaran bahasa yang tidak berjalan secara linear tetapi secara spiral (Hamied, 1987:163). Oleh karena itu, pengembangan bahan ajar dianjurkan menggunakan gradasi putar ini.
Keunggulan gradasi putar, di samping kesesuaiannya dengan hakihat bahasa dan proses alamiah pembelajaran bahasa, adalah kemajuan pada tahap awal akan relatif cepat. Tentu saja, hal itu akan mengakibatkan pengehematan waktu, dan peningkatan motivasi pembelajar (setidak-tidaknya pengonstanan motivasi pembelajar). Keunggulan lain, gradasi ini memungkinkan pengulangan atas isi pembelajaran dalam konteks yang berbeda, di samping memeiliki keleluasaan dalam pembedaan isi pembelajaran bahasa reseptif dan produktif.
Secara tradisional, pada umumnya diasumsikan bahwa proses pembelajaran bahasa dapat dikembangkan dengan baik melalui penatatingkatan isi pembelajaran yang berdasarkan karakteristik struktural. Hal itu didasarkan pada pandangan bahwa penguasaan yang cukup tentang sistem kaidah morfo-sintaktik bahasa merupakan prasyarat untuk komunikasi yang efektif. Itulah dasar penatatingkatan isi pembelajaran dalam gradasi gramatis.
Dalam gradasi gramatis, isi pembelajaran ditatatingkatkan berdasarkan pada satu atau beberapa struktur morfologi atau sintaktik. Artinya, isi pembelajaran disajikan kepada pembelajar berdasarkan aspek gramatikal tertentu (misal: imbuhan ber-), kaidah morfo-sintaktik disajikan lebih dahulu, barulah kemudian diikuti oleh kaidah komunikatifnya.
Keberatan penggunaan gradasi ini adalah karena penekanan pada penguasaan sistem kaidah morfo-sintaktik, gradasi ini melupakan bahwa penguasaanbentuk-bentuk kebahasaan hanyalah sebagai alat. Tujuan pembelajaran bahasa untuk berkomunikasi akhirnya diabaikan. Padahal untuk komunikasi verbal diperlukan lebih dari sekadar penguasaan kaidah morfosintaktik. Keberatan lain adalah kaidah-kaidah gramatis yang disajikan miskin unsur leksikal. Akibatnya pembelajar menguasai sistem kaidah bahasa yang dipelajari, tetapi tidak mempunyai cukup kosa kata yang diperlukan dalam situasi komunikasi yang dihadapinya.
Keberatan-keberatan tersebut dapat diperingan dalam gradasi gramatis jika pengembang bahan ajar masukkan juga kaidah penggunaan bahasa. Dengan demikian pembelajaran bahasa bukan hanya terpumpun pada pengembangan kompetensi linguistik, melainkan juga terpumpun pada pengembangan kompetensi komunikatif. Selain itu, setiap penyajian fokus struktur tertentu diikuti dengan pelatihan yang berkonteks komunikatif yang realistis. Kemiskinan kosa kata dalam gradasi ini, dapat diatasi jika sejak pemilihan isi pembelajaran pengembang bahan ajar bahasa telah memasukkan juga kosa kata yang tertampi sesuai dengan struktur dan penggunaan struktur yang dirancangnya.
Pembelajar yang belajar dalam pembelajaran yang isi pembelajarannya ditatatingkatkan secara gramatis tidak mampu menerapkan kaidah yang dipelajarinya dalam situasi komunikasi yang sesungguhnya. Itulah yang mendorong munculnya gradasi situasional. Situasi tempat siswa dapat menggunakan bahasa merupakan pertimbangan penting dalam gradasi situasional. Situasi komunikasi adalah lingkungan fisik tempat bahasa itu digunakan. Oleh karena itu, dalam gradasi situasional isi pembelajaran ditatatingkatkan berdasarkan lingkungan tersebut, misal: “di sekolah”, “di wartel”, “di kantor pos”, dan sebagainya. Penatatingkatannya bergerak dari lingkungan fisik yang diakrabi ke lingkungan fisik yang kurang diakrabi tetapi di kemudian hari bakal dimasukinya.
Asumsi gradasi situasional adalah lingkungan fisik penggunaan bahasa menentukan isi pembelajaran bahasa yang akan diajarkan. Sebagaimana telah dipahami bahwa tuturan ditentukan oleh sejumlah faktor yang melatarinya, salah satunya adalah lingkungan fisik. Faktor lain adalah peranan sosial dan pskologis para pelibat pertuturan, di samping faktor tujuan yang hendak dicapai oleh penggunaan tuturan tersebut. Oleh karena itu, isi pembelajaran ditatatingkatkan berdasarkan faktor tempat, pelibat, tujuan, dan saat atau waktu pertuturan. Semua itulah yang disebut sebagai konteks pertuturan.
Keunggulan gradasi ini jelas bahwa isi pembelajaran bahasa sesuai dengan konteks penggunaan bahasa tersebut, sehingga pembelajar akan langsung dapat menerapkan atau menggunakan kecakapan yang dipelajari sesuai situasi yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena yang dipelajari berguna dalam kehidupannya. Pada gilirannya, yang demikian itu akan dapat meningkatkan motivasi pembelajar. Kelemahan gradasi situasional terletak pada penekanan yang berlebihan antara isi pembelajaran dengan lingkungan fisik tempat bahasa digunakan. Hal itu akan mengakibatkan pemaksaan isi pembelajaran yang secara kebahasaan belum tentu sesuai dengan situasi, atau sebaliknya. Akhirnya, pembelajaran yang seharusnya natural tercipta oleh gradasi situasional ini, menjadi artifisial juga.

2.3 Strategi Pembelajaran Menyimak
Strategi-strategi dibagi ke dalam tiga kategori utama, yaitu strategi metakognitif, suatu istilah yang digunakan dalam teori pemrosesan informasi untuk menunjukkan fungsi “eksekutif”, adalah strategi yang melibatkan perencanaan belajar, pemikiran tentang proses pembelajaran yang sedang berlangsung, pemantauan produksi dan pemahaman seseorang, dan evaluasi pembelajaran setelah aktivitas selesai (Purpura dalam Brown, 1997).
Strategi kognitif lebih terbatas pada tugas-tugas pembelajaran spesifik dan melibatkan pemanfaatan ang lebih langsung terhadap materi pembelajaran itu sendiri. Strategi sosioafektif atau yang disebut juga dengan strategi komunikatif, yaitu berkenaan dengan aktivitas mediasi social dan interaksi dengan yang lain (Brown, 2007)
Kegiatan menyimak haruslah dikuasai terlebih dahulu sebelum anak dapat berbicara, membaca, dan menulis. Salah satu prinsip linguistik menyatakan bahwa bahasa itu pertama-tama diperoleh melalui ujaran, yakni bunyi-bunyi bahasa yang diucapkan dan bisa didengar. Atas dasar itulah beberapa ahli pengajaran bahasa menetapkan bahwa pengajaran bahasa harus dimulai dengan mengajarkan aspek pendengaran dan pengucapan sebelum membaca dan menulis.
Setelah gradasi dilakukan sehubungan dengan tata urutan dan tata tingkatan dalam pembelajaran bahasa, maka perlu adanya strategi penyampaian materi, dalam hal ini menyimak. Agar pembelajaran menyimak memperoleh hasil yang baik, maka strategi pembelajaran yang digunakan guru harus memenuhi kriteria sebagai berikut (1) relevan dengan tujuan pembelajaran, (2) menantang dan merangsang siswa untuk belajar, (3) mengembangkan kreativitas siswa secara individual maupun kelompok, (4) memudahkan siswa memahami materi pelajaran, (5) mengarahkan aktivitas belajar siswa pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, (6) mudah diterapkan dan tidak menuntut disediakannya peralatan yang rumit, dan (7) menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan.
Berikut ini strategi sederhana yang cocok digunakan dalam pembelajaran menyimak.

1.   Simak-Ulang Ucap
Siswa harus menyimak apa yang diucapkan guru, setelah itu siswa harus mengucap ulang apa yang disimaknya. Model ucapan yang akan diperdengarkan harus diperdengarkan secara cermat oleh guru. Isi model ucapan dapat berupa fonem, kata, kalimat, ungkapan, kata-kata mutiara, peribahasa, dan puisi-puisi pendek. Model ini dapat diucapkan langsung atau direkam.
Contoh:
Guru   : menyatakan dengan ujaran “Transportasi”
Siswa  : menirukan dengan ujaran “Transportasi”



2.   Simak­-Tulis
Simak-tulis mirip dengan simak-ulang ucap. Siswa menyimak apa yang dikatakan guru atau dari rekaman, kemudian siswa harus menuliskannya. Bahan yang digunakan dalam simak-ulang ucap dapat juga digunakan dalam simak-tulis.
Contoh         :
Guru   : menyatakan dengan ujaran “Transportasi”
Siswa  : menulis kata “Transportasi”

3.   Simak-Kerjakan
      Mula-mula siswa menyimak apa yang diperdengarkan guru, kemudian siswa mengerjakan apa yang telah diperintahkan atau dikatakan dalam kegitan menyimak tadi. Model yang digunakan biasanya berupa kalimat-kalimat perintah.
      Contoh         :
      Guru   : Buatlah lingkaran besar di  kertas persegi panjang
      Siswa  : mengerjakan membuat lingkaran besar di kertas persegi panjang

4.   Simak-Terka
      Guru menyusun deskripsi suatu benda tanpa menyebutkan nama benda tersebut, kemudian deskripsi diperdengarkan kepada siswa dan siswa menyimak teks deskripsi dan harus menerkanya.
      Contoh         :
      (benda yang dipilih guru adalah bola)
Guru   : menyatakan bentukku bundar, dapat menggelinding, dapat dilempar  dan ditendang, aku berada di lapangan.
                   Siswa  : menerka “Bola”

5.   Memperluas Kalimat
      Guru menyebutkan sebuah kalimat. Siswa mengucapkan kembali kalimat tersebut. Kembali guru mengucapkan kalimat tadi kemudian guru mengucapkan kata atau kelompok kata lain dan siswa melengkapi kalimat tadi sengan kelompok kata yang disebutkan terakhir oleh guru, maka hasilnya kalimat yang diperluas.
      Contoh         :
      Guru   : menyatakan “Ayah pergi”
      Siswa  : mengucapkan kembali “Ayah pergi”
      Guru   : mengulang kata yang tadi “Ayah pergi”
      Guru   : mengucapkan kelompok kata lain “Ke kantor”
      Siswa  : melengkapi “Ayah pergi ke kantor”
                   Guru   : guru mengulang kata pertama diikuti kata kedua “Ayah pergi ke kantor”
                   Guru   : mengucapkan kelompok kata lain “tadi pagi”
Siswa  : mengulang kata pertama dan kedua dan diikuti kata terakhir yang diucapkan guru “Ayah pergi ke kantor tadi pagi”

6.   Menyelesaikan Cerita
      Kelas dibagi menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 3-4 orang kemudian guru memanggil kelompok pertama untuk maju dan diminta untuk bercerita dengan tema bebas. Setelah siswa pertama pada kelompok pertama selesai bercerita (seperempat dari cerita), maka siswa kedua dari kelompok pertama harus meneruskan cerita dari temannya tersebut begitu seterusnya hingga anggota kelompoknya selesai kebagian giliran. Siswa yang belum tiba giliran untuk bercerita tentu harus menyimak dengan baik, sebab ada kemungkinan giliran jatuh pada siswa yang tidak menyimak. Siswa harus siap meneruskan cerita.

7.   Membuat Rangkuman
      Siswa menyimak cerita atau teks nonsastra yang agak panjang setelah itu siswa diharuskan untuk membuat rangkuman dari apa yang telah disimaknya tadi. Apa yang disimak harus dirangkum sesingkat mungkin, tatapi yang singkat tersebut harus tetap menjelaskan yang panjang.

8.   Menemukan Benda
Guru mengumpulkan sejumlah benda. Benda-benda itu sebaiknya sudah dikenal oleh siswa. Benda-benda itu dimasukkan ke dalam sebuah kotak terbuka. Kemudian guru menyebutkan nama sesuatu benda. Siswa mencari benda yang diucapkan guru. Bila sudah ditemukan, diperlihatkan kepada teman-temannya.
Contoh:
Guru     : “Andi ke sekolah membawa: buku, pensil warna hijau, kuning, dan merah, penghapus, penggaris, pensil, dan bolpoin hitam”.
Siswa    : (mengambil semua yang disebutkan guru)
Dalam pembelajaran menyimak, menurut penulis, hal yang seharusnya dilakukan adalah memunculkan keterlibatan dimensi visual. Hal ini penting karena memperhatikan bahwa dalam realitas komunikasi selalu menghadirkan interaksi antara stimulus dan respon yang terlihat, bukan hanya didengar. Selama ini, pembelajaran menyimak hanya mengandalkan satu dimensi audio saja, padahal dalam kehidupan berkomunikasi semua aspek dalam penyertaan alat komunikasi mutlak terlibat. Maka dari itu, kemunculan dimensi visual sangat penting dalam keterampilan berbahasa, khususnya keterampilan menyimak.
Ketika sebuah komunikasi diujarkan, maka antara lawan bicara dan penuturnya seharusnya terlibat dalam komunikasi yang nyata (terlihat). Sehingga kesalahan dalam sebuah pemahaman makna tidak terjadi atau kecil kemungkinan salah makna. Antara lawan bicara dan stimulusnya bisa mengartikan bahasa-bahasa lain (bahasa tubuh; gerak-gerik dan ekspresi) ketika ujaran itu disampaikan. Dari kondisi itu, maka perlu dirumuskan sebuah strategi baru dalam pembelajaran menyimak, yaitu Simak-Lihat.

9.   Simak-Lihat
Guru menyediakan video percakapan atau melibatkan siswa dalam sebuah percakapan rill di kelas. Kemudian siswa menyimak percakapan tersebut dengan memperhatikan gaya bicara, bahasa tubuh, dan ekspresi, sehingga dapat diperolah sebuah pemahaman yang tepat sesuai dengan kondisi dimana ujaran itu diucapkan.


BAB III
PENUTUP


Dalam penyusunan bahan pembelajaran bahasa, perlu adalah proses gradasi sebagai bagian pengembangan bahan ajar yang sangat berpengaruh dalam proses maupun hasil pembelajaran bahasa. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam penggradasian tersebut, yaitu; tujuan pembelajaran, tingkat kecakapan, alokasi waktu, teks materi ajar, dan pembelajar. Semua faktor tersebut sangat berperan dalam menataurutkan atau menatatingkatkan sebuah kurikulum pembelajaran, khususnya bahasa. Salah satu bentuk dari gradasi isi pembelajaran bahasa adalah munculnya istilah pemetaan kurikulum yang dilakukan oleh para pelaku pembelajaran; penyusun kurikulum, pihak sekolah, penyusun buku pelajaran, dan guru bahasa sebagai pelaku utama dalam proses PBM.
Strategi pembelajaran yang digunakan guru harus memenuhi kriteria sebagai berikut (1) relevan dengan tujuan pembelajaran, (2) menantang dan merangsang siswa untuk belajar, (3) mengembangkan kreativitas siswa secara individual maupun kelompok, (4) memudahkan siswa memahami materi pelajaran, (5) mengarahkan aktivitas belajar siswa pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, (6) mudah diterapkan dan tidak menuntut disediakannya peralatan yang rumit, dan (7) menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan.
Strategi sederhana yang cocok digunakan dalam pembelajaran menyimak, yaitu: Simak-Ulang Ucap, Simak-Tulis, Simak-Kerjakan, Simak-Terka, Simak-Lihat, Memperluas Kalimat, Menyelesaikan Cerita, Membuat Rangkuman, dan Menemukan Benda.


DAFTAR PUSTAKA



Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, Edisi Kelima. Jakarta: Pearson Education, Inc.
Hamied, Fuad Abdul. 1987. Proses Belajar Mengajar Bahasa. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.
Nunan, David. 1989. Designing Tasks for the Communicative Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menyimak: Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Van Els, Theo etc.. 1984. Applied Linguyistics and the Learning and Teaching of Foreign Languages. Victoria: Edward Arnold.
Yohanes, Budinuryanta. 2004. Gradasi Isi Pembelajaran Bahasa; Makalah Disajikan dalam Mimbar Ilmuah Jurusan dalam rangka Bulan Bahasa 2004. http://bentarabahasa.blogspot.com/2008/01/gradasi-isi-pembelajaran-bahasa.html. Diunduh tanggal 17 Februari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar