SEMANGAT DAN KEBERSAMAAN MEMBUAT KITA BELAJAR UNTUK MENGERTI DAN DIMENGERTI

Selasa, 17 Januari 2012


PENDAHULUAN
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain. Selain itu, pembelajaran bahasa juga membantu peserta didik mampu mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat, dan bahkan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Bahasa Indonesia merupakan alat untuk berkomunikasi secara lisan dan tulis. Berkomunikasi adalah memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran, perasaan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya. Kemampuan berkomunikasi dalam pengertian yang utuh adalah kemampuan berwacana, yakni kemampuan memahami dan/atau menghasilkan teks lisan dan/atau tulis yang direalisasikan dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Keempat keterampilan inilah yang digunakan untuk menanggapi atau menciptakan wacana dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, mata pelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut agar lulusan mampu berkomunikasi dan berwacana dalam bahasa Indonesia pada tingkat literasi tertentu.














ISI/PEMBAHASAN
A.     KOMPETENSI STRATEGI

Pembelajaran bahasa dari waktu ke waktu mengalami perkembangan, baik dalam aspek teknik, strategi, metode, pendekatan, dan teori. Pelembagaan perkembangan tersebut bermuara dalam kurikulum bahasa dengan berbagai pendekatan di dalamnya. Setiap perubahan kurikulum mengindikasikan berubahnya orientasi dan fokus pembelajaran bahasa. Sebagai bagian dari linguistik terapan, pembelajaran bahasa bersandar pada teori-teori linguistik. teori pendidikan, dan teori-teori lain yang relevan. Pembelajaran bahasa disekolah secara umum bertujuan agar siswa memiliki kompetensi berkomunikasi secara lisan dan tertulis secara benar sesuai dengan  kompetensi berkomunikasi secara lisan dan tertulis secara benar sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan hidup sehari-hari. Kompetensi ini diwujudkan dalam keterampiln menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Secara umum strategi dapat diartikan sebagai suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan belajar mengajar, strategi juga bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru dan anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.
Kompetensi strategis, sebuah konsep yang luar biasa kompleks. Canale dan Swain (1980, h. 30) menggambarkan kompetensi strategis sebagai “strategi komunikasi verbal dan nonverbal yang bisa dipakai untuk mengimbangi kemacetan dalam komunikasi karena variabel-variabel performa atau karena kompetensi yang tidak memadai”. Savignon (1983, h. 40) memodifikasi deskripsi itu menjadi “strategi-strategi yang digunakan seseorang untuk mengimbangi pengetahuan tidak sempurna tentang kaidah atau faktor-faktor yang membatasi penggunaan strategi-strategi itu seperi keletihan, kelalaian, atau tidak memperhatikan”. Pendeknya, kompetensi inilah yang mendasari kemampuan kita untuk melakukan perbaikan, mengatasi kekurangan pengetahuan, dan menopang komunikasi dengan “penyederhanaan, penyampaian tidak langsung, pengulangan, keraguan, penghindaran, dan terkaan, maupun pergeseran register dan gaya”. (h. 40-41)
Kompetensi strategis menduduki sebuah tempat khusus dalam pemahaman komunikasi. Sesungguhnya, definisi kompetensi strategis yang terbatas pada pengertian “strategi-strategi kompensasi” tidak mampu merangkum spektrum utuh konsep itu. Dalam sebuah upaya menindaklanjuti artikel sebelumnya (Canale & Swain, 1980), Swain (1984, h. 189) memperbaiki pengertian kompetensi strategis sebelumnya menjadi “strategi-strategi komunikasi yang bisa digunakan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi maupun mengimbangi kemacetan.” Yule dan Tarone (1990, h. 181) juga menyebut kompetensi strategis sebagai “kemampuan memilih sebuah sarana efektif untuk menampilkan sebuah aksi komunikasi yang memungkinkan pendengar/pembaca mengenali rujukan yang dimaksud.” Maka semua strategi komunikasi seperti yang dibicarakan bisa dipandang muncul dari kompetensi strategis seseorang. Bahkan, kompetensi strategis adalah cara kita memanipulasi bahasa untuk memenuhi tujuan-tujuan komunikatif tertentu. Seorang pembicara yang mumpuni mempunyai dan menggunakan sebuah kompetensi strategis yang canggih.
Penulis melihat bahwasanya kompetensi strategis sangat mempengaruhi daripada metode komunikatif. Kompetensi strategis adalah kemampuan menguasai strategi komunikasi verbal dan non-verbal, untuk keperluan :
a.      Mengatasi kemacetan komunikasi yang terjadi karena kondisi tertentu, misalnya keterbatasan kosakata atau gramatika
b.      Meningkatkan efektivitas komunikasi
Strategi para frase, misalnya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan mengenai keterbatasan kosa kata. Strategi memperlambat atau memperlunak ujaran bisa digunakan untuk memberikan efek retoris.  

B.     KOMPETENSI KOMUNIKATIF
Konsep mengenai kompetensi komunikatif pertama kali diperkenalkan oleh Hymes di pertengahan tahun 1960. Hymes tertarik pada tingkat kompetensi yang diperlukan penutur agar mereka mendapat keanggotaan dari komunitas ujaran tertentu. Dia meneliti mengenai faktor-faktor apa saja, terutama faktor sosio-budaya yang diperlukan selain kompetensi gramatikal oleh penutur yang terlibat di dalam interaksi bermakna. Hymes menunjukkan bagaimana variasi bahasa berkorelasi dengan norma-norma sosial dan budaya dari interaksi publik tertentu, dari peristiwa ujaran (speech event). Namun dia tidak melihat pada cara-cara spesifik dimana interaksi terjadi.
Barulah Schegloff (1982) yang meneliti percakapan sebagai suatu 'ongoing accomplishment'. Ternyata percakapan menunjukkan secara sistematis diorganisir para penutur dan organisasi ini bersifat mendasar untuk menjelaskan bagaimana interaksi dilakukan.
Gumperz (1984) meninjau kembali pendapat mengenai kompetensi komunikatif dan menyarankan bahwa kompetensi tersebut tidak didefinisikan dalam hubungannya dengan aturan yang harus dipakai oleh para penutur, seperti yang dilakukan oleh ahli sosiolinguistik yang lain. Menurut Gumperz kompetensi komunikatif berkaitan dengan hal menciptakan kondisi yang memungkinkan interpretasi yang dipahami bersama (shared).
Canale (1983) di dalam perspektif pedagogis dari kompetensi komunikatif mengakui bahwa kita tahu hanya sedikit tentang aspek-aspek yang berbeda dari kompetensi berinteraksi. Namun, Canale dan Swain (1980) serta Canale (1983) dalam Ellis (1987) mengusulkan kerangka kerja bagi kompetensi komunikatif yang dapat menolong di dalam mengkategorikan penggunaan bahasa Si-Belajar untuk tujuan-tujuan assessment. Konteks terdiri dari apa yang diciptakan di dalam interaksi dan apa yang dibawa ke dalamnya dengan cara presuposisi mengenai dunia, pengetahuan interaksi dan pengetahuan mengenai kode linguistik. Pemakai bahasa perlu mengembangkan baik pengetahuannya sendiri dan juga keterampilan untuk melaksanakan interaksi dan mempertahankan keterlibatannya di dalam percakapan. Ini semua dikembangkan secara interaksional.
Tidak banyak yang mengungkapkan bagaimana kompetensi komunikatif secara interaksional diselesaikan, baik interaksi lisan maupun interaksi dengan teks tertulis. Hal ini agak mengherankan sebab secara luas diakui bahwa interaksi menyediakan kesempatan bagi kompetensi komunikatif, dan suasana kelas, bagaimana pun formal serta jauh dari realitas interaksi sehari-hari yang terjadi di luar kelas, yang pada dasarnya adalah lingkungan interaktif.
Littlewood (Syamsuddin AR, 1992:25) menyebutkan kompetensi komunikatif ini dengan istilah “communicative ability”. Ia membagi fungsi komunikatif menjadi empat komponen, yaitu unsur struktural dan fungsional bahasa, unsur pemahaman isi, unsur ekspresi makna, dan unsur pemahaman dan ekspresi makna dalam kehidupan sosial. Pada intinya, sebuah komunikasi adalah menangkap makna yang dimaksud pembicara. Semakin sesuai konstruksi makna yang dibentuk antara peserta komunikasi, semakin efektif komunikasi itu dilakukan.
Menurut Canale dan Swain (Syamsudin AR, 1992,27) ciri-ciri utama kompetensi komunikatif adalah sebagai berikut :
a)    Adanya kegiatan komunikasi fungsional mengolah informasi, berbagi informasi dengan kerjasama terbatas, dan berbagi informasi dengan kerjasama tak terbatas.
b)    Adanya kegiatan yang bersifat intraksi sosial, seperti improvisasi, lakon pendek, simulasi, dialog, bermain peran, sidang konversasi, diskusi, dan berdebat.
Kompetensi komunikatif mengindikasikan bahwa seorang pengguna bahasa yang komunikatif harus memiliki kemampuan dalam menggunakan wacana, memahami sosial budaya masyarakat, mengerti tata bahasa, memahami pragmatik bahasa, serta memahami strategi berkomunikasi. Hal ini merupakan syarat terciptanya komunikasi yang efektif. Dalam berkomunikasi dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu pesan dan media penyampaian pesan (bahasa). Pesan yang baik harus disampaikan melalui bahasa yang tepat (pragmatik).
Kompetensi dalam Pembelajaran

Belajar bukanlah kegiatan sesaat namun terjadi dalam suatu proses oleh individu sebagai pelaku/subjek belajar. Belajar ditandai oleh adanya suatu perolehan. Perolehan/ hasil belajar baik yang berupa kecakapan, keterampilan, maupun nilai-nilai merupakan bentukan pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan belajar. Hasil belajar akan optimal dalam lingkungan belajar yang kondusif. Hal ini sesuai dengan pendapat Gredler (1991) dan Munandir (2001) bahwa hasil belajar mensyaratkan terjadinya perubahan perilaku yang bersifat jangka panjang dan relatif tetap dalam hal kecakapan, keterampilan, dan sikap. Untuk selanjutnya kecakapan, keterampilan, dan sikap disebut sebagai hasil belajar.
Hasil belajar yang merupakan kompetensi belajar direfleksikan oleh pembelajar dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (Depdikbud, 1995; Depdiknas, 2002). Dalam lingkup pembelajaran (formal dan nonformal), kompetensi belajar dirumuskan dan dirangkum dalam suatu program yang disebut dengan kurikulum. Berdasarkan kompetensi-kompetensi tersebut sebuah kurikulum diwujudkan. Saat ini, salah satu kurikulum yang dikembangkan berdasarkan kompetensi pembelajar adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Kompetensi, meskipun bukan sebagai istilah baru, dipilih penggunaannya dalam kurikulum terbaru dengan harapan bahwa kualitas lulusan benar-benar cakap, terampil, dan tangguh dalam kehidupan di era global. Dasar pemikiran penggunaan konsep kompetensi dalam KBK, sebagai berikut: (1) kompetensi berkenaan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks, (2) kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten, (3) kompetensi merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran, dan (4) kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu hendaknya didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur (Depdiknas, 2002:1).
KBK memuat seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang akan dicapai pembelajar selama dan setelah mengikuti program (Depdiknas, 2002). Dalam sebuah kurikulum, kompetensi lulusan memegang peranan penting. Kompetensi lulusan tersebut disusun dalam hirarki sebagai berikut: units of competency, elements of competency, dan performance criteria dan tersurat dalam KBK sebagai kompetensi dasar, hasil belajar, dan indikator hasil belajar.
KBK dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan kehidupan masyarakat (Depdiknas, 2002). Untuk itu, kepada siswa dibelajarkan beberapa kompetensi dasar sebagai bekal hidup bermasyarakat dengan dilandaskan pada: (1) hasil belajar dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, (2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat (Siskandar, 2002). Dengan demikian, orientasi pendidikan bukan pada apa yang harus diajarkan guru kepada siswa tetapi pada apa yang harus dilakukan siswa dalam proses belajar untuk mencapai hasil belajarnya. Kehadiran guru bukanlah segala-galanya dalam belajar. Guru diperlukan sebagai motivator, dinamisator, dan fasilitator belajar untuk mencapai hasil belajar yang ditetapkan. Guru bukanlah sumber dan penyampaian informasi utama dalam belajar. Belajar dikembangkan berdasarkan falsafah pendidikan, yakni: learning to know, learning to do, learning to live together, learning to be yourself.(belajar untuk tahu, belajar untuk melakukan, belajar untuk hidup bersama, belajar untuk menjadi diri sendiri). Untuk itu, guru hendaknya selalu memberikan motivasi agar siswa selalu ingin belajar. Guru dituntut mampu menggerakkan pembelajaran dari situasi statis menjadi situasi dinamis dan kondusif.


Kompetensi dalam Kurikulum Bahasa Indonesia

Perubahan Kurikulum 1994 menjadi KBK (yang diuji cobakan tahun 2003 dan diberlakukan mulai tahun pelajaran 2005) dalam pembelajaran bahasa Indonesia tidak akan mengubah pembelajaran dan prinsip yang diterapkannya. Hal itu tampak dari orientasi dan isi pembelajaran yang terdapat di dalamnya baik dalam kurikulum 1994 maupun KBK. Dalam kurikulum 1994 dan KBK, pembelajaran bahasa diorientasikan pada hakikat belajar bahasa yang sesungguhnya, yakni belajar bahasa untuk mampu berkomunikasi secara lisan dan tulis.
Berdasarkan hakikat tersebut, kompetensi umum yang diharapkan dicapai melalui pembelajaran bahasa Indonesia, yakni: (a) menghargai dan membanggakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, (b) memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan, (c) kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan kematangan sosial, (d) disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis), (e) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa (Depdikbud, 1995; Depdiknas, 2002). Dengan perkataan lain, kompetensi umum pembelajaran bahasa yang diharapkan adalah memahami dan terampil menggunakan bahasa Indonesia dalam segala bentuk dan fungsi yang disebut sebagai kompetensi komunikatif.
Kompetensi komunikatif bukan sekedar tercermin pada pemahaman teknik penggunaan bahasa tetapi lebih pada praktik penggunaannya dalam kehidupan secara nyata. Sadtono (1988) menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai kompetensi komunikatif akan mengenal struktur lahir dan struktur batin, sehingga dapat membedakan kalimat yang benar dan salah dan selanjutnya akan mampu memahami dan menggunakan kalimat baru sesuai dengan konteks. Penguasaan dan penghayatan mengandung makna mampu memahami dan menggunakannya secara baik dan benar dalam kehidupan senyatanya untuk berbagai keperluan. Dengan demikian, seseorang dikatakan memiliki kompetensi komunikatif jika ia mampu menggunakan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis dalam segala sendi kehidupan.
Dalam program pendidikan bahasa Indonesia, kompetensi komunikatif dirinci menjadi beberapa kompetensi dasar yang terangkum dalam ruang lingkup pembelajaran bahasa Indonesia, yakni penguasaan kebahasaan, kemampuan memahami, mengapresiasi sastra, dan kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1995; Depdiknas, 2002). Sebagaimana tergambar dalam tujuan khusus pengajaran bahasa Indonesia, yakni tujuan pemahaman (menyimak dan membaca), penggunaan (berbicara dan menulis), dan kebahasaan (Depdikbud, 1995).
Kompetensi komunikatif (dalam Kurikulum 1994) terurai pada setiap caturwulan dan jenjang kelas yang tersurat dalam bentuk butir pembelajaran. Sedangkan dalam KBK, kompetensi komunikatif terpapar pada kompetensi dasar dan hasil belajar yang terkelompok dalam aspek-aspek kemampuan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis (periksa Depdiknas, 2002). Untuk mengukur ketercapaian kompetensi dasar dan hasil belajar terdapat indikator. Kompetensi dasar berisi rumusan kemampuan minimal yang hendak dibelajarkan kepada siswa. Hasil belajar berisi paparan atas kemampuan yang harus dikuasai siswa dalam berkomunikasi lisan dan tulis sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia melalui pelatihan dan pengalaman. Indikator hasil belajar berisi kriteria ketercapaian suatu kompetensi yang dibelajarkan.
Hal tersurat yang membedakan antara KBK dengan Kurikulum 1994 adalah tereksplisitkannya indikator hasil belajar pada setiap kompetensi yang dibelajarkan kepada siswa. Secara konseptual, hal itu bukan menjadi perbedaan yang mendasar. Tereksplisitkannya indikator hasil belajar dalam KBK merupakan penjelas bagi pelaksana program tentang kriteria ketercapaian suatu kompetensi dasar. Terlepas dari tereksplisit-tidaknya indikator hasil belajar, tugas pelaksana program adalah menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif yang dapat memfasilitasi siswa memperoleh pengalaman dan hasil belajar. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia hendaknya diposisikan dalam konteks belajar yakni kegiatan aktif siswa dalam membangun makna/pemahaman (Depdiknas, 2002).
Konteks belajar bahasa untuk mencapai kompetensi komunikatif hendaknya diciptakan dalam situasi belajar yang mudah bagi siswa dalam penggunaan dan pengembangan yang fungsional dan bermakna sesuai dengan kebutuhannya. Situasi belajar tersebut disebutkan oleh Goodman (1986) antara lain nyata dan alami, dalam kesatuan penggunaan bahasa, menarik, sesuai, menjadi milik siswa, bagian dari kehidupan nyata, memiliki kegunaan sosial, merupakan tujuan siswa, siswa memilih untuk menggunakannya, dapat dicapai oleh siswa, dan siswa mampu melakukannya. Dalam perkembangannya, dimunculkan istilah pengajaran bahasa komunikasi (CLT). “Dorongan menuju komunikasi” (Higgs & Clifford,1982). CLT menyarankan bahwa struktur gramatika lebih baik disisipkan ke dalam berbagai kategori fungsional. CLT tidak banyak memberi perhatian pada penyampaian dan pembahasan kaidah-kaidah gramatika daripada yang lazim dipraktekan. Banyak penggunaan bahasa-bahasa otentik disiratkan dalam CLT, ketika guru berusaha membangun kefasihan (Chambers, 1997). Akan tetapi perlu diingat bahwa kefasihan tidak didorong dengan mengorbankan komunikasi langsung yang jelas dan tidak ambigu. Akhirnya, jauh lebih banyak spontanitas yang muncul dalam kelas komunikatif, para murid didorong untuk menghadapi situasi-situasi spontan di bawah bimbingan guru. Instruksi berbasis tugas adalah sebuah pendekatan yang mendorong para guru, dalam pembelajaran dan perancangan kurikulum, untuk berfokus pada banyak faktor komunikatif. Untuk merampungkan sebuah tugas, seorang pembelajar harus mempunyai kompetensi organisasional memadai, kompetensi ilokusioner untuk menyampaikan makna tersirat, kompetensi strategis untuk mengimbangi kesalahan-kesalahan tak terduga, dan kemudian semua perangkat wacana, pragmatika, bahkan kemampuan komunikatif non verbal.
   












PENUTUP
Pembelajaran bahasa ditujukan untuk mencapai kompetensi komunikatif, yakni kompetensi penggunaan bahasa sebagai landasan dalam kegiatan berpikir dan bertindak untuk memahami dan memaknai kehidupan secara individu dan sosial. Dalam pembelajaran di sekolah, kompetensi tersebut dapat dicapai melalui pembelajaran yang terprogram berupa kurikulum. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan isu baru dan dilontarkan sebagai wahana untuk mewujudkan kompetensi komunikatif yang diharapkan.
Tiga syarat minimal pembelajaran berkompetensi komunikatif, yakni: (1) diorientasikan pada siswa sebagai pelaku pembelajaran, (2) belajar dengan melakukan dalam keseluruhan kegiatan berbahasa secara nyata, (3) memperhatikan fungsi dan kebermaknaan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam kehidupan individu dan sosial.















DAFTAR PUSTAKA
Brown, Douglas H. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Pearson Education, Inc.
Depdikbud. 1995. Kurikulum Pendidikan Dasar: Garis-Garis Besar Program Pengajaran. Jakarta: Depdikbud.

Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Puskur Balitbang Depdiknas edisi Agustus 2002.

Sadtono. 1988. Kompetensi Komunikatif: Mau ke Mana? dalam Moelyanto Sumardi (ed) Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar