GRADASI, ISI DAN STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA
PADA PEMBELAJARAN MENULIS
Oleh: Rizal Effendy Panga
A. Pendahuluan
Pembelajaran bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia yang diajarkan di sekolah saat ini kurang diminati oleh siswa. Ada berbagai fenomena yang menyebabkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak diminati. Fenomnena pertama, adanya praanggapan bahwa bahasa Indonesia itu mudah. Masyarakat Indonesia sudah bisa berbahasa Indonesia, jadi tidak perlu mempelajari bahasa Indonesia secara mendalam. Fenomena kedua, guru mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia tidak memberikan pembelajaran yang sederhana, menarik, dan menyenangkan, sehingga siswa selalu mengatakan bahwa belajar bahasa Indonesia itu rumit, terlalu banyak wacana, jawabannya sama semua dan masih banyak lagi. Faktor psikologis guru juga menentukan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Guru yang pemarah dan hanya menekankan pembelajaran sesuai keinginan mereka membuat siswa semakin tidak menyukai pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Fenomena ketiga, nilai bahasa Indonesia di UN merupakan nilai yang menyebabkan siswa tidak lulus lebih banyak jika dibandingkan dengan pelajaran yang lain. UN selalu jadi momok, apalagi jawaban pada bahasa Indonesia selalu menimbulkan kesan ambigu yang sulit dipahami siswa baik materi yang berhubungan dengan bahasa maupun yang berhubungan dengan sastra. Fenomena keempat, adanya praanggapan mata pelajaran bahasa Indonesia memiliki kelas sosial yang rendah di antara mata pelajaran yang lain, khususnya yang berhubungan dengan sains. Siswa lebih mengutamakan belajar matematika daripada belajar bahasa Indonesia karena jika mendapatkan nilai matematika tinggi, sudah bisa dipastikan siswa tersebut akan mendapatkan predikat siswa pintar. Kultur seperti ini semakin melemahkan posisi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia untuk dianggap sama dengan mata pelajaran yang lain. Fenomena-fenomena di atas, menyadarkan saya bahwa tidak ada yang perlu dipersalahkan, mengapa banyak siswa yang tidak menyukai bahasa Indonesia. Permasalahan ini muncul karena kecintaan siswa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia masih lemah.
Pembahasan dalam makalah ini dikhususkan dalam pembelajaran menulis. Berbagai teori menulis sudah bermunculan di buku-buku. Namun, tulisan bisa lahir karena seseorang memiliki motivasi untuk menulis. Secara sederhana, agar bisa menulis, seseorang hanya tinggal menuliskan apa saja yang ada di pikirannya. Pembelajaran menulis seharusnya sudah beriringan dengan saat kita pertama kali membaca. Namun, banyak orang yang belajar menulis, tetapi kesulitan dalam menuangkan idenya. Menulis merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat produktif. Kompetensi menulis merupakan kemampuan untuk menghasilkan produk dari hasil kerja pikiran yang dituangkan ke dalam bentuk tertulis.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah-masalah dalam pembelajaran bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya pembelajara menulis, sebagai berikut: 1) Bagaimana gradasi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diterapkan dalam pembelajaran menulis? 2) Apakah isi pembelajaran sudah mencerminkan tujuan dari belajar bahasa dan sastra Indonesia, khususnya pembelajaran menulis 3) Strategi apa yang digunakan dalam pembelajaran menulis?
Adapun tujuan dari makalah ini adalah memberikan gambaran gradasi pembelajaran menulis berdasarkan tingkat kealamiahan seseorang dalam mempelajari bahasa, memilih isi atau materi menulis sesuai dengan tingkatan usia maupun gradasi dalam pembelajaran menulis, dan memberikan gambaran strategi pembelajaran bahasa dan sastra, khususnya dalam pembelajaran menulis.
B. Kajian Pustaka
Pembelajaran menulis tak dapat terlepas dari pengaruh guru dalam mengajarkannya. Hal ini seperti disebutkan di dalam kutipan, sebagai berikut:
Menurut Raimes, ada sepuluh langkah dalam rencana pembelajaran menulis dan pelatihan guru tentan menulis adalah sebagai berikut: memastikan tujuan dan kendala kelembagaan, menentukan prinsip-prinsip teori, merencanakan isi, mempertimbangkan berbagai unsur, menyusun silabus, memilih bahan, mempersiapkan kegiatan dan peran, memilih jenis dan metode umpan balik, mengevaluasi hasil latihan, dan merefleksikan pengalaman guru (Richards, 2002: 306-314).
Guru sebelum melaksanakan pembelajaran harus mempersiapkan metode yang tepat dalam pembelajaran menulis. Pembelajaran menulis, yang tercakup di dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia merupakan pembelajaran yang hanya mengedepankan pengetahuan, namun melupakan aspek produktivitas dari pembelajaran menulis. Pembelajaran menulis seharusnya bersifat alamiah. Kealamiahan ini dapat ditunjukkan dapat ditinjau dari pemerolehan bahasa. Menurut Anthony Seow, “proses menulis sebagai sebuah kegiatan kelas menggabungkan empat tahap dasar menulis, yaitu: perencanaan, penyusunan, revisi, dan pengeditan serta tiga tahap eksternal yang diberikan guru kepada siswa, yaitu: menanggapi, mengevaluasi, dan pascamenulis” (Richards, 2002: 316).
Pembelajaran bahasa sebagai komunikasi baik lisan maupun tertulis dapat ditinjau dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Hal ini tergambar dari kutipan berikut ini:
Dalam komunikasi antarindividu, setiap kalimat yang diucapkan mempunyai fungsi yang khusus, kadang-kadang fungsinya ialah memberitahukan, menanyakan,atau memperingatkan tentang suatu fakta. Dala hal ini pembicara mengharapkan bahwa lawan bicaranya dapat menangkap atau mengerti fungsi dari kalimat yang diucapkan pembicara tersebut (Mar’at, 2010: 31).
Pembelajaran bahasa juga melibat beberapa aspek: aspek usia, aspek linguistik, aspek sosiokultural, dan aspek psikologis. “Bahasa adalah bagian fundamental dari keseluruhan perilaku manusia” (Brown, 2008: 28). Pembelajaran menulis merupakan perilaku manusia dalam mengekspresikan idenya melalui bahasa yang produktif dalam sebuah bentuk tulisan.
Pembelajaran menulis tak terlepas dari gaya belajar seseorang. Pendekatan Skinner untuk belajar terprogram mengandung ciri-ciri yang berasal dari teori belajarnya, yaitu: langkah-langkah kecil, respons yang jelas, umpan balik segera, dan self-pacing (Hergenhahn, 2009: 130). Dalam pembelajaran menulis, langkah-langkah kecil ini dapat digambarkan ketika siswa memperoleh informasi satu ke informasi yang lain melalui pengamatannya. Dari hasil pengamatannya, siswa harus memberikan respons yang jelas dalam bentuk tertulis dan jika mengalami kesalahan dapat dikoreksi untuk diperbaiki lagi. Koreksi ini merupakan umpan balik dari seorang guru untuk menentukan kesesuaian dalam tulisannya. Proses ini akan memberikan self-pacing atau belajar secara terprogram sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya sendiri.
C. Gradasi Pembelajaran Menulis
Gradasi adalah susunan derajat atau tingkatan yang merupakan peralihan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain. Dalam pembelajaran menulis harus dilakukan secara alamiah. Menulis sebagai kompetensi yang bersifat lateral produktif tentunya akan menghasilkan karya-karya berupa tulisan. Namun, sebelum memulai proses menulis perlu direnungi bahwa tulisan itu mengalami perkembangan layaknya manusia yang bertumbuh. Seiring usia bertambah, bentuk tulisan akan semakin berkembang. Pembelajaran menulis juga harus disusun berdasarkan urutan perkembangan siswa.
Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana seharusnya pembelajaran menulis diterapkan kepada siswa. Dalam pembelajaran menulis dapat dibuat gradasi berdasarkan perkembangan bahasa pada manusia secara alamiah, sebagai berikut:
a. Menulis huruf-huruf atau lambang bunyi bahasa
b. Menulis suku kata
c. Menulis kata
d. Menulis rangkaian kata sederhana
e. Menulis kalimat sederhana
f. Menulis kalimat sederhana dengan struktur yang lengkap
g. Menulis rangkaian kalimat sederhana
h. Menulis dengan menggabungkan dua kalimat sederhana dengan mengenalkan kata-kata penghubung.
i. Menulis rangkaian kalimat sederhana berdasarkan satu ide atau gagasan
j. Menulis kalimat kompleks
k. Menulis dengan menggabungkan dua kalimat kompleks
l. Menulis rangkaian kalimat kompleks berdasarkan satu ide atau gagasan
m. Menulis dengan menggunakan variasi kalimat sederhana dan kalimat kompleks berdasarkan satu ide atau gagasan
n. Menulis teks berdasarkan dua ide yang memiliki hubungan keterkaitan
o. Menulis teks berdasarkan ide-ide yang kompleks.
p. Menulis teks dengan menggunakan pilihan kata yang tepat
q. Menulis teks dengan menggunakan perumpamaan, dan gaya bahasa
r. Menulis teks dengan pilihan kata, perumpamaan, dan gaya bahasa berdasarkan satu ide atau gagasan
s. Menulis teks dengan pilihan kata, perumpamaan, dan gaya bahasa berdasarkan dua ide yang memiliki hubungan keterkaitan
t. Menulis teks dengan pilihan kata, perumpamaan, dan gaya bahasa berdasarkan ide-ide yang lebih kompleks.
u. Menulis teks dengan memperhatikan keruntutan dan koherensi dalam menuangkan ide atau gagasan
Gradasi di atas dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap meniru, tahap pemaknaan, dan tahap ide. Pada tahap meniru siswa hanya menirukan bentuk atau lambang bunyi bahasa yang dicontohkan. Pada tahap ini siswa hanya menggambar tanpa mengetahui makna. Siswa akan dikenalkan dengan bunyi bahasa yang berupa bunyi vokal dan konsonan dalam lambang bahasa yang diajarkan. Setelah mahir dalam menggambar huruf satu persatu, maka langkah selanjutnya adalah merangkai gambar-gambar huruf yang memiliki bunyi vokal dengan gambar-gambar huruf yang mewakili bunyi konsonan yang membentuk suku kata. Tahapan ini dilanjutkan dengan merangkaikan suku-suku kata menjadi sebuah kata. Kata-kata yang terbentuk kemudian dirangkaikan kembali dengan tidak memperhatikan fungsi kata tersebut, namun kata-kata tadi dirangkai sehingga membentuk frasa. Rangkaian frasa ini akan membentuk sebuah struktur kalimat sederhana.
Tahap kedua adalah tahap pemaknaan. Siswa dapat menuliskan kata-kata sekaligus memahami makna yang dilambangkan oleh tulisan tersebut. Jika seseorang menulis kata ‘jalan’, maka siswa harus menghubungkan dengan perbuatan jalan tersebut. Setelah melalui tahapan ini siswa mulai dilatih untuk dikenalkan pada gabungan kata yang mencerminkan kalimat sederhana. Mula-mula siswa tidak harus mengetahui perbedaan fungsi dari kata-kata tersebut, namun secara perlahan siswa dikenalkan dengan fungsi subjek dan fungsi predikat yang bertujuan untuk mengenalkan struktur kalimat sederhana pada siswa. Setelah memahami, konsep kalimat sederhana siswa diarahkan untuk mencoba mengenali konsep kalimat lengkap. Siswa diajak untuk memahami fungsi dan peran dari sebuah kalimat lengkap yang terdiri dari unsur-unsur subjek, predikat, objek, dan keterangan. Setelah siswa memahami struktur fungsi dan peran dari sebuah kalimat sederhana yang lengkap, siswa diarahkan untuk menggabungkan dua kalimat sederhana dengan mengenalkan kata-kata penghubung serta makna yang ditimbulkannya. Gabungan-gabungan kalimat sederhana ini akan menjadi kalimat yang lebih kompleks. Siswa dapat memvariasikan penggunaan kata penghubung sehingga menimbulkan variasi makna dalam tulisan tersebut.
Tahap ketiga adalah tahap ide. Dalam tahap ini siswa tidak hanya menirukan atau memahami makna dari tulisan yang ia buat, namun siswa sudah mulai menuangkan pikiran-pikiran yang berupa ide atau gagasan yang ada dalam memori mereka. Ide ini merupakan respons dari sebuah hasil pemikiran dari stimulus yang diberikan oleh lingkungannya. Siswa dapat menuliskan hal-hal sederhana di sekitar lingkungannya dengan kalimat-kalimat sederhana. Setelah ia mampu menuliskan dengan menggunakan kalimat sederhana, siswa dapat melanjutkan ke tahapan yang lebih tinggi dengan menggunakan kalimat-kalimat yang lebih kompleks. Proses penuangan ide ini tidak terlepas dari kuruntutan dan koherensi antarkalimat. tulisan yang runtut dan saling berkaitan akan memudahkan orang yang membaca mampu memahami dengan cepat kerangka berpikir penulisnya.
D. Isi pembelajaran Menulis
Pembelajaran menulis merupakan pembelajaran yang memanfaatkan kemampuan yang bersifat produktif. Ada produk yang dihasilkan berupa tulisan. Tulisan itu memuat ide dari seseorang yang dikemukakan secara sistematis dan memiliki hubungan keterkaitan dalam penyampaian idenya. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah, pembelajaran menulis hanya bersifat kognisi tanpa pernah menghasilkan sebuah produk. Pembelajaran di sekolah hanya menekankan siswa pada pengetahuan tetapi tidak melihat esensi dari pembelajaran menulis yang harus menghasilkan sebuah produk berupa tulisan dari siswa. Kompetensi menulis mengalami banyak problematika. Banyak siswa tidak mampu menuangkan ide-ide kreatifnya dalam bentuk tulisan. Ini adalah gejala yang wajar karena pembelajaran bahasa tidak pernah diarahkan untuk menghasilkan sebuah produk, berupa tulisan sebagai refleksi dari ide-ide kreatif yang ada di pikiran siswa.
Bagian ini akan membicarakan bagaimana isi pembelajaran menulis berdasarkan konsep kealamiahan, bahwa menulis adalah sebuah proses kreatif untuk menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan untuk menghasilkan sebuah karya. Untuk menghasilkan sebuah karya tulisan yang baik, tidak mungkin secara instan. Ada proses alamiah yang harus dilakukan, seperti layaknya pemerolehan bahasa pada manusia sejak dilahirkan hingga dewasa. Kemampuan untuk menuangkan ide ke dalam bentuk tertulis tidak dapat terlepas dari kemampuan membacanya. Semakin banyak membaca, semakin banyak referensi-referensi untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang kemudian dapat dituangkan ke dalam bentuk tertulis.
Isi pembelajaran menulis juga menyesuaikan dengan gradasi pembelajaran menulis. Siswa kelas satu sekolah dasar tentu tidak akan bisa menuliskan ide-ide kreatifnya karena pada saat itu ia masih menirukan tulisan gurunya atau apa pun yang dilihatnya. Isi pembelajaran menulis bisa diberikan kepada siswa, jika siswa telah mencapai tahap ide. Sebelum tahap ide, siswa hanya mewujudkan pengalaman pancaindra untuk mengenali bentuk-bentuk atau lambang dari bunyi-bunyi dan memahami maknanya serta merangkainya dalam kalimat sederhana dan memahami struktur fungsi dan peran dari setiap kata yang dia lihat.
Secara isi, pembelajaran menulis bisa dibuat beberapa tahapan. Adapun tahapan isi pembelajaran menulis adalah sebagai berikut:
a. Menulis apa saja yang ada di pikiran
b. Menulis tema-tema keseharian
c. Menulis tema-tema yang ditentukan
d. Menulis kritis
e. Menulis pemahaman mendalam
Apapun bisa menjadi objek yang bisa ditulis. Mulai dari objek keseharian hingga sesuatu yang hanya berada di pikiran dari hasil refleksi terhadap kejadian yang terjadi di sekitar atau segala dialog hati individu masing-masing. Menulis adalah sebuah proses kreatif. Proses ini berlangsung terus menerus. Secara alamiah, berbahasa dilakukan oleh setiap orang kapan saja, di mana saja, dengan objek apa pun. Sehingga secara, tidak langsung ini mengisyaratkan bahwa setiap kegiatan berbahasa kita bisa dituliskan. Namun, banyak sekali orang mengatakan susah sekali menulis. Mengapa menulis susah? Kompetensi menulis susah diaplikasikan karena seseorang memandang menulis sebagai sebuah istana ide. Sebuah ilustrasi, orang yang memakai baju. Pada awalnya tidak ada seorang pun bisa memakai baju sendiri. Namun, orang tuanya memakaikan pakaian dan dia merasakan kehangatan dari pakaian tersebut. Pada saat, tidak berpakaian dia pun merasakan perbedaan antara berpakaian dan tidak berpakaian. Secara alamiah, dia akan berusaha memakai pakaiannya sendiri. Apa yang terjadi? Kesalahan yang diperbuatnya. Namun, apakah dia berhenti untuk berpakaian. Tidak. Dia akan tetap berpakaian, jika salah orang tuanya membenarkan hingga akhirnya dia dapat berpakaian sendiri.
Begitu juga dengan menulis. Seseorang yang menulis tidak mungkin langsung baik. Perlu proses yang panjang untuk menghasilkan tulisan yang baik. Ketika seseorang menuliskan satu kata, maka sesungguhnya dia telah menulis. Selama proses tersebut tidak berhenti maka tulisannya akan semakin panjang dan terangkai dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Proses berpikir seseorang juga ditunjang dari pengalaman kehidupannya, bacaan yang dibaca, dan pengaruh orang-orang yang ada di sekitarnya.
Tahap kedua, seseorang bisa menuliskan kesehariannya. Isi tulisan bisa dimulai dari hal-hal ringan, mungkin tidak penting bagi orang lain. Namun, ini adalah sebuah proses untuk mempertajam intuisi dan kepekaannya dalam menulis. Persoalan baik dan buruk hasil tulisan tidak terlalu dipentingkan dalam tahap ini. Tahap ini seseorang hanya menuangkan gagasannya. Proses ini juga sekaligus dapat digunakan untuk memperbaiki tulisan baik dari segi kaidah maupun ketajaman isi. Hanya menuliskan ulang apa yang telah dilakukan, dilihat, didengar, dan dirasakan.
Setelah kita mahir menuliskan keseharian kita, maka kita dapat memulai menulis dengan menggunakan tema-tema tertentu. Tema-tema tertentu ini sebagai bentuk pengembangan tulisan yang hanya seputar dirinya, sekarang berkembang ke wilayah di luar dirinya. Tema-tema tertentu ini juga bisa membuat kekayaan baik dari segi kekayaan kosakata dan penyikapan terhadap kondisi di luar dirinya secara fokus. Selain itu, untuk menuliskan ide berkenaan dengan tema-tema tertentu, seseorang harus mendapatkan informasi untuk menunjang tulisannya. Sehingga proses membaca dan menulis tidak akan pernah terpisahkan. Seseorang yang tulisannya bagus, cenderung adalah pembaca yang baik.
Sekarang, kita sudah memperkaya tulisaan kita dengan dua pengalaman yang saling berhubungan baik pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain. Dalam semua bidang kehidupan, ada peristiwa dari seseorang yang tidak bersesuaian dengan cara berpikir kita. Ketika kita mulai mengomentari dan menilai seseorang, sebenarnya kita bisa menerapkan dalam kompetensi menulis kita. Menulis kritis juga diperlukan dalam pengembangan yang lebih baik. Kritik akan memberikan dampak perbaikan pada seseorang selama orang tersebut memandang kritiks sebagai salah satu proses pembelajaran. Namun, kita harus memperhatikan tata cara dalam mengkritisi peristiwa atau kejadian yang kita tuangkan ke dalam bentuk tulisan. Tulisan kita ibarat mata pedang. Jika salah menulis, maka kita akan menebas leher orang yang tidak bersalah. Menulis kritis perlu didasarkan pada sumber-sumber terpercaya dan kejujuran kita untuk mengungkap sesuai dengan kebenaran yang nyata. Tulisan kritis akan berdampak pada perubahan-perubahan yang mengarah kepada sebuah proses perbaikan.
Tulisan berbentuk kritik ini diperlukan untuk memberikan kesadaran baik pada penulisnya maupun kepada sasaran tulisan tersebut. Tulisan kritik memerlukan pemahaman lebih mendalam karena kehati-hatian dalam menuliskan ide harus diperhitungkan secara matang. Tulisan ini harus memuat fakta bukan hanya opini sebagai bentuk pembuktian. Setelah itu, tulisan kritik juga harus memberikan jalan keluar dari masalah yang sedang dikritisi. Pemecahan masalah inilah yang akan menjadi dasar untuk memberikan tanggapan, apakah kritik ini memberikan pencerahan atau hanya sekadar mengkritik karena rasa tidak puas terhadap sesuatu.
Selain menulis kritik, kompetensi menulis yang perlu dikembangkan berikutnya adalah menulis pemahaman secara mendalam. Menulis dengan pemahaman bukan berpusat untuk melihat perbedaan, lalu mengkritisinya. Menulis pemahaman merupakan hasil perenungan mengenai masalah tertentu kemudian merenungkannya, mencari akar permasalahannya, dan menemukan pemecahan masalah. Menulis pemahaman adalah wujud dari pencarian kebenaran tentang sesuatu, dilakukan secara teliti dan memerlukan proses yang panjang. Karya-karya ini dapat memberikan pencerahan. Jika kita melihat beberapa buku yang bertahan sepanjang sejarah dan tak lekang oleh zaman, maka bisa dipastikan buku tersebut ditulis berdasarkan analisis yang mendalam mengenai sebuah persoalan. Tulisan semacam ini tidak melihat perbedaan, namun bagaimana perbedaan ini bisa bersinergi menjadi bagian yang terintegrasi dalam sebuah pemikiran-pemikiran dalam tataran yang lebih tinggi.
E. Strategi Pembelajaran Menulis
Pembelajaran menulis, jika salah diajarkan maka tidak akan pernah mendapatkan hasil atau sebuah karya dari siswa. Dalam pembahasan kali ini akan dibahas bagaimana strategi pembelajaran menulis. Strategi yang ditawarkan adalah Strategi Lihat-Dengar-Rasa-Tulis (LDRT).
Strategi ini berusaha memberikan pembelajaran menulis secara alami seperti layaknya bahasa diperoleh oleh manusia sejak lahir hingga dewasa. Menulis seharusnya menjadi kompetensi berbahasa yang sama dengan berbicara pada tataran produktivitasnya, perbedaannya hanya terletak pada lisan dan tulisan. Pemerolehan bahasa lisan tentu bisa bersinergi dengan pemerolehan bahasa tulis. Bahasa tulis bisa diperoleh. Konsep kealamiahan bahasa berlaku dalam menerapkan pembelajaran menulis. Jika kita mengamati seorang anak ketika belajar menulis, tidak mungkin anak tersebut langsung bisa menuangkan idenya, pemikiran-pemikiran kritis, atau analisis mendalam mengenai sesuatu. Anak tersebut hanya menirukan. Dalam pembelajaran berbicara, seorang anak menirukan bunyi, sedangkan dalam pembelajaran menulis anak menirukan lambang dari bunyi-bunyi bahasa. anak tidak memahami makna dari lambang-lambang tersebut kecuali menggambarkan lambang-lambang bahasa tersebut.
Konsep Strategi LDRT dapat dijelaskan berdasarkan unsur-unsur yang membangunnya. Konsep lihat dalam pembelajaran menulis adalah langkah pertama yang dialami seorang anak untuk menirukan lambang-lambang bunyi bahasa tersebut. Anak melihat huruf-huruf tersebut seperti layaknya melihat gambar-gambar yang lain. pancaindra akan merespon dan merekam gambar-gambar tersebut dalam memori mereka. Konsep kedua, dengar. Seorang anak dalam menuliskan sesuatu tidak akan pernah mendapatkan makna dari lambang-lambang bunyi bahasa, jika dia tidak mendengar. Hubungan antara lambang dan makna yang tersimpan di memori akan membedakan lambang-lambang bunyi bahasa dengan gambar-gambar yang lain. pembedaan-pembedaan ini bisa diterangkan jika antara gambar dan maknanya bisa terhubung. Konsep ketiga, rasa. Rasa adalah proses pengendapan stimulus dari orang lain. Rasa memberikan pemahaman kepada seseorang agar dapat menggunakan daya imajinasi untuk meresapi makna yang terkandung dalam setiap lambang bunyi bahasa yang masuk ke dalam dirinya. Rasa merupakan proses perenungan sehingga konsep lambang dan makna bisa terhubung dan pada akhirnya pikiran akan merespons dan memerintahkan kepada tubuh, dalam hal ini tangan untuk mengerjakan perintah, yaitu tulis. Konsep keempat, tulis. Tulis merupakan respons dari stimulus yang diterima oleh pikiran untuk menggerakkan anggota tubuh melakukan perintah dengan melakukan pekerjaan menggambar lambang-lambang bunyi bahasa untuk mewujudkan produktivitasnya berupa tulisan.
Dalam Strategi LDRT, sebelum menulis siswa diajak untuk berkeliling melihat keadaan sekitar. Setiap siswa akan mengalami sendiri apa yang bersentuhan langsung dengan dirinya selama proses observasi. Proses ini akan memberikan informasi awal kepada siswa. setelah proses observasi dengan melakukan pengamatan di lingkungan sekitar, tentunya siswa dapat mengingat kejadian apa saja yang diamatinya. Setelah observasi selesai, siswa diminta untuk menuliskan apa saja yang dia lihat tanpa memperhatikan kaidah bahasanya. Siswa hanya menuangkan ide dari hasil pengamatannya. Apa saja yang dilihat, didengar, dan dirasakan akan dituliskan sesuai urutan waktunya.
kegiatan observasi dengan panduan dari guru dilakukan dalam tahapan awal saja. Setelah siswa mampu menuangkan apa saja yang dia amati, siswa mulai di arahkan untuk mengamati dirinya sendiri. Apa yang dilakukan, dilihat, didengar, dan dirasakan dapat dituangkan dalam bentuk tertulis dalam sebuah buku catatan harian. Buku catatan harian ini berfungsi untuk merekam pengamatan siswa terhadap dirinya. Buku catatan ini juga berfungsi sebagai bahan untuk memperbaiki tulisan mereka dari hari ke hari. Catatan harian ini akan diperiksa oleh guru. Ketika diperiksa secara bertahap guru memberikan perbaikan-perbaikan dari segi kaidah penulisan dan keruntutan ide atau gagasannya. Setiap hari siswa menghasilkan minimal satu produk tulisan tentang kesehariannya.
Jika tahap ini semakin mahir dan secara kaidah mulai mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, maka siswa dapat melanjutkan ke tahap berikutnya. Pada tahap ini, siswa diajak untuk mengamati sesuatu diluar dirinya, tetapi tetap menulis pengamatan berkenaan dengan dirinya sendiri. Jika ingin menulis tentang pasar, maka siswa bisa diajak ke pasar atau siswa bisa pergi ke pasar secara mandiri untuk melakukan pengamatan apa saja yang terjadi di pasar, bagaimana pola perilaku orang-orang di pasar, dan lain-lain. Setelah mendapatkan data tersebut, siswa menuliskan pasar dari fokus mereka masing-masing. kebebasan menentukan fokus ini digunakan agar siswa memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi hal yang menarik menurut mereka untuk diungkap. Setelah tulisan itu jadi, tugas guru memeriksa kembali kemudian memberikan catatan-catatan perbaikan baik dari segi kaidah maupun keruntutan ide. Setelah diberi catatan, tulisan tersebut tidak ditinggalkan begitu saja tetapi direvisi kembali. Perbaikan kaidah penulisan dan keruntutan ide diberikan melalui proses bimbingan dan koreksi. Cepat atau lambat siswa akan menemukan satu persatu kaidah yang benar dalam penulisan. Kaidah tidak diajarkan namun ditunjukkan dan langsung diubah. Proses yang berulang ini akan membuat tulisan-tulisan berikutnya menjadi lebih baik.
Jika siswa semakin mahir dan terus menerus menulis. Menulis lalu direvisi kembali oleh guru, kemudian dituliskan kembali. Tahap berikutnya adalah mengarahkan siswa untuk mencoba mengomentari objek-objek yang diobservasi. Observasi yang berulang memberikan pengalaman bagi siswa untuk menghadapi berbagai persoalan yang ditemuinya, mengomentarinya, dan berusaha memecahkan masalah dari setiap peristiwa atau kejadian yang diamatinya. Pada tahap ini guru bertugas untuk mengarahkan kerangka berpikirnya dalam menemukan masalah, menganalisis, dan mengoreksi setiap kesalahan yang dilakukan. kesalahan akan selalu muncul, namun kesalahan itu juga yang akan membuat seseorang untuk belajar.
Setelah tahapan ini, seseorang menulis bukan untuk sekadar menulis. Menulis adalah seperti sebuah makanan yang diperlukan oleh tubuh. Menulis merupakan refleksi dari perenungan yang panjang. Setiap objek bisa menjadi sebuah tulisan, namun makna secara filosofi bisa didapatkan dari hasil perenungan. Tulisan bukan untuk menyalahkan namun untuk memberikan pemahaman mendalam. Tulisan ibarat nasehat yang keluar dari orang tua kepada anaknya. Tulisan ibarat kata-kata yang keluar dari orang-orang bijak. Tidak ada mencerca, yang ada sebuah pencerahan. Tidak yang pernah mengatakan awan berwarna merah, namun tulisan mampu memberikan warna kepada objeknya dan membuatnya lebih bermakna.
F. Penutup
Gradasi adalah susunan derajat atau tingkatan yang merupakan peralihan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain. Dalam pembelajaran menulis harus dilakukan secara alamiah. Gradasi di atas dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap meniru, tahap pemaknaan, dan tahap ide.
Secara isi, pembelajaran menulis bisa dibuat beberapa tahapan. Adapun tahapan isi pembelajaran menulis adalah sebagai berikut: menulis apa saja yang ada di pikiran, menulis tema-tema keseharian, menulis tema-tema yang ditentukan, menulis kritis, dan menulis pemahaman mendalam.
Strategi Lihat-Dengar-Rasa-Tulis (LDRT) ini berusaha memberikan pembelajaran menulis secara alami seperti layaknya bahasa diperoleh oleh manusia sejak lahir hingga dewasa. Menulis seharusnya menjadi kompetensi berbahasa yang sama dengan berbicara pada tataran produktivitasnya, perbedaannya hanya terletak pada lisan dan tulisan. Pemerolehan bahasa lisan tentu bisa bersinergi dengan pemerolehan bahasa tulis. Bahasa tulis bisa diperoleh. Konsep kealamiahan bahasa berlaku dalam menerapkan pembelajaran menulis. Jika kita mengamati seorang anak ketika belajar menulis, tidak mungkin anak tersebut langsung bisa menuangkan idenya, pemikiran-pemikiran kritis, atau analisis mendalam mengenai sesuatu. Anak tersebut hanya menirukan. Dalam pembelajaran berbicara, seorang anak menirukan bunyi, sedangkan dalam pembelajaran menulis anak menirukan lambang dari bunyi-bunyi bahasa. anak tidak memahami makna dari lambang-lambang tersebut kecuali menggambarkan lambang-lambang bahasa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, H. Douglas. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Hergenhahn, B. R. dan Matthew H. Olson. 2009. Theories of Learning (Teori Belajar). Jakarta: Kencana.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2009. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.
Richards, Jack C. dan Willy A. Renanday (Ed). 2002. Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice. United States of America: Cambridge University Press.