SEMANGAT DAN KEBERSAMAAN MEMBUAT KITA BELAJAR UNTUK MENGERTI DAN DIMENGERTI

Rabu, 08 Februari 2012

ALIRAN FEMINISME

I. PENDAHULUAN

     Terbukanya keran demokrasi dan kebebasan berbicara telah membuka suara-suara dan ide-ide yang selama ini cendrung bungkam karena ditekan oleh tindakan represif penguasa. Sekarang, setiap orang bebas mengekspresikan kehendaknya tanpa takut lagi akan dihukum, diberendel, dan diberangus oleh pihak-pihak tertentu yang merupakan perpanjangan tangan penguasa.
     Begitupun  ketika di berbagai belahan dunia terjadi arus gelombang perlawanan, khususnya ketika terjadi pemberontakan terhadap sistem patriarki yang dipelopori kaum feminis ramai dibicarakan. Tidak mengherankan sejak masa
kelahirannya hingga kini, pembicaraan mengenai wacana perempuan seolah tidak
pernah habis digali. Dalam berbagai wilayah kehidupan baik sosial, politik, ekonomi, agama, maupun budaya, posisi perempuan selalu dan masih saja dimarjinalkan dibawah dominasi superioritas kaum laki-laki. Kondisi yang telah mapan inilah yang hendak diubah oleh para aktivis perempuan yang merasa peduli dengan nasib kaum sesamanya yang pada akhirnya memunculkan gerakan feminisme.
     Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Terdapatnya komentar miring dari kaum lelaki terhadap buku tersebut semakin menguatkan kesimpulan bahwa perempuan adalah sebuah produk dari budaya yang mementingkan nilai-nilai lelaki dan tentunya sastra ikut membentuk dan merespon nilai-nilai patriarki melalui representasi perempuan untuk kepentingan budaya laki-laki dan mengesampingkan pengalaman perempuan. Virginia Woolf telah mengilhami para feminis agar menggunakan sastra sebagai medium perlawanan terhadap budaya patriarki, sehingga terbukalah kran bagi sastra bergenre feminisme.
 Pada makalah ini, penulis ingin menelaah tentang feminisme dan penerapannya dalam film yang diambil dari novel Perempuan Belkalung Sorban karya Abidah Al-Khalieqy.

II. ISI

A. Sejarah Aliran Feminisme
     Gerakan feminis dimulai sejak akhir abad ke- 18, namun diakhiri abad ke-20, suara wanita di bidang hukum, khususnya teori hukum, muncul dan berarti. Hukum feminis yang dilandasi sosiologi feminis, filsafat feminis dan sejarah feminis merupakan perluasan perhatian wanita dikemudian hari. Di akhir abad 20, gerakan feminis banyak dipandang sebagai sempalan gerakan Critical Legal Studies, yang pada intinya banyak memberikan kritik terhadap logika hukum yang selama ini digunakan, sifat manipulatif dan ketergantungan hukum terhadap politik, ekonomi, peranan hukum dalam membentuk pola hubungan sosial, dan pembentukan hierarki oleh ketentuan hukum secara tidak mendasar.
     Walaupun pendapat feminis bersifat pliralistik, namun satu hal yang menyatukan mereka adalah keyakinan mereka bahwa masyarakat dan tatanan hukum bersifat patriacal. Aturan hukum yang dikatakan netral dan objektif sering kali hanya merupakan kedok terhadap pertimbangan politis dan sosial yang dikemudikan oleh idiologi pembuat keputusan, dan idiologi tersebut tidak untuk kepentingan wanita. Sifat patriacal dalam masyarakat dan ketentuan hukum merupakan penyebab ketidakadilan, dominasi dan subordinasi terhadap wanita, sehingga sebagai konsekuensinya adalah tuntutan terhadap kesederajatan gender. Kesederajatan gender tidak akan dapat tercapai dalam struktur institusional ideologis yang saat ini berlaku.
     Feminis menitikberatkan perhatian pada analisis peranan hukum terhadap bertahannya hegemoni patriarchal. Segala analisis dan teori yang kemudian dikemukakan oleh feminis diharapkan dapat secara nyata diberlakukan, karena segala upaya feminis bukan hanya untuk menghiasi lembaran sejarah perkembangan manusia, namun lebih kepada upaya (manusia) untuk bertahan hidup. Timbulnya gerakan feminis merupakan gambaran bahwa ketentuan yang abstrak tidak dapat menyelesaikan ketidaksetaraan.

Hal-hal yang berperan mengakibatkan subordinasi terhadap wanita, yaitu:
1.      Klasifikasi yang didasarkan pada gender
2.      Pilihan-pilihan politik yang diberikan
3.      Pengaturan-pengaturan  institusional yang tersedia.
Menurut Deborah L. Rhode, ada tiga komitmen sentral feminis, yaitu:
1.      Tingkat politis, mengupayakan kesederajatan antara pria dan wanita.
2.      Tingkat substantive, mengangkat isu gender sebagai focus analisis dengan untuk merumuskan kembali praktek hukum yang selama ini mengesampingkan, tidak menghargai dan meremehkan kepentingan wanita.
3.      Tingkat metodologis, mempersiapkan kerangka kerja dunia yang menggunakan pengalaman (wanita) yang ada guna mengidentifikasi transformasi sosial yang mendasar bagi tercapainya kesedarajatan gender sepenuhnya. Nilai-nilai yang secara tradisional berkaitan erat dengan wanita dihargai, dan setiap strategi perubahan struktur sosial yang akan dilakukan tidak sekedar memadukan wanita kedalam struktur yang telah dibentuk menurut pandangan pria.

B. Tokoh-Tokoh dan Tuntutan Kaum Feminis
     Sejak berkobarnya faham feminis di Barat, faham itu berkobar pula dalam kritik sastra. Oleh Humm (1986) disebutkan beberapa tokoh sebagai pelopornya antara lain:
1.      Simone de Beauvoir
Seorang pelopor faham feminis sesudah perang. Pandangannya bermula dari fakta dan gambaran mitos psikologi, sejarah, dan biologi. Mitos buatan manusia ini menempatkan perempuan sebagai objek pasif dan diciptakan berbeda dengan laki-laki. Beauvoir menganggap secara implicit, bahwa kaum perempuan tidak pernah dapat dengan tepat digambarkan oleh para penulis laki-laki, gambaran perempuan ditentukan sebagaimana mitos yang mereka ciptakan.
2.      Betty Friedan
Menurutnya perempuan merupakan kaum yang pasif atas bentuk kebudayaan yang tetap sebagaimana anggapan feminitas oleh kaum patriarkhat. Friedan menggunakan faham kritik dalam menganalisis kebudayaan.
3.      Germaine Greer
Ada kesamaan antara Greer dengan Friedan, keduanya menolak untuk membedakan gambaran, tetapi menyatukannya saja dalam pendekatan yang tidak berkelas. Greer memperkirakan bahwa ada bentrokan dalam faham feminis, ramalan emansipasi perempuan akan selalu menjadi teoretis, mudah dibaca dan pragmatis.
4.      Kathe Millet
Membuat kritik yang berfokus pada ideology. Ia menganggap bahwa kesusastraan merupakan dokumen dari kesadaran kolektif kaum patriarkhat. Alasan Millet berpangkal pada anggapan bahwa kekuatan laki-laki berada di atas perempuan sehingga menjadi bagian yang fundamental dari masyarakat yang berkelas. Dengan perbedaab seksual, dapat ditafsirkan bagaimana sastra memuat dan menciptakan ideology perbedaan jenis kelamin.Sugihastuti, (2002:12-13)

Para pelopor ini telah mengawali pandangannya untuk mengubah nilai sastra dan bentuk nilai perempuan yang sudah pernah ditangkap dengan membuka faham feminis bagi kritik sastra feminis dalm prespektif yang baru.
     Dalam konvensi di Seneca Falls, para feminis menggalang dukungan bagi tuntutan mereka agar wanita diberi hak yang sama. Dipimpin oleh para pelopor gerakan itu, yaitu Elizabeth Cady Stanton, Lucretia Mott, dan Susan B. Anthony.
Tuntutan kaum feminis Amerika ini mencakup bidang:
1.      Hukum
Tuntutan dalam bidang ini meliputi hak-hak dalam perkawinan
2.      Ekonomi
Tuntutan kaum feminis antara lain meliputi hak atas harta, di mana sebelumnya pembagian harta bagi kaum perempuan tidak adil bagi kaum perempuan. Bahkan sebagian lapangan pekerjaan tertutup bagi para perempuan.
3.      Sosial
Tradisi wanita sebagai pengurus rumah tangga, tidak diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi, memangku jabatan-jabatan tertentu.
4.      Politik
Memperoleh hak memilih dan dipilih menjadi prioritas utama tuntutan kaum feminis karena biasaya dunia politik adalah dunia laki-laki.

C. Ragam Kritik Seni Feminis
     Kritik sastra feminis lahir dan berkembang sejalan dengan perkembangan gerakan feminisme. Dengan lahirnya gerakan feminisme ini, masyarakat mulai terbuka dengan kata seksisme (Sugihastuti, 2000: 82).
Adapun ragam kritik seni feminis menurut Djajanegara (2000; 28-37) antara lain:
1.      Kritik Ragam Ideologis
Kritik ideologis melibatkan wanita, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan sama sekali dalm kritik sastra.
2.      Kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita
Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra wanita, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan wanita, kreativitas penulis wanita, perkembangan dan peraturan tradisi penulis wanita.
3.      Kritik sastra feminis-sosialis atau kritik sastra marxis
Dalam ragam ini meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis yaitu kelas-kelas masyarakat. Kritik sastra ini mencoba menunjukkan bahwa tokoh-tokoh wanita dalam karya-karya sastra lama adalah manusia-manusia yang tertindas, yang tenaganya dimanfaatkan unttuk kepentingan kaum laki-laki tanpa menerima bayaran.
4.      Kritik seni feminis psikoanalitik
Kritik sastra ini diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada si tokoh wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptaanya.
5.      Kritik seni lesbian
Kritik feminis-lesbian hanya meneliti penulis dan tokoh wanita saja. Ragam kritik ini masih sanggat terbatas kajiannya. Tujuan kritik sastra lesbian adalah pertama-tama mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian. Kemudian pengkritik sastra lesbian akan menentukan apakah definisi ini dapat diterapkan pada diri penulis atau pada teks karyanya.
6.      Kritik seni feminis-ras atau kritik seni feminis-etnik
Kaum feminis etnik di Amerika menganggap dirinya berbeda dari kaum feminis kulit putih. Mereka mengalami diskriminasi seksual dari kaum laki-laki kulit putih dan kulit hitam dan diskriminasi rasial dari golongan mayoritas kulit putih, baik laki-laki maupun perempuan. Pengkritik sastra ini ingin membuktikan keberadaan sekelompok penulis feminis-etnik beserta karya-karyanya. Dia berusaha untuk mendapatkan pengakuan bagi para penulis wanita etnik dan karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam karya tradisional dan sastra feminis.
     Menjadi laki-laki atau perempuan adalah takdir yang tidak bisa dibantah dan diingkari oleh seseorang. Jenis kelamin adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Oleh karena itu, hal ini bersifat alami, kodrati dan tidak bisa berubah. Sedangkan penilaian terhadap kenyataan sebagai laki-laki atau perempuan oleh masyarakat dengan sosial dan budayanya dinamakan dengan gender ( Ilyas, Yunahar; 12-13 ).            
     Agger (2003: 215-230) mengategorikan tipologi feminisme dalam empat jenis, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal atau kultural, feminisme sosialis, dan feminisme Africana.
1.      Feminisme liberal merupakan jenis gerakan feminisme yang mencoba memperkuat kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Asumsi dasar feminisme liberal berdasarkan pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality). Tujuan feminis liberal memperjuangkan persoalan masyarakat, yaitu menuntut kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kaum perempuan. Tidak boleh ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Menurut pandangan kaum feminisme liberal, keterbelakangan kaum perempuan dikarenakan kaum ini tidak turut berpartisipasi dalam pembangunan selain sikap yang juga masih berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional. Perlu diperhatikan bahwa penganut feminisme liberal memandang bahwa pernikahan dan membentuk keluarga merupakan hal yang alami dan wajar. Mereka tidak membenci keluarga sebagaimana kaum feminis radikal. Homoseksualitas juga diyakini sebagi bentuk perilaku yang menyimpang dan tidak alami.
2.      Adapun jenis yang kedua adalah feminisme radikal. Feminisme ini berpandangan bahwa segala penindasan yang terjadi dikarenakan diskriminasi yang dilakukan oleh sistem patriarki. Masa feminisme ini mucul sekitar akhir 1960-an dan awal 1970-an. Bagi penganut feminisme radikal ideologi patriarki adalah dasar dari ideologi penindasan. Oleh sebab itu mereka mengkritik keluarga heteroseksis (perempuan berpasangan dengan laki-laki) yang dituding telah menyumbangkan penindasan bagi perempuan. Mereka menganggap bahwa perempuan akan terjebak dengan tanggung jawab dan kewajiban perempuan jika turut dalam heteroseksis tersebut. Hal ini sekaligus mengupayakan wacana homoseksual sehingga pada masa ini dikenal adanya orientasi seksual dengan yang sejenis (lesbian).
3.      Jenis feminisme yang selanjutnya disebut dengan feminisme sosialis. Feminisme jenis ini berpendapat bahwa perempuan tidak akan dapat meraih keadilan sosial tanpa membubarkan patriarki dan kapitalisme. Feminisme sosialis menekankan aspek jender dan ekonomis dalam penindasan atas kaum perempuan. Menurut mereka, selama ini kaum perempuan dianggap menampilkan pelayanan berharga bagi kapitalisme baik sebagai pekerja maupun istri yang tidak menerima upah atas biaya pekerjaan domestik mereka. Feminisme sosialis menggugat sistem kapitalisme yang mengambil keuntungan dengan menyuruh istri mereka untuk mengasuh anak serta melakukan berbagai pekerjaan rumah. Selain itu, dunia pekerjaan dalam masyarakat telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lebih rendah dan tentunya dengan upah yang rendah pula.
4.      Jenis feminisme yang keempat disebut dengan feminisme Africana atau Black Feminism. Aliran ini muncul dikarenakan ketidakpercayaan pada aliran-aliran feminisme lain. Para feminis kulit hitam keturunan Afrika di Amerika Serikat berpendapat bahwa masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan kulit hitam jauh lebih sulit jika dibandingkan persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan kulit putih. Oleh karena itu mereka mengharapkan adanya perbaikan keadaan diri dari konsep baru dalam feminisme yang menyentuh kehidupan kelam para perempuan kulit hitam. 
D. Teori Kritik Sastra Feminis
     Kritik sastra feminisme merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Menurut Djajanegara (2000: 27), kritik sastra feminis berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita pada masa silam dan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan.
     Di dalam makalah ini digunakan kritik sastra feminis ideologis karena kritik sastra feminis ini melibatkan wanita dalam kisahnya. Kritik sastra feminis dalam penelitian ini digunakan untuk membahas tentang wanita berdasarkan stereotype wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra. Pada dasarnya ragam kritik sastra feminis ini merupakan cara menafsirkan suatu teks, yaitu satu di antara banyak cara yang dapat diterapkan untuk teks yang paling rumit sekali pun. Cara ini bukan saja memperkaya wawasan para pembaca wanita, tetapi juga membebaskan cara berpikir mereka (Djajanegara, 2000: 28). Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara.
     Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Berkaitan dengan itu, maka muncullah istilah equal right’s movement atau gerakan persamaan hak. Cara ini adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga (Djajanegara, 2000: 4).
     Langkah-langkah untuk mengkaji sebuah karya sastra dengan menggunakan pendekatan feminisme, antara lain.
1.      mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh utama, dan mencari kedudukan tokoh-tokoh itu di dalam masyarakat;
2.      meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang sedang kita amati;
3.      mengamati sikap penulis karya yang sedang kita kaji (Djajanegara, 2000: 53).

     Kritik sastra feminis memusatkan analisis dan perhatiannya pada wanita seperti yang terlukis dalam budaya pria. Teks dibaca sebagai hasil budaya dari sistem patriakal. Para pelopor melihat bahwa sesungguhnya peran dan status wanita itu ditentukan oleh jenis kelamin, itulah sebabnya, dalam konteks politik seksual, perlu dipertimbangkan hubungan antara teks karya dengan jenis kelamin penulisnya (Sugihastuti, 2000: 206).
     Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kritik sastra feminis merupakan kritik sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia.

E. Penerapan Kritik Feminis dalam Film Perempuan Berkalung Sorban yang di ambil dari Novel Karya Abidah Al-Khalieqy
     Perempuan Berkalung Sorban, sebuah film besutan Hanung Bramantyo, menuai kontroversi dan protes dari berbagai elemen Islam. Setelah melakukan pengkajian dengan mengutus empat orang dari MUI untuk menonton film yang dirilis 15 Januari 2009 ini, dalam sebuah acara diskusi di sebuah televisi swasta, Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. KH Ali Mustafa Ya’kub MA dengan tegas menyatakan bahwa film ini sangat menghina Islam, melecehkan pesantren serta kyai. Sepanjang film itu diputar, banyak sekali pernyataan dan adegan yang tidak patut didengar dan dilihat oleh orang awam, sebab akan menimbulkan kesalahpahaman terhadap Islam; bahwa Islam tidak adil terhadap perempuan, seperti yang diucapkan Annisa (diperankan oleh Revalina S. Temat) dalam film produksi Starvision ini.
     Semua ini berawal dari sebuah novel yang ditulis oleh Abidah Al-Khalieqy dengan judul yang sama dengan filmnya. Novel yang pertama kali dirilis pada tahun 2001 ini sejak semula memang ditulis sebagai media alternatif pemberdayaan perempuan, sosialisasi isu jender, dan hak-hak reproduksi di kalangan pesantren. Penerbitannya disokong oleh dua lembaga yang sangat concern dalam mengusung ide-ide liberalisme, yakni Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) dan Ford Foundation, sebuah LSM asing yang banyak memberikan donasi kepada kelompok liberal di Indonesia, terutama kelompok yang mengusung isu HAM, jender, liberalisasi pemikiran, dan Sepilis (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme)Dengan demikian,  Perempuan Berkalung Sorban (PBS) merupakan novel pesanan. Hal ini diakui oleh Abidah saat diwawancarai oleh majalah Al-Mujtama’.  Simak pernyataan Abidah.
     Kendati demikian, terlepas dari  otoritas penulis; sebagai novel pesanan, kandungan novel pesanan tentu harus sesuai dengan tujuan, visi, serta misi pihak yang memesan. Dengan demikian, maka novel Perempuan Berkalung Sorban  adalah novel berbingkai feminisme. Perspektif feminisme lebih mengarahkan pandangannya pada karya-karya sastra yang ditulis perempuan, dan sekaligus juga menampilkan  tokoh perempuan dengan berbagai masalahnya. Perspektif  dimaksud tidak semata-mata memandang novel dari kacamata estetika, tapi juga memfokuskan kajian pada makna dan hubungannya dengan realitas sosial dan budaya.
     Melalui tokoh Annisa,  Abidah berusaha melakukan pemberontakan terhadap ayat-ayat atau hadits-hadits yang dianggap misoginis atau membenci perempuan. Pemilihan karakter tokoh utama yang memiliki kepribadian kuat, cerdas, serta kritis, ditambah anak seorang kyai, dianggap mampu mewakili perjuangan seorang muslimah dalam  menegakkan emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi dan diskriminasi tokoh-tokoh antagonis yang bersifat patriarkis.
     Tokoh-tokoh dan masalah-masalah  yang dimunculkan dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban menunjukkan adanya ketidaksetaraan jender dan ketidakadilan jender. Pada dasarnya, novel tersebut menceritakan perjalanan hidup Nisa sebagai tokoh utama yang menemui beberapa masalah dalam hubungannya dengan tokoh-tokoh yaitu Samsudin, Khudori, Kalsum, dan Rizal. Ketidakadilan jender yang terkandung dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban terkait dengan cara pandang terhadap peran laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan ditunjukkan oleh keberadaan tokoh-tokoh yang mengalami berbagai peristiwa yang terkait dengan masalah ketidaksetaraan jender dan ketidakadilan.
     Pengarang Novel Perempuan Berkalung Sorban adalah seorang perempuan yang bernama Abidah El Khalieqy. Abidah El Khalieqy merupakan sastrawan Indonesia yang jeli dalam mengamati fenomena-fenomena sosial budaya. Kehidupan masyarakat yang kompleks dan rumit ia tuangkan dalam tulisan dengan menggunakan bahasa sederhana yang terkadang masih lekat dengan Jawa. Ia juga mampu menggambarkan kehidupan wanita dengan ketidakkesetaraanya terhadap laki-laki.

Hasil Analisis Novel Perempuan Berkalung Sorban
Dengan pendekatan feminis diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Masalah-masalah dominasi patriarki yang menimpa tokoh utama dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (a) masalah-masalah dominasi patriarki yang dialami tokoh utama semasa masih kanak-kanak dan (b) masalah-masalah dominasi patriarki yang dialamitokoh utama semasa dewasa;
2.      Bentuk-bentuk kesadaran jender merupakan suatu proses dari tokoh utama dalam mencari solusi terhadap berbagai macam masalah dominasi patriarki yang menimpanya. Bentuk-bentuk kesadaran jender yang diusahakan tokoh utama ada berbagai macam sesuai dengan masalah-masalah dominasi patriarki; dan
3.      Bentuk-bentuk perjuangan tokoh utama dibagi dalam tiga tahap: (a) Annisa tetap meneruskan sekolah sebagai tahap pematangan kesadaran; (b) perceraian dengan Samsudin yang menandai pelepasan diri dari dominasi patriarki;dan (c) menikah kembali dengan Khudhori yang merupakan tahap terakhir perjuangan Annisa.

III. PENUTUP

Kesimpulan
     Dalam pengertian yang paling luas, feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarjinalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial lainnya.
     Dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminisme dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan gender.
      Tujuan aliran feminisme adalah memperjuangkan hak-hak dari kaum wanita agar mendapat hak yang sama tanpa adanya diskriminasi. Karena sejarah telah membuktikan bahwasanya hak-hak kaum wanita sering di kesampingkan dalam segala hal baik keluarga maupun hukum, kemudian negara kurang melindungi hak-hak kaum wanita dengan aturan hukum yang ada padahal hak-hak kaum wanita rentan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang sering merugikan kaum wanita. Karena secara esensinya wanita makluk yang lemah dibandingkan dengan pria.      
     Dalam ranah sastra, genre feminis muncul sebagai reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti Kritik Baru dan Strukturalisme. Feminisme sebagai bagian dari Poststrukturalisme memiliki beberapa ciri khas, salah satunya adalah ketidakmantapan teks. Makna karya ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh teks, bukan apa yang dimaksudkan, sehingga terjadi pergeseran dari estetika produksi ke estetika konsumsi, penerima menjadi pencipta. Makna teks tergantung pada konteks, interaksi pada pembaca, teks bersifat terbuka sebab secara terus-menerus berinteraksi ke luar dirinya. Genre ini kemudian dipilih oleh Abidah Al-Khalieqy dalam novel Perempuan Berkalung Sorban untuk menjadikan perempuan sebagai ‘subjek’ (pencipta), bukan sekadar penerima. Namun dalam konteks ini, konsep perempuan menjadi ‘pencipta’  menimbulkan masalah krusial saat mengalami perbenturan yang hebat dengan Islam sebagai sebuah peradaban dan jalan hidup. Islam memiliki worldview tersendiri dalam memandang hidup dan kehidupan. Islamic Worldview ini akan menentukan cara berpikir dan bertindak seseorang ketika menjumpai realitas.

1 komentar:

  1. maaf mengganggu, kalau boleh tau, daftar pustaka yang dikutif Djajanegara, bukunya dapat dari mana ya? soalnya aku cari kemana-mana bukunya tidak ada. mohon dibales ya, makasih

    BalasHapus